Pembaca, semoga Allah merahmati kita semua.
Beberapa pertanyaan datang tentang tata cara pelaksanaan shalat Id di rumah. Karena itu, mengenai shalat Id di rumah akan kita bahas insya Allah. Namun, sebelum itu, mengapa shalat Id dilaksanakan di rumah?
Tentu, jawabannya sudah kita maklumi bersama, yaitu karena kondisi wabah virus corona atau Covid-19. Selain itu, juga karena pemerintah kita menganjurkan untuk melaksanakan ibadah di rumah, sebagai salah satu upaya meminimalisir penyebaran virus corona.
Shalat Id di Rumah Menurut Tinjauan Syariat
Apakah hal di atas cukup menjadi alasan untuk shalat di rumah, apabila ditinjau dengan kacamata syariat?
Jawabannya, ya. Hal itu sudah cukup menjadi alasan untuk shalat Id di rumah, menurut beberapa keterangan ulama syariat. Kutipan berikut ini sebagai salah satu contohnya. Dalam kitab al–Inshaf, karya al-Mirdawi (wafat 885 H) disebutkan,
قَوْلُهُ {وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Ucapannya, ‘Dan orang yang sakit diterima alasannya untuk tidak berjamaah dan tidak mengikuti shalat Jumat)’, ini tanpa ada pertentangan pendapat ulama. Diterima juga alasannya untuk tidak menghadiri keduanya disebabkan kekhawatiran terjadinya penyakit.” (al–Inshaf, 2/300)
Telah kita ketahui bersama bahwa ulama berbeda pendapat tentang beberapa hukum fikih. Misalnya,
-
Shalat berjamaah di masjid
Ada ulama yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah muakkadah.
-
Shalat Id
Ada ulama yang berpendapat fardu ain dan ada yang berpendapat fardu kifayah.
Bagi orang yang mengikuti pendapat tidak wajib dalam hal shalat berjamaah dan mengikuti pendapat fardu kifayah dalam hal shalat Id, kebijakan pemerintah kita (agar keduanya dilaksanakan di rumah) tidak begitu menjadi problem baginya.
Berbeda halnya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa shalat berjamaah di masjid dan shalat Id adalah fardu ain, kecuali bagi sebagian golongan tertentu—dan ini pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil yang cukup banyak. Demikian juga terkait dengan kewajiban shalat Jumat. Tentu, kebijakan pemerintah tersebut menuntut suatu pembahasan dari sisi syariat.
Syariat Islam Memberikan Solusi
Nah, perlu diketahui bahwa dalam hal ini ada solusi syar’i, yaitu telah terdapat rukhsah (dispensasi syariat) dalam hal tidak mengadakan shalat berjamaah di masjid atau shalat Jumat.
Sebagai contoh, Imam al-Bukhari membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya,
بَابُ الرُّخْصَةِ إِنْ لَمْ يَحْضُرِ الْجُمُعَةَ فِي الْمَطَرِ
“Bab Rukhsah (keringanan) apabila tidak datang shalat Jumat karena hujan.”
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, penjelas Shahih al–Bukhari.
Ibnu Rajab juga menjelaskan,
“Tampaknya yang dimaukan oleh beliau (al-Bukhari) adalah bahwa Jumat hukumnya fardu ain, wajib. Tidak ada keringanan bagi seseorang untuk meninggalkannya kecuali dengan izin imam (penguasa suatu negeri) bagi orang-orang untuk tidak mengumandangkan azan. Sebab, azan yang di hadapan imam itulah yang membuat wajib untuk didatangi. Oleh karena itu, imam perlu memberi keringanan kepada mereka agar azan tidak dikumandangkan.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 8/155)
Karena alasan semacam inilah, dalam azan bisa ditambahkan ucapan,
صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ
Atau
صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
“Shalatlah di rumah kalian.”
Pembaca, rahimakumullah.
Apabila hal ini terkait dengan shalat Jumat, bagaimana halnya dengan shalat jamaah lima waktu? Tentu lebih boleh untuk tidak dihadiri karena hujan. Dan memang demikian dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kalau hujan saja bisa menjadi alasan dalam hal ini, bagaimana halnya dengan alasan yang nyata, yaitu penanggulangan wabah virus yang berbahaya bagi banyak orang?
Ingat kembali ucapan al-Mirdawi di atas dalam kitab al–Inshaf, “… tidak menghadiri keduanya disebabkan kekhawatiran terjadinya penyakit.”
Semoga hal ini bisa dipahami dengan baik.
Di samping itu, masih banyak hal lain yang menyebabkan gugurnya kewajiban berjamaah, seperti sakit—yakni orang yang sakit atau yang menanganinya—, keamanan jiwa di luar rumah tidak terjamin, dan beberapa sebab lain.
Ada yang lebih mengejutkan. Al-Bukhari membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya,
بَابُ إِغْلاَقِ الْبَيْتِ، وَيُصَلِّي فِي أَيِّ نَوَاحِي الْبَيْتِ شَاءَ
“Bab Penutupan pintu Ka’bah, dan tentang shalat di sisi mana pun di Ka’bah sesuai dengan kehendak seseorang.”
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan maksudnya,
“Penulis (al-Bukhari) bermaksud menerangkan bahwa penutupan masjid dan Ka’bah, serta yang serupa dengannya karena adanya suatu kepentingan, boleh saja. Tidak dikatakan bahwa ini termasuk menghambat dilakukannya zikir dari masjid Allah. Sebab, tindakan ini berdasarkan alasan suatu maslahat, keperluan, atau bahkan terkadang karena kondisi darurat, maka tidak mengapa.” (Syarah Shahih al-Bukhari)
Dengan penjelaan di atas, kita mantap insya Allah dalam melaksanakan shalat Id di rumah. Syariat membolehkannya disebabkan suatu alasan yang syar’i. Apalagi ketika pemerintah telah menganjurkannya dengan alasan yang sangat logis.
Oleh sebab itu, jangan ada yang mengatakan, “Mengapa pabrik dan pasar dibuka, tetapi masjid ditutup?!”
Mohon berpikir lebih realistis.
Tuntunan Akidah Ahlus Sunnah
Saudara pembaca, semoga Allah merahmati kita semua.
Selaku seorang muslim yang berakidah Ahlus Sunnah, lakukanlah ini semua berdasarkan tuntunan akidah Ahlus Sunnah berikut ini.
Dijelaskan oleh Ibnu Abil Iz dalam kitab Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah,
“Teks-teks (nas) Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak (konsesus) para ulama salaf (pendahulu) umat ini, menyatakan bahwa waliyyul amr (pemerintah muslim suatu negeri), imam shalat, hakim, panglima perang, dan pemungut zakat, mereka ditaati dalam masalah-masalah yang berlaku ijtihad padanya.
Bukan mereka yang wajib mengikuti pengikut-pengikutnya pada masalah-masalah tersebut. Justru mereka (bawahan) yang wajib menaati mereka (pimpinan), meninggalkan pendapat pribadi, dan mengikuti pendapat pimpinan.
Alasannya, kemaslahatan persatuan dan kebersamaan serta kerusakan/akibat buruk perpecahan dan perselisihan, lebih diperhatikan daripada masalah yang sifatnya parsial. Karena itu, tidak boleh pula sebagian aparat pemerintah menyanggah ketetapan sebagian yang lain.” (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 368)
Saya yakin, setiap muslim akan bersedih saat aktivitas ibadahnya terhalangi. Bahkan, tak jarang di antara mereka ada yang meneteskan air matanya. Harapan untuk kembali beribadah di masjid selalu bergelora.
Namun, apa daya ketika musibah mendunia ini datang. Remuk redam, mungkin itulah gambaran perasaan jiwa seorang muslim saat itu. “Tidak beribadah di masjid,” seakan-akan hati tak percaya dengan kenyataan ini.
Akan tetapi, ketika kita menjalani semuanya itu dengan
-
bimbingan syariat dan didasari akidah yang benar,
-
sabar dan rela dengan ketetapan Allah,
-
rela menjalani semua kebijakan ini karena kewajiban taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya dan waliyyul amr;
-
tidak menggerutu,
-
tidak terbawa perasaan,
-
tidak hanya beroposisi,
-
tidak selalu semata dengan pengamatan akal tanpa terbimbing syariat,
-
tidak memanfaatkan kondisi demi intrik-intrik politik;
maka kita akan mendapatkan pahala aktivitas ibadah yang sebelumnya telah biasa kita lakukan. Hiburlah diri ini dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا
“Apabila seorang hamba sakit atau safar, akan ditulis baginya pahala seperti yang biasa dia lakukan saat sehat dan mukim.” (HR. al-Bukhari)
Apabila hal ini terkait dengan seorang yang sakit atau safar, lantas terhalangi melakukan kebiasaan ibadahnya, bagaimana halnya yang terhalangi dari ibadah karena sebab yang lebih besar darinya?!
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“(Termasuk dalam hadits ini,) siapa saja yang berniat mengamalkan suatu amal baik, tetapi tersibukkan dengan hal lain yang lebih utama darinya dan tidak mungkin baginya menggabungkan keduanya. Dia lebih berhak untuk dicatat baginya pahala amal yang terhalangi oleh amalan lain yang lebih utama, atau bahkan hanya terhalangi oleh amalan yang sederajat dengannya. Karunia Allah amatlah besar.” (Bahjatu Qulub al-Abrar)
Terkait dengan shalat Id pun demikian. Para ulama telah membahas apabila seseorang tidak bisa mengikutinya secara berjamaah bersama imam karena suatu sebab.
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya membuat suatu bab berjudul,
بَابٌ: إِذَا فَاتَهُ الْعِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ، وَمَنْ كَانَ فِي الْبُيُوتِ وَالْقُرَى
“Bab apabila shalat Id terluput dari seseorang, dia shalat dua rakaat; demikian pula bagi wanita; demikian pula bagi mereka yang berada di rumah dan perdesaan.”
Maksudnya, masalah ini tidak luput dari tuntunan agama kita yang mulia dan lengkap. Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya ….
Apakah Shalat Id di Rumah Memiliki Tata Cara Tertentu?
Pada dasarnya, sama saja shalat Id di rumah atau di luar rumah, baik di tanah lapang—dan itulah yang sesuai dengan sunnah (ajaran Nabi)—maupun di masjid.
Hanya saja, ada beberapa hal yang berbeda, sebagaimana akan dijelaskan insya Allah. Karena itu, kita akan menyebutkan secara ringkas adab dan tuntunan shalat Id.
Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih rinci beserta dalil-dalilnya, silakan membaca makalah yang sebelumnya pernah kita tulis dengan judul Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri.
Berikut ini adalah ringkasannya, dengan sedikit tambahan pada beberapa masalah.
-
Mandi sebelum melakukan shalat Id.
-
Memakai wewangian.
-
Berhias dengan pakaian yang bagus.
-
Memakan kurma dalam jumlah ganjil: tiga, lima, atau tujuh butir, sebelum melaksanakan shalat Id.
Apabila tidak ada kurma, memakan sesuatu yang manis, seperti madu; sebagaimana yang disarankan sebagian tabiin, seperti Mu’awiyah bin Qurrah dan Ibnu Sirin.
Bahkan, sekalipun hanya meminum seteguk air, sepantasnya tetap dia lakukan, sebagaimana kata Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (2/447).
-
Bertakbiran sambil menunggu shalat, dengan lafaz,
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
Atau,
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
-
Melaksanakan shalat Id pada waktunya.
Waktunya dimulai setelah matahari terbit kira-kira seukuran setinggi tombak (sudah keluar dari waktu larangan shalat) sampai menjelang tengah hari. Disunnahkan shalat Id dikerjakan pada awal waktu.
-
Tanpa mengumandangkan azan dan iqamah, termasuk tanpa seruan “ash-Shalatu jami’ah”, menurut pendapat yang lebih kuat.
-
Shalat Id dilaksanakan tetap dua rakaat dengan suara keras atau jahr, dengan niat shalat Id.
