Ujian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Sunnatullah Pada Hamba-Nya

Silih berganti cobaan yang dialami oleh manusia, mukmin atau kafir. Kehidupan mereka bagai putaran roda yang tiada henti. Itulah kehidupan dunia. Cobaan-cobaan itu, bisa jadi dalam bentuk hal-hal yang menyenangkan, tetapi tidak jarang pula yang menyusahkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)

Setiap manusia, siapapun adanya dan apapun kedudukannya, pasti diberi bala/ujian. Ujian-ujian itu bisa saja berupa kebaikan untuk mengetahui apakah dia bersyukur ataukah dia mengingkari (kufur terhadap) kebaikan tersebut. Bisa jadi pula bala itu adalah sesuatu yang berwujud kejelekan, untuk menguji apakah dia akan bersabar ataukah berputus asa.

Demikianlah keadaan manusia. Makhluk terakhir yang diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla sesudah langit, bumi dan segala isinya ini adalah makhluk yang paling mulia. Dengan segenap kelemahan dan kekurangannya, ternyata keberadaannya di alam semesta ini bukanlah untuk suatu hal yang sia-sia.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)

Dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mukminun: 115)

Subhanallah. Manusia, makhluk yang mulia ini, jelas tidak sama dengan makhluk lain yang telah diciptakan Allah ‘azza wa jalla. Karena itu pula, manusia ada di dunia ini bukan untuk sekadar makan, minum, berketurunan, dan bertempat tinggal, lalu mati dan selesailah semua urusan.

Tidak, manusia terlalu mulia untuk sekadar hidup dengan cara seperti itu.

Alangkah ruginya seorang manusia yang diberi kecerdasan dan kemampuan berpikir. Ditambah pula semua yang ada di alam ini boleh dimanfaatkannya untuk tujuan utama dia diciptakan, yaitu beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, hidupnya hanya untuk memuaskan seleranya, makan, minum, berkembang biak dan bertempat tinggal.

Alangkah ruginya, manusia yang dalam pikirannya hanya terisi bagaimana caranya dia makan, minum, bertempat tinggal, dan berketurunan.

Betapa tidak? Hanya untuk meraih tujuan yang ada dalam pikirannya itu, dia harus belajar pagi dan petang, bekerja siang malam, mengumpulkan harta, mengembangkannya, menjaganya lalu membelanjakannya untuk kepentingan seleranya.

Alangkah ruginya dia, karena waktu hidupnya yang berharga habis untuk memuaskan dirinya dengan makan, minum, bertempat tinggal, dan berketurunan.

Tidak sedikit dari mereka yang sudah berusaha dan bekerja siang malam, tetapi hanya mendapatkan sekadar kebutuhan perutnya satu atau dua jam. Tidak jarang pula yang rajin bekerja sekuat tubuhnya dan secerdas akalnya, tetapi tidak sempat merasakan hasilnya, apakah karena hasil itu dirampas, atau ajal menjemputnya.

Subhanallahi.

Alangkah bahagianya seekor ayam. Tanpa harus belajar pagi dan petang, atau bekerja siang malam, ke mana dia melangkah, di situ dia tentu mendapatkan makanannya. Di mana dia tinggal tentu ada pasangannya, anaknya dan tempatnya berteduh. Kemudian, jika dia mati, bangkainya jadi makanan; apabila sempat disembelih, halal bagi manusia, kalau tidak, binatang lain yang menyantapnya. Sesudah itu, selesailah urusannya. Di akhirat, tidak ada surga dan neraka baginya. Tuntas, lalu sirna menjadi debu.

Bagaimana dengan manusia? Apakah sesudah dia mati, terkubur di mana saja di bumi ini, akan selesai begitu saja semua urusannya? Selesaikah urusannya, ketika dia yang berjuang sekuat tenaganya, berusaha mencari pasangan, makanan dan minuman serta tempat tinggal lalu mati dalam keadaan belum merasakan hasil usahanya? Berhentikah langkahnya dengan kematian itu? Atau, selesaikan urusannya dengan kematian itu, setelah dia merasakan semua hasil usahanya di dunia, memanfaatkan fasilitas yang tersedia?

