Thibbun Nabawi Bukan Alternatif

Shahabat yang mulia Abu Sa‘id Al-Khudri rahimahullah berkata:

Sejumlah shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi dalam sebuah safar (perjalanan) yang mereka tempuh, hingga mereka singgah di sebuah kampung Arab. Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut agar menjamu mereka, namun penduduk kampung itu menolak.

Tak lama setelah itu, kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa. Penduduknya pun mengupayakan segala cara pengobatan, namun tidak sedikit pun yang memberikan manfaat untuk kesembuhan pemimpin mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Seandainya kalian mendatangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian, mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menghilangkan sakit yang diderita pemimpin kita).” Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan shahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut, seraya berkata: “Wahai sekelompok orang, pemimpin kami disengat binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara untuk menyembuhkan sakitnya, namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki obat?” Salah seorang shahabat berkata: “Iya, demi Allah, aku bisa meruqyah. Akan tetapi, demi Allah, tadi kami minta dijamu namun kalian enggan untuk menjamu kami. Maka aku tidak akan melakukan ruqyah untuk kalian hingga kalian bersedia memberikan imbalan kepada kami.”

Mereka pun bersepakat untuk memberikan sekawanan kambing2 sebagai upah dari ruqyah yang akan dilakukan. Shahabat itu pun pergi untuk meruqyah pemimpin kampung tersebut. Mulailah ia meniup disertai sedikit meludah dan membaca3: “Alhamdulillah rabbil ‘alamin” (Surah al-Fatihah). Sampai akhirnya pemimpin tersebut seakan-akan terlepas dari ikatan yang mengekangnya. Ia pun pergi berjalan, tidak ada lagi rasa sakit (yang membuatnya membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur).

Penduduk kampung itu lalu memberikan imbalan sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Sebagian shahabat berkata: “Bagilah kambing itu.” Namun shahabat yang meruqyah berkata: “Jangan kita lakukan hal itu, sampai kita menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita ceritakan kejadiannya, dan kita tunggu apa yang beliau perintahkan.” Mereka pun menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengisahkan apa yang telah terjadi. Beliau bertanya kepada shahabat yang melakukan ruqyah: “Dari mana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu bisa dibaca untuk meruqyah? Kalian benar, bagilah kambing itu dan berikanlah bagian untukku bersama kalian.”

Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya no. 5749, kitab Ath-Thibb, bab An-Nafats fir Ruqyah. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya no. 5697 kitab As-Salam, bab Jawazu Akhdzil Ujrah ‘alar Ruqyah.

Beberapa faedah yang dapat kita ambil dari hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu di atas adalah:

  1. Surah Al-Fatihah mustahab untuk dibacakan kepada orang yang disengat binatang berbisa dan orang sakit.
  2. Boleh mengambil upah dari ruqyah dan upah itu halal.4
  3. Seluruh kambing itu sebenarnya milik orang yang meruqyah adapun yang lainnya tidak memiliki hak, namun dibagi-kannya kepada teman-temannya karena kedermawanan dan kebaikan.
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minta bagian dalam rangka lebih menenangkan hati para shahabatnya dan untuk lebih menunjukkan bahwa upah yang didapatkan tersebut halal, tidak mengandung syubhat.

Demikian faedah yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (14/410).

 

Pengobatan Nabawiyyah (At-Thibbun Nabawi) Bukan Pengobatan Alternatif

Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi rahimahullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh mengagumkan perkara  seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Termasuk keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas‘ud rahimahullah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggu-gurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511)

Di sisi lain, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya.  (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)
Jabir radhiallahu ‘anhu membawakan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Muslim no. 5705)

Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahihsarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang ini5. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-‘Iraqi)

Karena itulah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memung-kinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi, –pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.”

Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)

Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadi-kannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah subhanahu wa ta’ala lewat lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba. (Fathul Bari, 10/210)

Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu. Dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah  yang menyembuhkan sakitnya. Namun seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya ia selalu berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan yang tengah menimpanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ

“Siapakah yang mengijabahi (menjawab/mengabulkan) permintaan orang yang dalam kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang menghilangkan kejelekan?” (an-Naml: 62)

Sungguh tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan kecuali Allah subhanahu wa ta’ala semata. Karena itulah, Nabi Ibrahim u berkata memuji Rabbnya:

 وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ ٨٠

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’ara: 80)

 

Contoh Pengobatan Nabawi

Banyak sekali cara pengobatan nabawi. Kami hanya menyebutkan beberapa di antaranya, karena keterbatasan halaman yang ada:

  1. Pengobatan dengan madu

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang madu yang keluar dari perut lebah:

يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (an-Nahl: 69)

Madu dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Di antaranya untuk mengobati sakit perut, seperti ditunjukkan dalam hadits berikut ini:

“Ada seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya6.’ Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata:  ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’

Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’7 Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta8. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminum-kannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari no. 5684 dan Muslim no. 5731)

  1. Pengobatan dengan habbahsauda` (jintan hitam, red.)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya habbah sauda` ini merupakan obat dari semua penyakit, kecuali dari penyakit as-samu”. Aku (yakni`Aisyah x) bertanya: “Apakah as-samu itu?” Beliau menjawab: “Kematian.” (HR. Al-Bukhari no. 5687 dan Muslim no. 5727)

  1. Pengobatan dengan susu dan kencing unta

Anas radhiallahu ‘anhu menceritakan: “Ada sekelompok orang ‘Urainah dari penduduk Hijaz menderita sakit (karena kelaparan atau keletihan). Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah tempat kepada kami dan berilah kami makan.’ Ketika telah sehat, mereka berkata: ‘Sesungguhnya udara kota Madinah tidak cocok bagi kami (hingga kami menderita sakit,–pent.).’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menempatkan mereka di Harrah, di dekat tempat pemeliharaan unta-unta beliau (yang berjumlah 3-30 ekor). Beliau berkata: ‘Minumlah dari susu dan kencing unta-unta itu.’9

Tatkala mereka telah sehat, mereka justru membunuh penggembala unta-unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah sebelumnya mereka mencungkil matanya) dan menggiring unta-unta tersebut (dalam keadaan mereka juga murtad dari Islam,-pent.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirim utusan untuk mengejar mereka, hingga mereka tertangkap dan diberi hukuman dengan dipotong tangan dan kaki-kaki mereka serta dicungkil mata mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5685, 5686 dan Muslim no. 4329)

  1. Pengobatan dengan berbekam (hijamah)10

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengabarkan:

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam pada bagian kepalanya dalam keadaan beliau sebagai muhrim (orang yang berihram) karena sakit pada sebagian kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5701)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.”11 (HR. Al-Bukhari no. 5680)

 

Ruqyah,Salah Satu Pengobatan Nabawi

Di antara cara pengobatan nabawi yang bermanfaat dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala adalah ruqyah yang syar’i, yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Ketahuilah, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/penyembuh) sebagaimana firman-Nya:

وَلَوۡ جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَانًا أَعۡجَمِيّٗا لَّقَالُواْ لَوۡلَا فُصِّلَتۡ ءَايَٰتُهُۥٓۖ ءَا۬عۡجَمِيّٞ وَعَرَبِيّٞۗ قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ

“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’. (Fushshilat: 44)

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٨٢

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (al-Isra: 82)

Huruf مِنَ dalam ayat di atas untuk menerangkan jenis, bukan menunjukkan tab‘idh (makna sebagian). Karena Al-Qur`an seluruhnya adalah syifa` dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya (yaitu surat al-Fushshilat: 44).” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 7)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika memberikan komentar terhadap hadits yang menyebutkan tentang wanita yang menderita ayan (epilepsi): “Dalam hadits ini ada dalil bahwa pengobatan seluruh penyakit dengan doa dan bersandar kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih manjur serta lebih bermanfaat daripada dengan obat-obatan. Pengaruh dan khasiatnya bagi tubuh pun lebih besar daripada pengaruh obat-obatan jasmani.

Namun kemanjurannya hanyalah didapatkan dengan dua perkara:

Pertama: Dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat/tujuannya.

