Akidah Dua Mujaddid dalam Islam

Mujaddid adalah seorang yang menjadi sebab kembalinya kaum muslimin kepada al-haq dan meninggikan bendera Islam. Seorang yang dianggap mujaddid disyaratkan seorang Ahlus Sunnah yang saleh dan berilmu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Allah mengutus untuk umat ini di setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud no. 4291, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)

Di antara mujaddid dalam Islam adalah Imam asy-Syafi’i rahimahullah.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan bagi manusia, pada setiap seratus tahunnya ada seorang yang mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan kedustaan atas nama Rasul. Kami pun menelaah. Ternyata di pengujung seratus tahun adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Di pengujung tahun dua ratus adalah asy-Syafi’i.”

Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Sejak tiga puluh tahun lalu, tidaklah aku tidur malam kecuali aku mendoakan kebaikan bagi asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.” (Lihat Mukhalafat ash-Shufiyah, hlm. 10—11)

Baca juga:

Mengenal Lebih Dekat Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,

“Seorang mujaddid yang hakiki adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhanahu wa ta’ala, istiqamah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan mengembalikan manusia kepada petunjuk. Berita yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits ini telah terbukti.

Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mengaruniai umat ini kemunculan para mujaddid ketika umat sangat membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah Imam Ahmad bin Hanbal pada abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad kedua belas.” (Min A’lamil Mujaddidin)

Akidah Dua Imam

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara akidah dan dakwah dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Imam asy-Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Kita akan dapati ternyata akidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama, yaitu dakwah dan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus saleh.

Baca juga:

Siapakah Ahlus Sunnah?

Sebagai bukti kesamaan akidah dan dakwah kedua imam tersebut, penulis akan membawakan beberapa masalah dan prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui, apa yang kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:

Menauhidkan Allah  

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Itu adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: ikhlas hanya mengharap wajah Allah dan mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surah al-Kahfi: 110)

Baca juga:

Syarat Diterimanya Amal

Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah—di antaranya Imam asy-Syafi’i rahimahullah—sangat mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah dengan sanadnya,

“Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya, yang aku lihat para ahlul hadits sahabatku juga di atasnya, dan yang telah aku ambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya, ialah berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Demikian pula bahwa Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah)

Masalah inilah yang banyak dibahas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Bukti akan hal ini adalah buku-buku yang beliau tulis, seperti Kitabut Tauhid, Kasyfu asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.

Larangan Membangun Kuburan

Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu,

نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, dan melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)

Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata,

أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا

“Mereka itu, jika ada seorang yang saleh di antara mereka mati, mereka bangun sebuah masjid di atas kuburannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata,

“Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah perkara bid’ah yang dilarang dan para pelakunya diancam dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Aku menginginkan kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat). Sebab, perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan. Sementara itu, orang mati bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi dari Thawus berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata pula, “Aku membenci ini karena Sunnah Rasulullah dan atsar….” (Lihat al-Umm)

Baca juga:

Bila Kuburan Diagungkan

Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan,

“An-Nawawi rahimahullah menegaskan dalam Majmu’ al-Muhadzdzab tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak. Beliau juga menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga banyak membahas masalah ini dalam karya-karya beliau. Dalam Kitabut Tauhid beliau membawakan “Bab Ghuluw terhadap Kuburan Orang Saleh akan Menjadikannya Berhala yang Disembah selain Allah”. Beliau membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburanku menjadi berhala yang disembah. Sangat keras murka Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”

Syaikh Sulaiman berkata,

“Penulis (yakni Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) ingin menerangkan dengan bab ini empat hal.

Pertama, peringatan agar tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan orang saleh.

Kedua, ghuluw terhadap kuburan orang saleh akan mengantarkan kepada menyembah kuburan tersebut.

Ketiga, kuburan yang disembah akan menjadi berhala walaupun itu kuburan orang saleh.

Keempat, mengingatkan sebab larangan membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)

Dalam Masalah Nama dan Sifat Allah

Imam asy-Syafi’i rahimahullah, seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, memiliki prinsip yang jelas dalam menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Beliau rahimahullah berkata,

Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya,

بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ

“Bahkan, kedua tangan Allah terbuka.” (al-Maidah: 64)

Allah subhanahu wa ta’ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya,

بَوَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ 

“Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Rabb dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (az-Zumar: 67)

Baca juga:

Dua Tangan Allah

Allah subhanahu wa ta’ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya,

كُلُّ شَيۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُۥ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (al-Qashash: 88)

وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ

“Dan tetap kekal wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (ar-Rahman: 27)

Dia tidak buta sebelah (picak) sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika menjelaskan tentang Dajjal,

إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَدَ

“Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah picak.” (HR. al-Bukhari no. 7127)

Dia tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata tentang seorang yang terbunuh di medan perang dan berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan Allah subhanahu wa ta’ala tertawa kepadanya….

