Syariat Islam, Mengapa Gagal?

Penerapan syariat Islam jelas sesuatu yang didamba oleh setiap muslim yang masih mempunyai pengagungan terhadap agama ini. Namun, penerapannya dalam lingkup negara jelas bukan sebuah proses instan atau tiba-tiba. Ia juga bukan hasil pemungutan suara, namun lahir dari kesadaran sehingga benar-benar bisa diterapkan secara kaffah.
Caranya juga tidak melulu dengan pendekatan kekuasaan, sehingga meniscayakan bahwa tanpa merebut kekuasaan berarti syariat Islam nonsen. Akhirnya, penganut “mazhab” ini bukannya sibuk mempelajari syariat Islam itu sendiri, seperti praktik beribadah ataupun cara berpolitik sesuai tuntunan Rasulullah n, malahan sibuk bagaimana menguasai kursi mayoritas, meningkatkan perolehan suara partai, atau menarik simpati seluas-luasnya—bahkan praktiknya dengan melanggar syariat Islam. Dulu menarik simpati umat dengan menjual asa akan penerapan syariat Islam. Namun kemudian, setelah tercebur dalam kubangan lumpur politik praktis, jadi minder dengan syariat Islam. Syariat Islam dan yang semacamnya dianggap isu-isu sempit, jilbab dianggap cuma secarik kain, musik jadi ”halalan thayyiban”, dan sebagainya.
Penerapan syariat Islam memang bukan jargon. Ia butuh bukti nyata. Semuanya harus diawali dari diri kita sendiri. Menjadi naif jika kita tidak menerapkan syariat Islam pada diri sendiri, enggan mengamalkan sunnah Rasulullah n, kemudian kita meneriakkan Islam di jalan-jalan. Pantaskah kita berbicara khilafah jika kita belum memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah? Patutkah pula ngomong penegakan syariat Islam jika kita masih mendukung aksi teror yang mengatasnamakan jihad? Apakah pantas mengaku sebagai partai dakwah kalau kita justru merangkul musuh-musuh dakwah? Apakah pantas juga meneriakkan syariat Islam jika kita masih mengamalkan amalan ibadah yang tidak disyariatkan dalam Islam?
Penerapan syariat Islam, negara Islam, ataupun penegakan khilafah, sesungguhnya adalah keniscayaan jika setiap individu muslim telah benar-benar menegakkan syariat Islam pada diri mereka sendiri, mendirikan “negara Islam” pada dadanya ataupun menjadikan “kekhalifahan” bertakhta pada kalbunya. Semua itu tentu bukan proses yang ujug-ujug. Upaya ini jelas membutuhkan fondasi keimanan sebagai tahap persiapannya. Caranya adalah dengan memperbaiki akidah umat. Jika akidah umat ini belum diperbaiki, jangan berharap umat akan siap. Terlebih pada praktiknya, tauhid (baca: akidah) yang menjadi misi dakwah para rasul, justru diposisikan pada nomor kesebelas setelah partai atau khilafah. Padahal, syariat butuh penerapan secara menyeluruh baik subjek maupun objeknya, mulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga hingga dalam tataran global.
Oleh karena itu, yang perlu digarisbawahi di sini adalah cara. Jangan sampai meniatkan untuk menegakkan syariat Islam namun justru melakukannya dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Kegagalan demi kegagalan penerapan syariat Islam di berbagai negara semestinya membuat kita perlu melakukan rekaulang. Banyak memang kelompok yang “menjual” syariat Islam ternyata bukan untuk kemuliaan Islam wal muslimin, tetapi untuk kepentingannya. Mereka bahkan mengabaikan petunjuk Rasulullah n dalam tahapannya, bersikap terburu-buru, lantas menuduh pihak lain yang tidak sejalan dengan cara berpikir mereka sebagai kelompok yang antipenerapan syariat Islam.
Pemahaman akan syariat Islam sendiri juga mesti diluruskan. Ia tidak sebatas penerapan hukum hadd, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau hukuman mati bagi pembunuh. Syariat Islam lebih luas dan tidak sesederhana itu. Perlu juga dibahas hak dan kewajiban kaum kafir di tengah penerapan syariat Islam, sehingga menjadikan penegakan syariat Islam tidak terkesan “horor”. Alhasil, hikmah dan keindahan syariat Islam yang rahmatan lil alamin bisa dirasakan setiap manusia.