Suami, Antara Dua Kekeliruan

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Islam telah mengajarkan bagaimana seharusnya menjadi seorang istri dan bagaimana seharusnya menjadi suami yang baik. Namun, disayangkan aturan Islam yang demikian adil, arif dan sempurna banyak dilanggar oleh pemeluknya termasuk dalam hal yang satu ini. Pelanggaran yang terjadi bisa karena kesengajaan, atau sikap masa bodo terhadap apa yang dimaukan syariat, atau lebih banyaknya karena memang jahil alias tidak paham.
Kali ini pembicaraan kita akan menyinggung tentang kesalahan yang ada pada suami dalam berbuat dan bersikap terhadap istrinya: dua posisi yang berlawanan, antara yang berlebih-lebihan dan yang menyia-nyiakan. Kenapa yang dibicarakan dari sisi suami, bukan kesalahan istri? Kami jawab bahwa sebelum ini pembahasan di lembar Sakinah sudah sering menyinggung kesalahan istri. Bagaimana seharusnya menjadi seorang istri shalihah, kewajiban yang harus ditunaikan terhadap suami, dan semisalnya. Oleh karena itu, sekarang tiba saatnya kita berbicara tentang suami.
Jika seorang suami mempunyai kesalahan dan kekurangan, Islam akan menegur dan mengarahkannya kepada kebaikan dan hal yang semestinya. Untuk bisa mengambil pelajaran dan melakukan perbaikan diri, tidak ada salahnya kita menengok kekeliruan yang terjadi lalu kita melihat sikap yang seharusnya dan semestinya dilakukan oleh seorang suami.
Kekeliruan yang pertama: Suami menghinakan istri, merendahkan dan melanggar hak-haknya. Ia membiarkan istrinya tanpa bimbingan dan arahan sehingga istri tidak tahu apa yang diwajibkan oleh Allah l terhadap dirinya. Akibatnya, si istri sering menyelisihi aturan-aturan Allah l, dan bisa jadi merusak keluarganya serta memenuhi seruan setiap orang yang mengajaknya kepada kejelekan. Sikap suami yang meremehkan istri dan tidak mengerti arti penting istri ini tidak dibolehkan oleh syariat. Syariat justru memberikan kemuliaan kepada wanita dan meninggikan kedudukannya. Al-Qur’an yang mulia turun memerintahkan suami untuk bergaul dengan baik kepada istrinya:
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Jika kalian tidak menyukai mereka (bersabarlah), karena bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)
Rasulullah n dalam haji Wada’ tidak lupa menganjurkan para suami agar memperbaiki pergaulan mereka dengan istri-istri mereka. Di saat kaum muslimin berkumpul dalam jumlah yang besar tersebut, beliau n bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kekeliruan yang kedua: Mereka melepaskan tali kendali para istri, memberikan kebebasan kepadanya sebebas-bebasnya, dan membiarkannya lepas begitu saja kemana si istri suka. Akibatnya, si istri bebas bepergian tanpa mahram, bercampur baur dengan lelaki lain di tempat-tempat umum, di tempat kerja, dan sebagainya. Padahal Allah l telah mengangkat suami sebagai qawwam, sebagaimana firman-Nya:
“Para lelaki adalah pimpinan bagi para wanita.” (an-Nisa: 34)
Sebagai pemimpin, suami bertanggung jawab mengarahkan istrinya, membimbingnya kepada kebaikan, dan tidak membiarkannya begitu saja1.
Sikap suami pada dua keadaan yang berlawanan ini akan menimbulkan akibat yang buruk. di antaranya:
1. Perceraian
Kita mengetahui konsekuensi dari perceraian ini: tercerai-berainya keluarga dan tersia-siakannya anak. Parahnya akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perceraian sehingga membuat ikatan keluarga menjadi terurai ini adalah target utama Iblis. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah n:
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْئُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُوْلُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيْئُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ: نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian ia mengirim tentara-tentaranya. Yang paling dekat di antara mereka dengan Iblis adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) yang ditimbulkannya. Salah seorang dari mereka datang seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang yang lain seraya berkata, “Tidaklah aku meninggalkan dia (manusia yang digodanya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.” (HR. Muslim)
2. Timbulnya berbagai problem suami-istri
Akibat yang jelas dari munculnya problem dalam rumah tangga adalah keluarga tidak bisa menjadi tempat pengasuhan dan pendidikan yang baik bagi generasi yang lahir di tengah-tengahnya.
Sikap suami dalam dua keadaan yang berlawanan ini adalah dosa yang akan dituntut di hadapan Allah l karena Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ… وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya… Dan suami adalah pemimpin atas keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat an-Nasai disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعاَهُ، أََحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ، حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya. Sampai-sampai seorang suami pun akan ditanyai tentang keluarganya.” (Disahihkan oleh al-Imam al-Albani dalam ash Shahihah no. 1636)
Bukankah seorang suami berkewajiban menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka, sebagai pengamalan dari firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (at-Tahrim: 6)
Dari sini kita mendapatkan kesimpulan bahwa sikap yang semestinya dari seorang suami adalah ia menjalankan fungsinya sebagai qawwam di tengah keluarganya. Hendaknya ia memuliakan istrinya dengan memberikan hak-haknya. Ia juga hendaknya memberikan pengajaran aturan-aturan syariat, hukum Allah l, dan Sunnah Rasul-Nya kepada sang istri secara langsung ataupun lewat perantara, karena ia bertanggung jawab menyelamatkan istri dan anak keturunannya dari api neraka.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Lihat Muqaddimah asy-Syaikh al-Fadhil al-Imam Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i terhadap kitab Nashihati lin Nisa’ karya putri beliau, Ummu Abdillah al-Wadi’iyah.