Kedua: Dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari 10/115)

Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang ruqyah dengan surat al-Fatihah yang dilakukan salah seorang shahabat, benar-benar terlihat pengaruh obat tersebut pada penyakit yang diderita sang pemimpin kampung. Sehingga obat itu mampu menghilangkan penyakit, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Cara seperti ini merupakan pengobatan yang paling mudah dan ringan. Seandainya seorang hamba melakukan pengobatan ruqyah dengan membaca al-Fatihah secara bagus, niscaya ia akan melihat pengaruh yang mengagumkan dalam kesembuhan.

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemukan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa`  hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan   berkata: “Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”

 

Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah al-Qur`an merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kesurupan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah12 lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala saja.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal  no. 77)

 

Thibbun Nabawi Memberi Pengaruh bagi Kesembuhan dengan Izin Allah subhanahu wa ta’ala

Mungkin ada di antara kita yang pernah mencoba melakukan pengobatan dengan thibbun nabawi dengan minum madu13 misalnya atau habbahsauda`. Atau dengan ruqyah membaca ayat-ayat al-Qur`an dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak merasakan pengaruh apa-apa. Penyakitnya tak kunjung hilang. Ujung-ujungnya, kita meninggalkan thibbun nabawi karena kurang percaya akan khasiatnya, lalu beralih ke obat-obatan kimiawi. Mengapa demikian? Mengapa kita tidak mendapatkan khasiat sebagaimana yang didapatkan Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah ketika meruqyah dirinya dengan al-Fatihah? Atau seperti yang dilakukan oleh seorang shahabat ketika meruqyah kepala suku yang tersengat binatang berbisa di mana usai pengobatan si kepala suku (pemimpin kampung) sembuh seakan-akan tidak pernah merasakan sakit?

Di antara jawabannya, sebagaimana ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah yang telah lewat, bahwasanya manjurnya ruqyah (pengobatan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat al-Qur`an) hanyalah diperoleh bila terpenuhi dua hal:

Pertama: Dari sisi si penderita, harus lurus dan benar niat/tujuannya.

Kedua: Dari sisi yang mengobati, harus memiliki kekuatan dalam memberi bimbingan/arahan dan kekuatan hati dengan takwa dan tawakkal.

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Ada hal yang semestinya dipahami, yakni zikir, ayat, dan doa-doa yang dibacakan sebagai obat dan yang dibaca ketika meruqyah, memang merupakan obat yang bermanfaat. Namun dibutuhkan respon pada tempat, kuatnya semangat dan pengaruh orang yang meruqyah. Bila obat itu tidak memberi pengaruh, hal itu dikarenakan lemahnya pengaruh peruqyah, tidak adanya respon pada tempat terhadap orang yang diruqyah, atau adanya penghalang yang kuat yang mencegah khasiat obat tersebut, sebagaimana hal itu terdapat pada obat dan penyakit hissi.

Tidak adanya pengaruh obat itu bisa jadi karena tidak adanya penerimaan thabi’ah terhadap obat tersebut. Terkadang pula karena adanya penghalang yang kuat yang mencegah bekerjanya obat tersebut. Karena bila thabi’ah mengambil obat dengan penerimaan yang sempurna, niscaya manfaat yang diperoleh tubuh dari obat itu sesuai dengan penerimaan tersebut.

Demikian pula hati. Bila hati mengambil ruqyah dan doa-doa perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, bersamaan dengan orang yang meruqyah memiliki semangat yang berpengaruh, niscaya ruqyah tersebut lebih berpengaruh dalam menghilangkan penyakit.” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 8)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, terkadang sebagian orang yang menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut.

Contoh yang paling tampak/jelas dalam hal ini adalah al-Qur`an, yang merupakan obat penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada. Meskipun demikian, ternyata sebagian manusia tidak mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang ada dalam dadanya. (Hal ini tentunya terjadi,-pent.) karena kurangnya keyakinan dan penerimaannya. Bahkan bagi orang munafik, tidak menambah kecuali kotoran di atas kotoran yang telah ada pada dirinya, dan menambah sakit di atas sakit yang ada.