Sedikit kita jelaskan bahwa dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, dilakukan empat rakaat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu. Ada pula pendapat yang lain. Perinciannya bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Rajab.
Singkat saja bahwa pendapat yang terkuat adalah tetap dilaksanakan dengan dua rakaat dan dengan takbir tambahan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu anhu. Ini menjadi pendapat beberapa ulama.
Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa asal shalat Id ialah dua rakaat. Ia tidak berubah menjadi empat rakaat bagi yang tertinggal jamaah lalu melakukannya.
Saat ditanya tentang hal ini, Syaikh al-Albani menjawab, “Diqadha seperti yang terlewatkan, dan ini merupakan kaidah dalam fikih.”
Al-Bukhari menyebutkan,
وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ الْمِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ
“Anas (bin Malik) memerintah budaknya, yaitu Ibnu Abi Utbah di kampungnya, Zawiyah, untuk mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya. Lalu dia mengumpulkan mereka dan melakukan shalat (Id) seperti shalatnya penduduk kota dan seperti takbir mereka.”
وقَالَ عَطَاءٌ: إِذَا فَاتَهُ الْعِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
Seorang tabiin, ‘Atha bin Abi Rabah mengatakan, “Jika seseorang terluput dari shalat Idnya, dia shalat dua rakaat.”
Ini juga merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Bahkan, Abu Hanifah mengatakan, “Tidak bertakbir melainkan seperti takbir imam, tidak lebih tidak kurang.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169—170)
Adapun yang berpendapat empat rakaat, karena menyamakannya dengan shalat Jumat yang dilakukan di rumah. Padahal shalat Id dan shalat Jumat tidak sama.
-
Tetap disunnahkan menambah takbir tujuh kali setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, dan lima kali setelah takbir intiqal (takbir saat berdiri) pada rakaat yang kedua, seperti penjelasan ulama di atas.
Dalam hal ini juga ada pendapat yang mengatakan tanpa tambahan takbir. Namun, sebagaimana penjelasan sebelumnya, tata cara shalat Id tidak berubah.
-
Mengangkat tangan pada takbir tambahan menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Adapun Imam Malik berpendapat tidak mengangkat tangan.
-
Bacaan istiftah, menurut asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan mayoritas ulama, dibaca setelah takbiratul ihram, lalu takbir tujuh kali.
Adapun pendapat al-Auza’i dan Ahmad dalam riwayat lain dari beliau, istiftah dibaca setelah takbir tujuh kali. Imam Ahmad membolehkan setelah takbir tujuh kali atau sebelumnya. (Masa’il Imam Ahmad riwayat putranya, Abdullah, 132)
Hal ini mungkin karena tidak ada riwayat yang jelas yang menentukan di mana letak istiftah tersebut.
-
Apakah ada bacaan di antara takbir-takbir tersebut?
Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bacaan apa pun di sela-sela takbir-takbir tambahan. Hanya saja, diriwayatkan dari sebagian sahabat, seperti Ibnu Mas’ud,
بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ حَمْدٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَثَنَاءٌ عَلَى اللهِ
“Di antara tiap dua takbir, adalah pujian dan sanjungan kepada Allah azza wa jalla.” (Riwayat al-Muhamili dalam kitab al-‘Idain. Syaikh al-Albani mengatakan [Irwa’ul Ghalil, 3/115], “Ini sanad yang bagus.”)
Jadi, yang tidak membaca dibolehkan; yang membaca pun dibolehkan.
-
Bacaan surah, tidak diharuskan surah tertentu.
Akan tetapi, sunnahnya ialah pada rakaat pertama membaca surah al-A’la dan pada rakaat kedua surah al-Ghasyiyah; atau pada rakaat pertama membaca surah Qaf dan pada rakaat kedua membaca surah al-Qamar .
-
Apakah dengan khotbah?
Bagi yang shalat sendirian, tentu saja tanpa khotbah. Bagaimana halnya bagi yang berjamaah?