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

“Termasuk dalam masalah iman kepada Allah ialah mengimani apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya, tanpa men-tahrif atau men-ta’thil-nya. Aku meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat….” (Dinukil dari A’lamul Mujaddidin, hlm. 95)

Masalah al-‘Uluw (Ketinggian Allah di Atas)

Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas Arsy-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ

“Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia beristiwa di atas Arsy.” (al-A’raf: 54)

Dalam hadits Muawiyah bin Hakam as-Sulami radhiyallahu anhu, ketika hendak membebaskan budaknya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan,

أَيْنَ اللهُ؟

“Di mana Allah?”

قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ

Hamba sahaya itu menjawab, “Allah di atas.”

قَالَ: مَنْ أَنَا؟

Beliau berkata, “Siapa aku?”

قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ

Budak itu berkata, “Engkau utusan Allah.”

قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Bebaskanlah dia, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim no. 537)

Baca juga:

Orang-orang yang Mendapatkan Pahala Dua Kali

Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah dengan sanadnya,

“Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya, yang aku lihat para ahlul hadits sahabatku juga di atasnya, dan yang telah aku ambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta selain keduanya, ialah berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Demikian pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah)

Yang lebih jelas daripada itu ialah ketika beliau meriwayatkan dalam “Bab Membebaskan Budak Mukminah dalam Bab Zhihar”. Beliau berkata,

“Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah balig dan beriman. Jika budak itu adalah wanita ajam yang telah disifati dengan keislaman, cukup.

Malik telah mengabarkan kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar bin al-Hakam, beliau berkata, ‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku punya seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku mendatanginya, ternyata seekor kambing telah hilang. Ketika aku bertanya kepadanya, dia jawab bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Aku pun marah kepadanya. Aku adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang aku punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’

Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut, ‘Di mana Allah?’

Dia menjawab, ‘Di atas.’

Rasulullah berkata, ‘Siapa aku?’

Budak itu menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah.’

Rasulullah lantas berkata, ‘Bebaskanlah dia.’

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Nama orang tersebut ialah Mu’awiyah bin al-Hakam. Demikianlah diriwayatkan oleh az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat al-Umm)

Lihatlah! Imam asy-Syafi’ rahimahullah mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin. Beliau menganggap pengakuan hamba sahaya tersebut bahwa Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas sebagai tanda keimanan.

Sikap terhadap Kaum Sufi

Telah kami sampaikan di edisi sebelumnya tentang siapa Sufi serta pemikiran dan akidah mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Imam asy-Syafi’i tentang Sufi.

Di antara ucapan beliau tentang Sufi diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah dengan sanadnya, “Jika seorang belajar tasawuf pada pagi hari, niscaya akan engkau dapati dia menjadi orang dungu sebelum datang waktu zuhur.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang Sufi yang berakal. Seseorang yang telah bersama kaum Sufi selama empat puluh hari, tidak mungkin kembali akalnya.”

Baca juga:

Paham Sufi dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Imam asy-Syafi’i berkata, “Asas (dasar) Sufi adalah malas.”

Demikian pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau sangat keras mengingkari kaum Sufi, dan ini merupakan perkara yang masyhur. Di antara buktinya ialah berbagai fitnah dan tuduhan zalim kaum Sufi terhadap beliau rahimahullah.

Sihir

Imam asy-Syafi’i berkata,

“Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya, ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa melakukan apa yang diminta, ini menyebabkan dia kafir. Jika dia meyakini bolehnya hal tersebut, dia kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)

Baca juga:

Sihir di Sekitar Kita

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah banyak membahas masalah sihir dalam kitab-kitabnya. Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan memasukkannya dalam kitab Nawaqidhul Islam (pembatal-pembatal keislaman).

Beliau berkata,

“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf (sihir untuk membuat orang cinta atau benci). Barang siapa melakukan sihir atau ridha terhadapnya, ia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡۖ

“Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ (al-Baqarah: 102)

Taklid

Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijmak menunjukkan rusaknya taklid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ‍ًٔا وَلَا يَهