(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Telah kita ketahui bahwa wanita dalam Islam memperoleh kemuliaan sebagaimana kaum lelaki. Oleh karena itu, tidak benar pernyataan bahwa Islam mengecilkan keberadaan wanita, Islam memojokkan wanita dan berpihak kepada kaum lelaki saja. Memang di satu sisi derajat lelaki ditempatkan oleh syariat di atas wanita, sebagaimana Allah l berfirman:
“Dan kaum lelaki berada satu derajat di atas kaum wanita.” (al-Baqarah: 228)
Karena kelebihan ini, lelakilah yang berhak memimpin wanita sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)
Maksudnya, lelakilah yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya, dan mencukupi kebutuhan mereka. Dia pula yang menanggung mahar untuk wanita yang dinikahinya. (Tafsir ath-Thabari, 4/59)
Akan tetapi, hal ini tidak berarti meremehkan keberadaan wanita dalam Islam.
Dalam meraih janji Allah l di akhirat nanti, Allah l menyamakan kaum wanita dengan kaum lelaki. Allah l menyebutkan kedua jenis ini dalam tanzil-Nya secara bergandengan tanpa membedakan keduanya. Kita lihat ayat Al-Qur’an berikut ini.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur/memenuhi perjanjian yang diberikan kepadanya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35)
Disebutkan bahwa Ummu Umarah al-Anshariyah x pernah mendatangi Nabi n lalu mengatakan:
مَا أَرَى كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ لِلرِّجَالِ وَمَا أَرَى النِّسَاءَ يُذْكَرْنَ بِشَيْءٍ. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ } الْآيَةَ
“Tidaklah aku melihat segala sesuatu terkecuali untuk kaum lelaki dan aku tidak melihat kaum wanita disebut sedikitpun.” Lalu turunlah ayat ini, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin….” (HR. at-Tirmidzi no. 3211, disahihkan asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil al-Wadi’i t dalam ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, hlm. 187—188)
Dalam riwayat al-Imam Ahmad t disebutkan bahwa Ummu Salamah x, istri Nabi n, berkata kepada Nabi n:
مَا لَنَا لاَ نُذْكَرُ فِي الْقُرْآنِ كَمَا يُذْكَرُ الرِّجَالُ؟
“Kenapa kami tidak disebut dalam Al-Qur’an sebagaimana kaum lelaki disebut dalam Al-Qur’an?”
Ketika Ummu Salamah x sedang menyisir rambutnya, ia mendengar Rasulullah n bersabda di sisi mimbarnya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: { ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ } الْآيَةَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah l berfirman, ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin…’.”
Riwayat ini disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya sebagai sebab turunnya ayat (sabubun nuzul) surah al-Ahzab tersebut. Beliau t juga membawakan jalan-jalan lain dari hadits ini. (Tafsir Ibni Katsir, 6/252—253)
Demikianlah, syariat Islam bersemangat untuk membersihkan pemeluknya dan menegakkan kehidupan pemeluknya di atas kelurusan yang dibawa oleh Islam. Lelaki dan perempuan dalam hal ini sama. Allah l menyebutkan secara rinci sifat-sifat yang dengannya terwujud kelurusan tersebut. Allah l menyebutkan sepuluh sifat dalam ayat ini, yang semuanya saling membantu dalam membentuk jiwa yang tunduk yaitu Islam, iman, qunut (taat), shidiq (jujur), sabar, khusyuk, bersedekah, puasa, menjaga kemaluan, dan banyak berzikir kepada Allah l. Masing-masing sifat tersebut memiliki andil dalam membangun kepribadian seorang muslim, baik ia lelaki maupun wanita.
Di dalam ayat ini, wanita disebut berdampingan dengan lelaki sebagai bukti pengangkatan nilai seorang wanita dan pemberian kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hubungan dengan Allah l. Demikian pula dalam pengajaran akidah berupa pembersihan diri, ibadah, dan perangai yang lurus dalam kehidupan agar mereka semua secara bersama-sama dapat mencapai kehidupan yang kekal dalam surga-surga yang seluas langit dan bumi, yang disiapkan untuk kaum lelaki dan kaum wanita. Sama sekali tidak dikurangi pahala mereka dengan sebab kaum wanita. (Mazhahir Takrimil Mar’ah fi asy-Syariah al-Islamiyah, sebuah risalah yang diajukan untuk meraih gelar magister, karya Dr. Su’ad Muhammad, hlm. 40—41)
Dalam ayat di atas, Allah l memuji wanita bersama dengan lelaki.
Pertama, karena keislaman mereka, yaitu tunduk dan terikat dengan perintah Allah l. Kedua, karena keimanan mereka, yaitu pembenaran, benarnya keyakinan, dan kesesuaian lahir dengan batin. Islam dan iman memiliki hubungan yang sangat erat karena tidak ada iman bagi orang yang tidak berislam dan tidak ada Islam bagi orang yang tidak beriman. Seorang mukmin harus terlebih dahulu berislam sehingga terwujud keimanannya. Seorang muslim juga harus memiliki iman sehingga mengesahkan keislamannya. (Tafsir al-Khazin1/Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, 3/426)
Disebutnya iman dan Islam bersama-sama menunjukkan bahwa iman itu berbeda dengan Islam. Iman bersifat lebih khusus. Allah l berfirman tentang orang-orang A’rab (Badui):
Orang-orang A’rab (Badui) itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kalian belum beriman tetapi katakanlah, ‘kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (al-Hujurat: 14)
Setelah iman dan Islam, Allah l menyebutkan sifat yang ketiga yaitu qunut. Maknanya adalah beribadah dengan penuh ketaatan. Allah l berfirman memuji hamba-Nya yang qanit:
“(Apakah kalian wahai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya?” (az-Zumar: 9)
Sifat qunut ini tumbuh dari keislaman dan keimanan.
Sifat keempat adalah shidq/kejujuran. Sifat ini terkait dengan ucapan. Kejujuran adalah perangai yang terpuji. Oleh karena itulah, di antara sahabat Rasulullah n tidak pernah berdusta baik di masa jahiliahnya (sebelum berislam), apalagi setelah masuk Islam. Kejujuran adalah tanda keimanan sebagaimana dusta tanda kemunafikan. Barang siapa yang jujur, dia akan selamat. Sebaliknya, barang siapa berdusta dia akan celaka. Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Wajib bagi kalian untuk bersifat jujur karena jujur akan membimbing kepada kebaikan, dan sungguh kebaikan akan membimbing kepada surga. Berhati-hatilah kalian dari dusta karena dusta mengantarkan kepada kefajiran, dan sungguh kefajiran akan mengantarkan ke neraka. Terus-menerus seseorang berlaku jujur dan membiasakan kejujuran hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan terus-menerus seseorang berdusta dan membiasakan dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sifat sabar ditempatkan setelahnya. Orang sabar yang dipuji dalam ayat ini adalah orang yang sabar mengekang syahwat dan sabar menjalankan ketaatan, baik dalam keadaan tidak suka maupun dalam keadaan giat/bersemangat.
Demikian pula sabar menghadapi musibah. Ia menyadari bahwa apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi, tidak mungkin luput darinya. Ia menghadapi takdir tersebut dengan sabar dan tabah. Sabar yang paling berat adalah ketika waktu pertama terjadinya (hal yang tidak disukai), sebagaimana dalam hadits:
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَةِ الْأُوْلَى
“Hanyalah kesabaran itu pada pukulan yang pertama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Adapun setelahnya, lebih mudah.
Khusyuk adalah sifat yang berikutnya. Maknanya adalah diam, tenang, dan tunduk. Yang mendorong seseorang berlaku demikian adalah perasaan takut kepada Allah l dan merasakan pengawasan-Nya.
Selanjutnya, Allah l memuji lelaki dan perempuan yang bersedekah. Mereka adalah orang-orang yang berbuat baik kepada orang lemah yang keadaan ekonominya minim, dengan memberikan kelebihan harta yang ada, dalam rangka taat kepada Allah l. Dalam Shahihain disebutkan Rasulullah n bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ –فَذَكَرَ مِنْهُمْ– وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Ada tujuh golongan yang Allah naungi mereka dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…—(lalu beliau menyebutkan ketujuh golongan tersebut dan di antara mereka adalah)—seseorang yang bersedekah dalam keadaan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. al-Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 2377)
Berikutnya, lelaki dan wanita yang berpuasa. Allah l memuji mereka karena ibadah puasa yang mereka lakukan. Hal ini karena amalan puasa merupakan penolong terbesar untuk mematahkan syahwat. Rasulullah n bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْج، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْم، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan maka hendaklah ia menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Siapa yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (HR. al-Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 3384)
Setelah menyebutkan lelaki dan wanita yang berpuasa yang syahwat akan terkekang dengannya, sesuai sekali disebutkan orang yang menjaga kemaluan dari yang haram dan dosa, baik kalangan lelaki maupun wanita.
Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang menjaga/memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Ma’arij: 29—31)
Sifat terakhir yang mendapatkan janji kebaikan adalah banyak berzikir kepada Allah l, baik lelaki maupun perempuan.
Abu Sa’id al-Khudri z berkata, “Sungguh Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang suami membangunkan istrinya di waktu malam, lalu keduanya mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, pada malam tersebut keduanya akan dicatat termasuk lelaki dan wanita yang banyak berzikir (mengingat) Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, Abu Dawud no. 1309, disahihkan oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 333)
Untuk mereka yang disebutkan dalam ayat di atas, Allah l telah menyediakan ampunan dari dosa dan pahala yang besar yaitu surga. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 14/120, Tafsir Ibni Katsir, 6/254—256)
Demikianlah kita dapatkan agama Islam ini menyamakan lelaki dan wanita dalam hal meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allah l. Islam tidak membedakan keduanya dalam hal beroleh tempat yang diridhai di sisi Pencipta langit dan bumi.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Karya Alauddin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi asy-Syafi’i t, yang masyhur dengan sebutan al-Khazin, wafat 725 H. Tafsir ini adalah ringkasan dari tafsir Ma’alimut Tanzil karya al-Imam al-Baghawi t dengan tambahan penukilan dan tambahan ringkasan dari tafsir-tafsir sebelumnya. (at-Tafsir wal Mufassirun, 1/ 220—221)