Sufi adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)

 

Barangsiapa menelaah hakikat shufiyah khususnya dalam masalah akidah, niscaya akan mendapati betapa kentalnya hubungan shufiyah dengan akidah Asy’ariyah. Di antara buktinya adalah pemikiran tokoh-tokoh mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Sebelum kita membahas bukti hubungan mereka, mari kita sedikit mengulas siapakah Asy’ariyah?

 

Sekelumit tentang Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari t sebelum beliau rujuk kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena beliau t mengalami tiga fase dalam kehidupannya:

1. Dibina oleh ayah tiri beliau di atas pendidikan Mu’tazilah

2. Mengkritisi pemikiran-pemikiran ayah tirinya dalam masa pemahaman yang dikenal sekarang dengan paham Asy’ariyah1

3. Rujuk kepada pemahaman ahlul hadits dan menulis buku yang berjudul Al-Ibanah, yang menunjukkan beliau di atas akidah Ahlus Sunnah.

Ibnu Katsir Asy-Syafi’i t berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Abul Hasan memiliki tiga keadaan:

Pertama: Keadaan di atas manhaj Mu’tazilah yang dia telah rujuk darinya.

Kedua: Menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah l yang khabariyah: seperti wajah, dua tangan, kaki, betis, dan lainnya.

Ketiga: Menetapkan semua sifat Allah l tanpa takyif (membayangkan gambaran tertentu dalam pikiran) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk), mengikuti jalan salaf. Inilah jalan beliau dalam kitabnya Al-Ibanah, kitab terakhir yang beliau tulis.” (lihat muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah)

Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa pemahaman yang banyak dianut shufiyah sekarang bukanlah paham Abul Hasan Asy’ari t. Karena beliau telah bertaubat darinya dan rujuk kepada madzhab Ahlus Sunnah.

 

Penjelasan singkat tentang akidah Asy’ariyah sehingga tidak termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jamaah

1. Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis kekufuran dengan sebab amalan kekafiran jasmani seseorang.

2. Mereka Jabriyah2 dalam masalah takdir.

3. Mereka tidak menetapkan ‘illat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.

4. Tidak menetapkan sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa’/naik di atas Arsy, nuzul/turun ke dunia pada sepertiga malam yang akhir, dan lainnya).

5. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali Al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l berada di atas makhluk-Nya.

6. Tidak menetapkan sifat ma’ani (seperti ilmu, hayat, dll) kecuali tujuh atau lebih. Pijakan mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak mereka tetapkan seperti Ahlus Sunnah.

7. Memaknai kalimat tauhid sebatas tauhid rububiyah saja. Mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.

8. Akhir dari pendapat mereka tentang kalamullah: Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana pendapat Mu’tazilah.

9. Memperlebar masalah karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin terjadi pada diri para wali.

10. Menetapkan bahwa Allah l dilihat tidak dari arah tertentu. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di hari kiamat).

11. Menyatakan bahwa akal tidak bisa menetapkan baik-buruknya sesuatu.

12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu. (Disadur dari kitab Takidat Musallamat As-Salafiyah hal. 35-36)

 

Ulama yang menyatakan Asy’ariyah bukan Ahlus Sunnah

1. Al-Imam Ahmad bin Hambal t

Ibnu Khuzaimah t ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi: “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?”

Ibnu Khuzaimah berkata: “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.”

Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh (guru/pembesar) Asy’ariyah.

Ibnu Taimiyah t berkata: “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”(Kitab Istiqamah)

2. Ibnu Qudamah t

Beliau t berkata: “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah (kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red.) dan Asy’ariyah.”

3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t

Beliau berkata: “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya: “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?”

Beliau menjawab: “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.”

(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30)

 

Hubungan Shufiyah dengan Asy’ariyah

Di antara bukti sangat kuatnya akidah Asy’ariyah pada pengikut shufiyah adalah banyaknya tokoh shufiyah yang mendakwahkan pemahaman dan akidah Asy’ariyah.

Di masa sekarang ini, bisa disebut nama Muhammad bin Alwi Al-Maliki, penulis buku Mafahim Yajib An Tushahhah. Dia termasuk dai kuburi shufi asy’ari (yang mengajak manusia mengagungkan kuburan secara berlebihan, beraliran sufi, dan berakidah Asy’ariyah). Inilah sebagian ucapannya:

1. Masalah akidah

Dia berkata dalam kitabnya (hal. 93): “Tidak diragukan lagi bahwa ruh-ruh (orang yang telah meninggal) punya pergerakan dan kebebasan yang memungkinkan menjawab orang yang menyerunya serta memberi pertolongan orang yang meminta tolong kepadanya. Persis sama dengan orang yang hidup, bahkan melebihinya.”

Cukuplah dalam membantah kesesatan ini, firman Allah l:

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu. Kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu, dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha mengetahui.” (Fathir: 13-14)

2. Masalah manhaj

Dia berkata dalam kitabnya (hal. 120): “Asy’ariyah adalah para imam pembawa petunjuk di antara sekian ulama muslimin.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 20-21)

 

Di antara bukti kuat adanya pengaruh kuat Asy’ariyah terhadap shufiyah adalah guru-guru, lembaga-lembaga, dan pondok-pondok shufiyah yang mengajarkan pemahaman Asy’ariyah terkhusus dalam masalah akidah seperti:

1. Hanya menetapkan sifat 13 atau 20

2. Menafikan Allah l di atas Arsy-Nya (sehingga menyatakan Allah l ada di mana-mana).

3. Hanya memaknakan kalimat syahadat sebatas tauhid rububiyah (Allah sebagai Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizki alam semesta)

Di antara bukti yang lain akan kuatnya paham Asy’ariyah pada kaum shufiyah adalah bahwa organisasi dan kelompok3 yang notabene beraliran shufiyah menjadikan pemikiran Asy’ariyah sebagai pemikiran organisasinya.


1 Yang sebenarnya mengadopsi pemahaman Kullabiyah. (ed.)
2 Yang menetapkan bahwa makhluk tidak punya kehendak dalam menjalankan hidup ini. (ed.)
3 Salah satu dari kelompok shufiyah masa kini adalah Jamaah Tabligh. Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan: “Jamaah Tabligh adalah shufiyah masa kini. Adapun Ikhwanul Muslimin sangat nampak hubungan mereka dengan shufiyah karena pendirinya, Hasan Al-Banna, adalah seorang pengikut thariqat shufi Al-Hashafiyyah.”
Untuk merinci lebih lanjut tentang kedua kelompok ini, alhamdulillah, pembaca bisa merujuk kepada Majalah Asy Syariah edisi 07 dan edisi 20.