Tidak. Masih ada sekian rute perjalanan sesudah kematian menuju akhirat yang harus dia tempuh, mau atau tidak. Setelah itu, di akhirat dia pasti melihat hanya ada dua pilihan, surga atau neraka. Manakah yang akan dipilihnya?

Sayangnya, pilihan itu bukan saat itu waktunya. Pilihan itu, di sini. Di dunia, negeri ujian. Tempat dia bercocok tanam berupa amalan, yang panennya akan dia petik di akhirat, berupa dua pilihan tersebut, surga atau neraka.

Itulah hikmah Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia dengan kedua Tangan-Nya yang mulia. Menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi, diizinkan memanfaatkan semua fasilitas yang ada.

Karena itu, keberadaannya di dunia ini dengan semua fasilitas yang tersedia menuntut adanya sebuah tanggung jawab yang harus diembannya.

Seakan-akan ada sebuah ketentuan di balik itu, yang harus diselesaikan oleh setiap manusia. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengingatkan kita:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفنَاهُ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ فِيهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ؟ وَفيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟

“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai dia ditanya tentang empat perkara;

  • Tentang umurnya (waktunya), untuk apa dia habiskan?
  • Tentang ilmunya, apa yang diperbuatnya dengan ilmu itu?
  • Tentang hartanya, dari mana dia usahakan dan untuk apa dia belanjakan?
  • Tentang tubuh/jasadnya, untuk apa dia gunakan?”

(HR. at-Tirmdizi (no. 2417), dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Sudahkah manusia itu menyiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan ini? Hanya Allah ‘azza wa jalla tempat kita meminta pertolongan dan kemudahan. Itulah sebagian ketetapan Allah ‘azza wa jalla yang berlaku bagi hamba-Nya.

Ternyata, ujian itu tidak sama untuk masing-masing manusia. Sebagaimana keadaan mereka yang bertingkat-tingkat, begitu pula ujian yang mereka terima.

Kedudukan yang berbeda-beda ini, bukan diukur berdasarkan penampilan duniawi yang terlihat pada manusia. Tidak.

Kita harus ingat kembali, bahwa tujuan utama manusia itu diciptakan Allah ‘azza wa jalla sebagai makhluk yang terakhir, setelah jagat raya dan seisinya tercipta adalah untuk beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Inilah yang difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla,  “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Manusia yang paling tinggi kedudukannya—dan itulah sesungguhnya kemuliaan yang sejati—adalah orang yang berhasil merealisasikan hikmah dan tujuan penciptaan ini secara sempurna, dan dialah yang dikatakan sebagai Insan Kamil.

Sebaliknya, orang yang paling hina dan rendah kedudukannya, walaupun dia memiliki harta lebih banyak dari Qarun, atau kekuasaan lebih besar daripada Fir’aun, atau kedudukan yang lebih tinggi dari Haman, adalah mereka yang gagal dalam merealisasikan tujuan tersebut. Kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari kehinaan dan kegagalan ini.

Sudah tentu, para nabi dan rasul berada pada jajaran yang paling tinggi ini. Dengan kata lain, kedudukan mereka yang agung itu mengandung konsekuensi bahwa mereka mau atau tidak mau, harus menerima ujian yang sesuai dengan kemuliaan mereka.

Demikianlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya, “Siapakah yang paling berat ujiannya?”

الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ.

“(Yang paling berat ujiannya ialah) para nabi, kemudian yang lebih utama dan yang berikutnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan agamanya. Apabila agamanya kokoh, semakin beratlah ujiannya, dan jika dalam agamanya ada kelembekan, dia diuji sesuai dengan agamanya. Tiada henti-hentinya ujian itu menimpa seorang hamba sampai melepaskannya berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak ada dosa padanya.” (HR. at-Tirmidzi (no. 2398) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.)

