Tata Cara Shalat Jenazah

Mengantarkan dan Memakamkan Jenazah

Mengantarkan jenazah ke pekuburan dan memakamkannya adalah tugas kaum laki-laki. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melarang wanita untuk mengikuti jenazah. Ummu Athiyyah radhiallahu anha memberitakan,

وَكُنَّا نُنْهَى—وَ فِي رِوَايَةٍ: نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ—عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ، وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami) mengikuti jenazah, tetapi tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”[1]

Imam Ibnul Daqiq al-Id rahimahullah berkata,

“Hadits ini mengandung dalil dibencinya wanita mengikuti jenazah, tetapi tidak sampai haram. Demikian yang dipahami dari ucapan Ummu Athiyyah radhiallahu anha, ‘Tetapi tidak ditekankan larangan tersebut terhadap kami.’  Sebab, ‘azimah menunjukkan ta’kid (penekanan).” (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, “Kitab al-Janaiz”, hlm. 199)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata,

“Seakan-akan Ummu Athiyyah hendak menyatakan, ‘Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci kami mengikuti jenazah, tetapi beliau tidak mengharamkannya’.”

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

“Yang tampak dari konteks ucapan Ummu Athiyyah radhiallahu anha adalah larangan tersebut merupakan larangan tanzih (larangan makruh, bukan haram). Demikian pendapat jumhur ulama[2].” (Fathul Bari, 3/186)

Baca juga: Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh

Sementara itu, para ulama Madinah membolehkannya, termasuk Imam Malik rahimahullah. Namun, beliau menganggap makruh untuk wanita yang masih muda/remaja[3].” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/5; Ihkamul Ahkam, “Kitab al-Janaiz”, hlm. 200)

Dengan demikian, keutamaan mengikuti jenazah seperti ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu hanya berlaku untuk lelaki. (Ahkamul Janaiz, karya Syaikh al-Albani rahimahullah, hlm. 88—90)

Hukum Shalat Jenazah

Menyalati jenazah seorang muslim hukumnya fardu/wajib kifayah[4] karena adanya perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa hadits.

Di antaranya ialah hadits Abu Qatadah radhiallahu anhu, ia menceritakan,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنَّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ

Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar beliau menyalatinya. Ternyata, beliau bersabda, “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menyalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung utang.”

Mendengar hal itu, berkatalah Abu Qatadah, “Utang itu menjadi tanggunganku.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”

“Janji ini akan disertai dengan penunaian,” jawab Abu Qatadah. Nabi pun menyalatinya.”[5]

Akan tetapi, ada dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:

  1. Anak kecil yang belum balig.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalati putra beliau, Ibrahim, ketika wafat. Aisyah radhiallahu anha memberitakan,

مَاتَ إِبْرَاهِيْمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيَةَ عَشْرَ شَهْرًا، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ibrahim, putra Nabi shallallahu alaihi wa sallam, meninggal dunia dalam usia 18 bulan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalatinya.”[6]

  1. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalati syuhada Perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik radhiallahu anhu mengabarkan,

أَنَّ شُهَدَاءَ أُحُدٍ لَمْ يُغَسَّلُوْا، وَدُفِنُوا بِدِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ غَيْرُ حَمْزَةُ

“Syuhada Perang Uhud tidak dimandikan. Mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka. Mereka juga tidak dishalati selain kecuali jenazah Hamzah.”[7]

Kalaupun kedua golongan di atas hendak dishalati, tidak menjadi masalah. Bahkan, ini disyariatkan. Hanya saja, pensyariatannya tidaklah wajib. Mengapa kita katakan ini disyariatkan? Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah pula menyalati jenazah anak kecil. Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha menyebutkan dalam haditsnya,

أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِيٍّ مِنْ صِبْيَانِ الْأَنْصَارِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar. Beliau pun menyalatinya….”[8]

Baca juga: Mengafani Jenazah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah menyalati jenazah seorang Badui yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Had berkisah,

“Seorang lelaki dari kalangan Badui datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian, ia berkata, “Aku berhijrah bersamamu.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpesan kepada beberapa sahabatnya untuk memperhatikan Badui ini. Ketika Perang Khaibar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendapatkan ganimah. Beliau membagikannya. Beliau memberikan bagian kepada Badui tersebut dengan menyerahkannya melalui sebagian sahabat beliau. Saat itu, si Badui ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ganimah tersebut kepadanya.

“Apa ini?” tanya Badui tersebut.

“Bagian yang diberikan oleh Nabi untukmu,” jawab mereka.

