TATA CARA I’TIKAF
Bagaimana tata cara beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kapan dimulai dan amalan apa yang dikerjakan selama beri’tikaf berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Muhammad Basir via email
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.
Barang siapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf—dan ini hukumnya sunnah— hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah) itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ الله إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.
Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut.
- Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ
“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (al-Baqarah: 187)
Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.
- Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya[1], keluar untuk transaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”
- Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan-minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
إِنَّ النَّبِيَّ كَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إلاَّ لِحاَجَةٍ )وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ) إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً.
“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)
Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:
إِنْ كُنْتُ لَأَدْخُلُ الْبَيْتَ لِلْحَاجَةِ وَالْمَرِيْضُ فِيْهِ، فَمَا أَسْأَلُ عَنْهُ إِلاَّ وَأَنَا مَارَّةٌ.
“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.”[2]
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya—sedangkan kondisi sakitnya telah kritis—atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk suatu urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.
- Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mekhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.
- Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.
- Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya.[3]
Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.
I’TIKAF DI SELAIN MASJID YANG TIGA
Para ulama berbeda pendapat tentang i’tikaf di selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha), ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Mana yang rajih (lebih kuat)?
Fulan – lewat sms
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa i’tikaf diperbolehkan di semua masjid dan tidak terbatas hanya di tiga masjid saja. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ
“Janganlah kalian gauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Kata masjid dalam ayat ini bersifat umum[4] dan tidak dibatasi dengan sifat-sifat tertentu, sehingga ayat ini meliputi seluruh masjid tanpa kecuali.
Akan tetapi, jika rentang waktu i’tikaf diselingi waktu shalat lima waktu, maka bagi kaum pria yang berpendapat wajibnya shalat lima waktu secara berjamaah—dan inilah pendapat yang benar—dipersyaratkan untuk mereka beri’tikaf di masjid-masjid tempat ditunaikannya shalat berjamaah.[5] Jika rentang waktu i’tikaf diselingi waktu shalat Jum’at, yang afdhal (lebih utama) adalah mereka beri’tikaf di masjid yang padanya ditunaikan shalat Jum’at, namun hal ini bukan syarat.[6]
Adapun kaum wanita tidak dipersyaratkan melakukannya di masjid yang ditunaikan padanya shalat berjamaah, karena shalat jamaah tidak wajib atas kaum wanita. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih, serta dirajihkan oleh Ibnu Baz dan Ibnu ‘Utsaimin.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di tiga masjid (Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha) merupakan pendapat yang lemah, karena sandarannya adalah hadits yang diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama dan ada kelemahannya, yaitu hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu:
لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab as-Sunan dan ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar, juga diriwayatkan secara mauquf (dinisbatkan kepada Hudzaifah radhiallahu ‘anhu sebagai ucapannya) oleh ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf. Lafadz riwayat Abdur Razzaq adalah sebagai berikut.
قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ: قَوْمٌ عُكُوْفٌ بَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِي مُوْسَى لَا تَنْهَاهُمْ؟ فَقاَلَ لَهُ عَبْدُ اللهِ: فَلَعَلَّهُمْ أَصَابُوا وَأَخْطَأْتَ وَحَفِظُوا وَنَسِيْتَ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي هَذِه ِالْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
Hudzaifah berkata kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, “Engkau melihat suatu kaum melakukan i’tikaf (di masjid) antara rumahmu dan rumah Abu Musa al-Asy’ari dan engkau tidak melarang mereka?”
Abdulllah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab, “Barangkali mereka yang benar dan engkau yang salah, serta mereka yang hafal (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan engkau yang lupa.”
Lalu Hudzaifah berkata lagi, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Asy-Syaukani mengatakan bahwa riwayat mauquf ini menunjukkan Hudzaifah tidaklah berdalilkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyelisihinya serta membolehkan i’tikaf di seluruh masjid. Seandainya memang ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak akan menyelisihinya. Yang semakin menguatkan hal ini adalah dalam riwayat Sa’id bin Manshur yang marfu’ ada tambahan riwayat dengan lafadz:
… أَوْ مَسْجِدٍ جَمَاعَةٍ
“… atau di masjid jamaah.”
Yakni masjid jami’ tempat ditunaikan shalat Jum’at. Maka dari itu, asy-Syaukani mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Demikian pula adanya keraguan pada periwayatan itu (antara pembatasan di tiga masjid atau di masjid jamaah) termasuk hal yang melemahkan pendalilan dengan salah satu bagian dari hadits tersebut. Dengan ini pula Ibnu Hazm melemahkan hadits ini. Beliau berkata, ‘Keraguan ini dari Hudzaifah sendiri atau perawi setelahnya (yang di bawahnya). Tidak dibenarkan memastikan bahwa hadits-hadits itu berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adanya keraguan pada periwayatannya. Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkannya, tentu Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaganya untuk umat ini dan tidak akan tersisipi keraguan dalam periwayatannya.
Adapun yang menyatakan hadits ini sahih adalah asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 2786) dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Wushabi. Namun asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Wushabi tidak menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid dengan hadits ini. Beliau justru mengambil bagian kedua dari hadits untuk berpendapat bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid jamaah (masjid jami’). Beliau menukilkan pula bahwa ini adalah pendapat asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i. Lihat risalah beliau Idhah ad-Dalalah fi Takhrij wa Tahqiq Hadits La I’tikaf illa fil Masjid ats-Tsalatsah.
Seandainya pun hadits Hudzaifah ini dinyatakan sahih, hadits ini tetap tidak bisa menjadi dalil untuk membatasi bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid. Hadits ini harus dipadukan dengan dalil-dalil lain yang menyebutkan bolehnya beri’tikaf di selain tiga masjid. Oleh karena itu, hadits ini harus ditafsirkan dengan makna bahwa tidaklah i’tikaf sempurna melainkan bila dilakukan di tiga masjid atau masjid jamaah. Dengan ini, tampaklah bahwa pendapat yang kami pilih adalah pendapat yang terbaik, insya Allah.[7] Wallahu a’lam.
[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.
[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.
[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid untuk mengantar Shafiyyah radhiallahu ‘anha, dibawa kepada pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.
[4] Karena ( أل ) pada kata ( الْمَسَاجِد ) di ayat tersebut merupakan salah satu perangkat bahasa yang digunakan untuk menunjukkan makna yang bersifat umum.
[5] Karena kewajiban menghadiri shalat berjamaah menuntutnya untuk banyak keluar dari masjid tempat i’tikafnya serta berulang kali dalam sehari-semalam. Hal ini akan membatalkan i’tikafnya, karena bertolak belakang dengan maksud dan tujuan i’tikaf itu sendiri.
[6] Karena kewajiban menghadiri shalat Jum’at tidak memiliki intensitas yang sering dan hanya sekali dalam sepekan, sehingga tidak menuntutnya sering keluar meninggalkan masjid tempat i’tikafnya, dan hal itu tidak membatalkan i’tikaf.
[7] Lihat pembahasan ini pada kitab al-Muhalla (no. 633), Bidayah al-Mujtahid (2/610), al-Mughni (4/461—463), al-Majmu’ (6/507—508), Fathul Bari (dalam Kitab al-I’tikaf, Bab al-I’tikaf fi al-‘Asyri al-Awakhir), Nailul Authar (dalam Kitab al-I’tikaf penjelasan hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu), asy-Syarh al-Mumti’ (6/504—507), dan Majmu’ al-Fatawa li Ibni Baz (14/436).