Khotbah dalam shalat Id adalah sunnah, menurut empat mazhab. (Raddul Mukhtar, 2/175; Minahul Jalil, 1/466; Mughnil Muhtaj, 1/589; al–Inshaf, 3/353)
Dengan demikian, shalat Id tetap sempurna sekalipun tanpa khotbah. Ibnul Qasim mengatakan,
“Tidak wajib menghadiri khotbah dan tidak wajib mendengarkannya. Tidak hanya satu orang ulama yang mengatakan bahwa ulama yang mewajibkan shalat Id dan ulama lainnya telah bersepakat tentang tidak wajibnya khotbah. Kami tidak ketahui ada seorang ulama yang mewajibkannya.
Al-Muwaffaq mengatakan, hanyalah khotbah itu diakhirkan setelah shalat—wallahu a’lam—karena hukumnya tidak wajib. Karena itu, khotbah ditempatkan pada waktu yang memungkinkan orang yang ingin meninggalkannya untuk meninggalkannya.” (Hasyiyah ar–Raudhul Murbi’ 2/513)
Hukum ini berlaku dalam kondisi normal. Alasannya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mewajibkan mendengarkan khotbah. Dengan demikian, ini berarti bahwa khotbah itu tidak wajib. (Hasyiyah ar–Raudhul Murbi’ 2/513)
Ibnu Rajab menerangkan bahwa sebagian ulama berpendapat, bagi yang tertinggal shalat Id boleh melakukannya baik dengan sendirian maupun berjamaah.
Beliau lalu mengatakan, “Akan tetapi, tidak melakukan khotbah setelah imam berkhotbah. Sebab, hal itu merupakan sikap menyempal dari imam dan bisa memecah-belah persatuan.” (Fathul Bari 6/173)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dahulu Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu memerintah seseorang untuk mengimami orang-orang (yang lemah dan tidak bisa mengikuti jamaah) agar shalat di Masjid Kufah dua rakaat. Ibnu Abi Laila mengatakan, “Shalat dua rakaat.”
Seseorang bertanya kepada Ibnu Abi Laila, “Shalat tanpa khotbah?” “Ya,” jawabnya. (al–Mushannaf 2/5)
Bisa jadi, dengan pertimbangan ini, Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi (al-Lajnah ad-Daimah) berfatwa:
“Barang siapa terlewatkan shalat Id dan ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya melakukannya seperti tata caranya, tanpa khotbah.”
-
Boleh shalat Id sendirian dalam kondisi khusus.
Saat menukilkan pendapat ulama yang membolehkan mengqadha shalat Id seperti yang dikerjakan imam—yaitu pendapat an-Nakha’i, Malik, asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir—Ibnu Qudamah mengatakan,
“… Karena ini adalah qadha bagi sebuah shalat, ia dilakukan sesuai tata caranya, sebagaimana mengqadha shalat-shalat lain. Seseorang diberi pilihan, melakukannya sendirian atau berjamaah.”
Imam Ahmad pun pernah melakukan (shalat Id) sendirian saat beliau bersembunyi. (Masa’il Imam Ahmad riwayat putranya, Abdullah, 130)
-
Musafir disunnahkan tidak shalat Id. Namun, apabila dia melakukannya, hukumnya sah.
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diperselisihkan bahwa shalat Id tidak wajib bagi penduduk kampung (terpencil) dan para musafir. Perbedaan pendapat ulama adalah dalam hal sah atau tidaknya shalat itu apabila mereka melakukannya. Mayoritas ulama berpendapat sah dan boleh.”
Az-Zuhri mengatakan, “Tidak ada kewajiban shalat Idul Fitri maupun Idul Adha bagi musafir, kecuali jika dia berada di sebuah desa atau kota sehingga ikut (shalat Id) bersama penduduk.
Penutup
Demikian penjelasan yang bisa kami sampaikan. Kami memohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menerima amal ibadah kita selama Ramadhan dan selain Ramadhan. Semoga pula Allah memaafkan kekurangannya.
Selamat berhari raya. Semoga tetap berbahagia walau beriring duka. Semoga kesedihan ini segera Allah ganti dengan berlipat-lipat kebahagiaan. Semoga pula wabah ini segera berakhir dan berganti dengan berkah.