Badui ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dia bertanya, “Harta apa ini?”

“Aku membagikannya untukmu,” sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

“Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar aku dipanah di sini—ia memberi isyarat ke tenggorokannya—hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata si Badui.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”

Baca juga: Mengikuti Shalat Jenazah Melalui Live Streaming

Mereka tinggal sejenak. Setelah itu, mereka bangkit untuk memerangi musuh (dan si Badui turut serta bersama mereka hingga gugur di medan laga, -pent.). Ia dibopong ke hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebelumnya, ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.

“Apakah ini Badui itu?” tanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

“Ya,” jawab mereka.

“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengafaninya dengan jubah beliau. Setelah itu, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat jenazah tersebut,

“Ya Allah, inilah hamba-Mu. Dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid. Aku menjadi saksi atas semua itu.”[9]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan apakah menyalati mereka atau tidak. Sebab, masing-masing ada atsar-nya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Pendapat inilah yang paling cocok dengan ushul dan mazhabnya.” (Tahdzibus Sunan, 4/295, sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 108)

Hukum Menyalati Janin yang Gugur

Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan roh kepadanya, yakni ketika telah genap berusia empat bulan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Mas‘ud radhiallahu anhu secara marfu’,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ مَلَكًا يُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. ثُمَّ  يُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ…

“Sesungguhnya, salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari. Kemudian, menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga. Kemudian, menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu, (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kalimat. Dikatakan kepada malaikat tersebut, “Tulislah amal dan rezekinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan roh pada janin tersebut….”[10]

Namun, apabila janin gugur sebelum kandungan berusia 4 bulan, tidak dishalati. Sebab, janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai roh). (al-Hawil Kabir, 3/31; al-Muhalla 3/386—387; Nailul Authar 4/61)

Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah

Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu. Dalinya adalah

  1. Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
  2. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”[11]

Namun, apabila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri, kewajiban telah tertunaikan. Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun, yang sesuai dengan as-Sunnah ialah shalat jenazah dilakukan secara berjamaah. Sebab, demikianlah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits masyhur yang ada dalam kitab ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijmak kaum muslimin dalam masalah ini.” (al-Majmu’, 5/172)

Semakin banyak jamaah yang menyalati jenazah tersebut, semakin afdal dan bermanfaat bagi si mayat.[12] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِئَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ، إِلاَّ شُفِّعُوْا فِيْهِ

“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah serratus orang, yang mereka memberikan syafaat kepada si mayat, kecuali mayat tersebut akan disyafaati.”[13]

Baca juga: Shaf Shalat Jenazah Jika Makmum Satu Orang

Bahkan, jumlah yang kurang dari seratus pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat yang menyalatinya adalah dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ، فَيَقُوْمُ عَلىَ جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً، لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شفَّعَهُمُ اللهُ فِيْهِ

“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu ada empat puluh orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikit pun menyalati jenazahnya, kecuali Allah memberikan syafaat mereka terhadapnya.”[14]

Hukumnya sunnah bagi makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih di belakang imam[15]. Abu Umamah radhiallahu anhu berkata,

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىَ جَنَازَةٍ وَمَعَهُ سَبْعَةُ نَفَرٍ، فَجَعَلَ ثَلاثَةَ صَفًّا، وَاثْنَيْنِ صَفًّا وَاثْنَيْنِ صَفًّا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat jenazah bersama tujuh orang. Beliau menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf, dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.”[16]

Yang afdal, pelaksanaan shalat jenazah adalah di luar masjid, yakni di tempat yang khusus disiapkan untuk shalat jenazah. Demikian yang dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Ahkamul Janaiz, hlm. 135)

Masbuk dalam Shalat Jenazah

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

“Apabila seseorang luput mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imam), dia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia menyempurnakan takbir yang luput, dan berdoa di antara takbir yang satu dan takbir yang lain, sebagaimana yang ia perbuat bersama imam.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuk) agar ia mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam lalu menyeempurnakan apa yang tertinggal….” (al-Muhalla, 3/410)

Posisi Berdiri Imam

Apabila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Jika jenazahnya perempuan, imam berdiri pada posisi tengahnya.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Samurah bin Jundab radhiallahu anhu yang dikeluarkan dalam Shahihain[17]. Samurah berkata,

 “Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika menyalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri pada posisi tengah jenazah. Beliau bertakbir empat kali.”[18]

Abu Ghalib al-Khayyath rahimahullah berkisah,

“Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik radhiallahu anhu menyalati jenazah seorang lelaki. Dia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah.