 

Bentuk-Bentuk Ujian

Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Anbiya’ ayat 35 di atas, manusia itu diuji dengan kebaikan dan keburukan. Yang dimaksud dengan kebaikan di sini ditinjau dari sisi manusianya, yaitu hal-hal yang sesuai dengan nafsunya, menyenangkan dan menggembirakannya. Adapun keburukan adalah semua yang tidak cocok dengan nafsunya, tidak membuatnya gembira dan senang.

Kita katakan ditinjau dari sisi manusia yang menerima ujian tersebut, karena dari sisi yang menurunkan ujian, sudah tentu sesuai dengan keadaan-Nya Yang Mahabaik, sehingga perbuatan-Nya tentu juga pasti baik, tidak ada yang buruk.

Dengan tabiat aslinya yang serba lemah, kurang dan selalu tergesa-gesa, bahkan sangat zalim dan jahil, manusia tidak pernah sepi dari dua keadaan yang merupakan ujian dari Allah ‘azza wa jalla ini.

Di antara mereka, ketika diuji dengan kesenangan atau kebaikan, dia merasa bahwa Allah ‘azza wa jalla sedang memuliakannya. Dia berani berkata, “Semua ini karena kepandaian saya,” “Saya memang berhak memperolehnya,” atau “Semua ini karena kedudukan saya di sisi Allah,” dan sebagainya.

Sebaliknya, ketika dia ditimpa kejelekan atau hal yang tidak disukainya, seperti: sakit, sedikitnya harta, jabatan yang rendah, dan popularitas yang rendah, dia merasa bahwa semua ini karena Allah ‘azza wa jalla menghinakannya atau Allah ‘azza wa jalla tidak suka kepadanya, sampai menuduh bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak adil.

Tentu saja, dua gambaran keadaan manusia ini, tidak berlaku mutlak bagi seluruh manusia, tanpa terkecuali. Tidak.

Di tengah-tengah mereka, ada segelintir manusia yang dimuliakan oleh Allah ‘azza wa jalla. Kemuliaan itu, bukan karena dia diberi dunia semata, melainkan karena iman dan cahaya yang Allah ‘azza wa jalla letakkan di dalam hati mereka.

Ujian-ujian itu, apakah berupa kebaikan atau kejelekan, juga menimpa mereka, bahkan lebih berat dari orang biasa. Hal itu tentu saja karena kedudukan istimewa mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Di antara mereka yang sedikit ini adalah Raja Besar yang diberi kekuasaan dengan bala tentara paling kuat di dunia. Belum pernah ada di dunia ini, kerajaan yang sehebat kerajaan beliau. Prajuritnya terdiri dari manusia, jin dan binatang. Semua berbaris rapi menerima titah beliau ‘alaihissalam. Semua bekerja sesuai perintah dan menjalankan tugas mereka masing-masing.

Sudah tentu, sebagai hamba Allah ‘azza wa jalla, beliau tidak lepas dari ujian, sama seperti yang lainnya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya),

(Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore,

Maka ia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Rabbku sampai kuda itu hilang dari pandangan,”

“Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.” Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.

Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertobat.

Ia berkata, “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendaki-Nya, Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam,

Dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu.

Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.

Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (Shad: 30—40)

Demikianlah berita yang diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi-Nya ‘azza wa jalla dan umatnya.

Lantas, apakah sesungguhnya ujian yang dialami oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam?

Sebagian ahli tafsir menguraikan kisah seekor jin yang mencuri cincin Nabi Sulaiman ‘alaihissalam lalu menguasai kerajaan beliau selama beberapa waktu. Adapun Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sendiri, terusir dari kerajaan dan hidup terlunta-lunta.

Akan tetapi, beberapa kandungan kisahnya banyak yang tidak sesuai dengan status beliau sebagai nabi.

Insya Allah ‘azza wa jalla, ujian beliau akan kami paparkan berdasarkan keterangan ahli tahqiq di kalangan ulama kaum muslimin.

(insya Allah bersambung)

kisah para nabi