Dengan demikian thibbun nabawi tidak cocok/pantas kecuali bagi tubuh-tubuh yang baik, sebagaimana kesembuhan dengan al-Qur`an tidak cocok kecuali bagi hati-hati yang baik. (Fathul Bari, 10/210)

Tentunya perlu diketahui bahwa kesembuhan itu merupakan perkara yang ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia Yang Maha Kuasa sebagai Dzat yang memberikan kesembuhan  terkadang menunda pemberian kesembuhan tersebut, walaupun si hamba telah menempuh sebab-sebab kesembuhan. Dia menundanya hingga waktu yang ditetapkan hilangnya penyakit tersebut dengan hikmah-Nya.

Yang jelas kesembuhan dapat diperoleh dengan obat-obatan jika dikonsumsi secara tepat, sebagaimana  rasa lapar dapat hilang dengan makan dan rasa haus dapat hilang dengan minum. Jadi secara umum obat itu akan bermanfaat. Namun terkadang kemanfaatan itu luput diperoleh karena adanya penghalang. (Fathul Bari, 10/210)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

 ———————————————————————————————————————————–

Catatan kaki

1Rahthun adalah kelompok yang terdiri dari 3 sampai 10 orang

2 Qathi’, kata ahli bahasa, umumnya digunakan untuk jumlah antara 10 sampai 40. Ada pula yang berpendapat 15 sampai 25. Namun yang dimaukan dalam hadits ini adalah 30 ekor kambing sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Al-A‘masy. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 14/409, Fathul Bari 4/576)

3 Ibnu Abi Hamzah berkata: “Saat meniup disertai meludah kecil dalam meruqyah adalah setelah qira`ah, agar diperoleh barakah qira`ah pada anggota badan yang diusapkan ludah di atasnya.” (Fathul Bari, 4/576)

4 Tentang mengambil upah dalam ruqyah, bisa dilihat lebih lanjut pembahasannya dalam rubrik Kajian Utama.

5 Namun bukan berarti di sini kita mengharamkan pengobatan kimiawi, selama hal tersebut dibolehkan dan jelas kehalalannya.

6 Dalam lafadz lain, disebutkan orang itu berkata: Makna  ( ) adalah banyak yang keluar dari isi perutnya yakni mencret/ diare. (Fathul Bari, 10/208)

7 Sebagaimana dalam riwayat Muslim, orang itu berkata:  “Aku telah meminumkannya madu namun tidak menambah bagi dia kecuali mencret.”

8 Maknanya, perutnya tidak pantas untuk menerima obat bahkan menolaknya. Di sini juga ada isyarat bahwa madu itu adalah obat yang bermanfaat. Adapun jika penyakit tetap ada dan tidak hilang setelah minum madu, bukan karena jeleknya madu, namun karena banyaknya unsur yang rusak dalam tubuh. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulang minum madu. (Fathul Bari, 10/209, 210)

9 Kencing unta bermanfaat khususnya untuk penyakit gangguan perut/pencernaan, sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Ibnul Mundzir dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. (Fathul Bari, 10/177)

10 Dengan cara mengeluarkan darah kotor (darah penyakit) pada bagian tubuh tertentu.
11 Kay adalah pengobatan dengan cara menempelkan sambil menekan (mencobloskan) besi panas yang membara pada bagian tubuh yang sakit.

12 Dan kebolehan di sini adalah bagi orang yang tidak meminta agar dirinya diruqyah, juga karena hukum permasalahan ini ada pembahasan sendiri.

13 Dalam hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan orang yang sakit perut untuk minum madu. Pada awalnya, madu yang diminumnya tidak menghentikan penyakit yang diderita karena obat harus memiliki kadar yang seimbang dengan penyakit. Bila obatnya kurang maka tidak menghilangkan penyakit secara keseluruhan, namun bila dosisnya berlebih malah melemahkan kekuatan dan menimbulkan kemudharatan lainnya. (Fathul Bari, 10/210)

 

 

ruqyahthibbun nabawi