Setelah jenazah tersebut diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari kalangan Anshar. Dikatakan kepada Anas, ‘Wahai Abu Hamzah (kuniah Anas), tolong shalatilah.’

Anas pun menyalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.

Di antara kami ketika itu ada al-‘Ala bin Ziyad al-‘Adawi[19]. Ketika melihat perbedaan posisi berdiri Anas, ia berkata, ‘Wahai Abu Hamzah, apakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menyalati jenazah laki-laki dan ketika menyalati jenazah wanita?’

Anas menjawab, ‘Ya’.”[20]

Hukum Wanita Menyalati Jenazah

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

“Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menyalati jenazah tersebut. Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya kewajiban (menyalati jenazah) telah gugur dengan apa yang mereka lakukan. Mereka menyalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun, tidak apa-apa apabila mereka mengerjakan secara berjamaah (sesama mereka).” (al-Majmu’, 5/169)

Tata Cara Shalat Jenazah

Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain. Shalat jenazah dilaksanakan tanpa rukuk, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahud. (al-Muhalla, 3/345)

Berikut ini perinciannya.

  1. Bertakbir empat kali[21].

Demikian pendapat mayoritas sahabat, jumhur tabiin, dan mazhab seluruh fuqaha.

  1. Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana pada shalat yang lain.

Imam al-Hafizh Ibnul Qaththan rahimahullah berkata, “Ulama bersepakat bahwa orang yang menyalati jenazah bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, 1/186)

Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Tentang mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya kecuali pada awal takbir saja.” (al-Muhalla, 3/351)

Baca juga: Shalat Gaib untuk Jenazah Covid-19

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Dalam As-Sunnah tidak ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada selain takbir yang pertama. Jadi, kita memandang bahwa mengangkat tangan pada selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat mazhab ulama Hanafi dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh asy-Syaukani rahimahullah[22] dan ahli tahqiq lainnya.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 148)

  1. Setelah takbir pertama, membaca ta’awudz lalu membaca al-Fatihah[23] dan surah lain dari al-Qur’an[24].

Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata, “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Dia membaca al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjaharkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahar tersebut. Beliau menjawab, “Aku menjaharkan bacaanku hanyalah agar kalian mengetahui bahwa (membaca al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) adalah sunnah[25] dan hak (kebenaran).”[26]

Sebenarnya, bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijaharkan, tetapi sir (pelan). Hal ini berdasarkan keterangan dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata, “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca al-Fatihah dengan sir, kemudian bertakbir tiga kali, dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”[27]

Baca juga: Shalat Gaib untuk Jenazah yang Tidak Ditemukan

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Bacaan dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara sir. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama. Adapun tentang riwayat dari Ibnu Abbas di atas, Imam Ahmad mengatakan, ‘Beliau melakukan hal itu hanyalah untuk mengajari mereka’.” (al-Mughni, “Fashl al-Israr bil Qira’ah wad Du’a fi Shalatil Janazah”)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan menjaharkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar, 4/81)

  1. Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Lafaz shalawatnya sebagaimana dalam tasyahud. (al-Mughni, “Fashl al-Israr bil Qira`ah wad Du’a fi Shalatil Janazah”; asy-Syarhul Mumti’, 2/526)

5. Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat.

Doa tersebut dibaca secara sir menurut pendapat jumhur ulama. (al-Minhaj, 7/34)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلىَ الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ

“Apabila kalian menyalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”[28]

Al-Munawi rahimahullah menerangkan makna hadits di atas, “Maksudnya, doakanlah si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati. Sebab, tujuan shalat jenazah adalah untuk memintakan ampunan dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa sepenuh hati.” (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hlm. 156)

Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya. (asy-Syarhul Mumti’ 2/530; at-Ta’liqat ar-Radhiyyah 1/444)

Baca juga: Menyalati Jenazah yang Hanya Ditemukan Sebagian

Di antara doa yang pernah diucapkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk jenazah adalah sebagai berikut.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ[29] وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْماَءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ (وَفِي رِوَايَةٍ: كَمَا يُنَقَّى) الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَ أَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا (وَ فِي رِوَايَةٍ: زَوْجَةً) خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari perkara yang tidak baik dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempat tinggalnya. luaskan/lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah dia (dari bekas-bekas dosa) dengan air, salju, dan es. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana Engkau menyucikan pakaian putih dari noda. Gantikanlah untuknya negeri yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, dan pasangan yang lebih baik daripada pasangan hidupnya. Masukkanlah ia ke dalam surga. Lindungilah dia dari azab kubur dan azab neraka.”[30]

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيمَانِ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang hadir dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah ia di atas Islam. Siapa yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah dia di atas iman. Ya Allah, janganlah Engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”[31]

Baca juga: Menyalati Jenazah Sebelum Dimandikan

Apabila mayat itu anak kecil, disenangi untuk mendoakan kedua orang tuanya[32] agar mendapatkan ampunan dan rahmat, seperti tersebut dalam hadits al-Mughirah bin Syu‘bah radhiallahu anhu.[33]

Ulama menganggap baik untuk mengucapkan doa berikut ini.

اللّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِوَالِدَيْهِ، ذُخْرًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا، اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُوْرَهُمَا، اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ  فِي كَفَالَةِ  إِبْرَاهِيْمَ  وَأَلْحِقْهُ  بِصَالِحِ  سَلَفِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَأَجِرْهُ بِرَحْمَتِكَ مِنْ عَذَابِ الْجَحِيْمِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَسْلاَفِنَا وَأَفْرَاطِنَا وَمَنْ سَبَقَنَا بِالْإِيْمَانِهُ

“Ya Allah, jadikanlah anak ini (si mayat) sebagai pendahulu bagi kedua orang tuanya, tabungan/simpanan dan pahala bagi keduanya. Wahai Allah, beratkanlah timbangan keduanya dengan kematian si anak, besarkanlah pahala keduanya. Ya Allah, jadikanlah anak ini dalam tanggungan Nabi Ibrahim[34] dan gabungkanlah dia dengan pendahulu yang saleh dari kalangan (anak-anak kecil) kaum mukminin. Lepaskanlah dia dari azab neraka Jahim dengan rahmat-Mu[35]. Gantikanlah untuknya rumah/negeri yang lebih baik daripada rumah/negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya. Ya Allah, ampunilah salaf kami, orang-orang yang mendahului kami, dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”[36] (al-Mughni, “Fashl ad-Du’a li Walidayith Thifl al-Mayyit”)

  1. Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam.

Dalilnya ialah hadits Abu Ya’fur dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu, ia berkata, “Aku menyaksikan Nabi shallallahu alaihi wa sallam (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali. Kemudian, (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat—untuk berdoa.”[37]

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini. Demikian diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masail al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam mazhab Syafi’i. (Ahkamul Janaiz, hlm. 161)

  1. Kemudian, salam seperti salam dalam shalat lima waktu.

Yang sesuai dengan sunnah, salam diucapkan secara sir (pelan), baik sebagai imam maupun makmum. (al-Hawil Kabir 3/55—57, Nailul Authar 4/82)

Demikian yang bisa kami susun untuk pembaca yang mulia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya bermanfaat untuk kami pribadi dan orang yang membacanya. Amin.

Kebenaran datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila ada kesalahan dan kekeliruan, hal itu semata karena kebodohan kami. Kami memohon ampun kepada at-Tawwab ar-Rahim (Dzat Yang Banyak Mengampuni hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang).

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

[1] HR. al-Bukhari no. 1278 “Kitab al-Janaiz”, “Bab Ittiba’ an-Nisa al-Janaiz” dan Muslim no. 2163 dan 2164, “Kitab al-Janaiz”, “Bab Nahyin Nisa ‘an Ittiba’il Janaiz”.

[2] Di antara yang menganggapnya makruh adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Umamah, Aisyah, Masruq, al-Hasan, an-Nakha’i, al-Auza’i, dan Ishaq. (al-Mughni, “Kitab al-Janaiz”, “Fashl Yukrahu Ittiba’in Nisa al-Janaiz”)

[3] Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيْرَاطَانِ. قِيْلَ: وَمَا الْقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَيْنِ

“Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dishalati (mengikutinya dari tempat keluarga/rumah si mayat sampai menyalatinya di tempat jenazah tersebut dishalati, -pent.), ia mendapatkan satu qirath. Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dimakamkan (mengikutinya dari tempat keluarganya hingga selesai pemakamannya, -pent.), ia mendapat dua qirath.”

Ditanyakan kepada beliau, “Apakah dua qirath itu?”

Beliau menjawab, “Semisal dua gunung yang besar.” (HR. al-Bukhari no. 1325, “Bab Man Intazhara hatta Tudfan” dan Muslim no. 2186 “Bab Fadhlush Shalah ‘alal Janazah wa Ittiba’iha”)

Baca juga: Hukum Menyalati Jenazah di Kuburan

Dalam riwayat Muslim (no. 2192) disebutkan, “Siapa yang keluar bersama jenazah dari rumah jenazah tersebut dan menyalatinya, kemudian mengikutinya sampai dimakamkan, ia mendapatkan pahala dua qirath. Setiap qirath semisal Gunung Uhud. Siapa yang menyalatinya kemudian kembali/pulang (tidak mengikutinya ke pemakaman), ia mendapat pahala semisal Gunung Uhud.”

[4] al-Hawil Kabir 3/52; al-Majmu’ 5/169; al-Minhaj 7/22; at-Ta’liqat ar-Radhiyyah ‘ala ar-Raudhatin Nadiyyah 1/439; asy-Syarhul Mumti’ 2/523.

[5] HR. an-Nasai no. 1960, “Kitab al-Janaiz”, “Bab ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dain”; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih an-Nasai.

[6] HR. Abu Dawud no. 3187, “Kitab al-Janaiz”, “Bab fi ash-Shalah ‘ala ath-Thifl”; dinilai hasan sanadnya oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abu Dawud dan Ahkamul Janaiz (hlm. 104). Beliau mengikuti penilaian al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam al-Ishabah.

[7] HR. Abu Dawud no. 3135, “Bab Fisy Syahid Yughassal”.

Syaikh al-Albani berkata, “Hadits ini hasan menurutku, berdasarkan syarat Muslim.” (Ahkamul Janaiz hal. 74)

[8] HR. an-Nasai no. 1947, “Kitab al-Janaiz”, “Bab ash-Shalah ‘ala ash-Shibyan”; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih an-Nasai.

[9] HR. Abdurrazzaq no. 6651, an-Nasai no. 1953, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya.

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Isnadnya sahih, semua perawinya di atas syarat Muslim kecuali Syaddad ibnul Had. Imam Muslim rahimahullah tidak mengeluarkan satu hadits pun darinya. Namun, ini tidak menjadi masalah karena Syaddad adalah sahabat Nabi yang dikenal. Adapun ucapan asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar—mengikuti an-Nawawi dalam al-Majmu’—bahwa Syaddad adalah tabiin, merupakan ucapan yang sangat keliru. Jangan terkecoh dengannya.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 81)

[10] HR. al-Bukhari no. 3208, “Kitab Bad’ul Khalq”, “Bab Dzikrul Malaikah” dan Muslim no. 6665, “Kitab al-Qadar”, “Bab Kaifiyatul Khalq al-Adami fi Bathni Ummihi”.

[11] HR. al-Bukhari no. 631, “Kitab al-Adzan”, “Bab al-Adzan lil Musafirin Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah”.

[12] al-Majmu’ 5/172, al-Muhalla 3/389, Subulus Salam 2/162, Nailul Authar 4/73, Taudhihul Ahkam 3/194.

[13] HR. Muslim no. 2195, “Kitab al-Janaiz”, “Bab Man Shalla ‘alaihi Miah Syuffi’u fihi”.

[14] HR. Muslim no. 2196.

[15] al-Majmu’ 5/172, Taudhihul Ahkam 3/195.

[16] HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir (7785) dan al-Haitsami dalam al-Majma’ (3/432). Pada sanadnya ada Ibnu Lahi’ah yang diperbincangkan. Namun, kata Syaikh al-Albani rahimahullah (Ahkamul Janaiz, hlm. 127—128), haditsnya bisa dijadikan syahid bagi hadits Malik bin Hubairah berikut ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا أَوْجَبَ

“Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu ia dishalati oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan ia diampuni.” (HR. Abu Dawud no. 3166, “Bab Fish Shufuf ‘alal Janaiz”, dll.)

[17] HR. al-Bukhari no. 1332, “Bab Aina Yaqumu minal Mar`ah war Rajul” dan Muslim no. 2232, “Bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit lish Shalah ‘alaihi”.

[18] al-Hawil Kabir 3/50, al-Majmu’ 5/183, al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, asy-Syarhul Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372.

[19] Seorang yang tsiqah dari kalangan tabiin, termasuk ahli ibadah dan qurra penduduk Bashrah.

[20] Teks hadits selengkapnya bisa dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, “Kitab al-Janaiz”, “Bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi”.

[21] Boleh pula dilakukan 5—9 kali, semuanya ada keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun, jumlah empat kali takbir paling banyak disebutkan dalam hadits. (Ahkamul Janaiz, hlm. 141)

Pernyataan adanya ijmak ulama yang menetapkan takbir shalat jenazah hanya empat kali dan tidak lebih, merupakan anggapan yang batil. Ibnu Hazm rahimahullah menegaskan dalam al-Muhalla (3/347, 348—351).

Adapun hadits

كَانَ آخِرُ مَا كَبَّرَ رَسُوْلُ اللهِ   عَلى الْجَنَازَةِ  أَرْبَعًا.

“Akhir (jumlah maksimal) takbir yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap jenazah adalah sebanyak empat kali.”

yang menjadi dalil pembatasan takbir hanya empat kali adalah hadits yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam at-Talkhish (2/677), “Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalan, tetapi semua jalannya dha’if.”

[22] Nailul Authar 4/83.

[23] Tidak disyariatkan membaca doa istiftah. Demikian pendapat mazhab Syafi’i dan selain mereka. (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hlm. 151)

[24] Nailul Authar 4/82, at-Ta’liqat ar-Radhiyyah 1/443, asy-Syarhul Mumti’ 2/525, Taudhihul Ahkam 3/205.

[25] Maksudnya, ajaran dan jalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan sunnah dalam pengertian hukum fikih yang lima (wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah).

[26] HR. al-Bukhari no. 1335, “Bab Qira`ati Fatihatil Kitab ‘alal Janazah”, an-Nasai no. 1987—1988, “Bab ad-Du’a”; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih an-Nasai.

[27] HR. an-Nasai no. 1989, “Bab ad-Du’a”; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih an-Nasai.

[28] HR. Abu Dawud no. 3199, “Bab ad-Du’a lil Mayyit”; Syaikh al-Albani rahimahullah dalam menilainya hasan dalam Shahih Abi Dawud.

[29] Apabila mayatnya adalah wanita, semua dhamir (kata ganti) hu seperti dalam lafaz

اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ

diganti menjadi ta`nits (kata ganti wanita). Jadi, kita mengucapkan,

اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا  وَارْحَمْهَا

(asy-Syarhul Mumti’, 2/533)

[30] HR. Muslim no. 2229, 2231, “Bab ad-Du’a lil Mayyit fish Shalah”.

[31] HR. Ibnu Majah no. 1498, “Bab Ma Ja`a fid Du’a fish Shalah ‘alal Janazah”; Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam Shahih Ibni Majah dan al-Misykat no. 1675.

[32] Nailul Authar 4/85

[33] HR. Abu Dawud no. 3180, “Bab al-Masyyu Amamal Janazah”; Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam Shahih Abi Dawud.

[34] Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pernah bermimpi melihat Nabi Ibrahim alaihis salam di sebuah taman yang besar lagi indah. Di sekitar beliau ada anak-anak kecil yang meninggal di atas fitrah. (HR. al-Bukhari no. 7047, “Kitab at-Ta’bir”, “Bab Ta’birur Ru`ya ba’da Shalatish Shubh”)

[35] Bagaimana mungkin anak yang belum balig diazab, sementara ia belum berdosa?

Dijawab bahwa setiap hamba Allah pasti akan mendatangi neraka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِن مِّنكُمۡ إِلَّا وَارِدُهَاۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتۡمًا مَّقۡضِيًّا

“Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti akan mendatangi neraka. Yang demikian itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71)

Dengan demikian, doa seperti itu ditujukan untuk si anak agar Allah subhanahu wa ta’ala menjaganya dari azab neraka apabila nanti pada hari kiamat ia mendatanginya. (asy-Syarhul Mumti’, 2/538)

[36] HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Yang semisalnya juga diriwayatkan oleh Sufyan dari al-Hasan.

Syaikh al-Albani berkata,

“Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu yang diriwayatkan al-Baihaqi tersebut isnadnya hasan. Tidak apa-apa diamalkan dalam hal seperti ini walaupun haditsnya mauquf. Namun, tidak boleh dijadikan sebagai sunnah, yaitu menganggap bahwa doa itu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Doa yang aku pilih untuk dipanjatkan ketika menyalati anak kecil adalah doa yang kedua (HR. Ibnu Majah no. 1498, “Bab Ma Ja`a fid Du’a fish Shalah ‘alal Janazah”). Sebab, di dalamnya ada lafaz,

وَصَغِيْرِنَا … اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَهُ، وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

“… anak kecil di antara kami … Ya Allah, janganlah Engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 161)

[37] HR. al-Baihaqi (4/35) dengan sanad yang sahih, kata Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 160.

(Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)

doa shalat jenazahjenazahpengurusan jenazahshalat jenazah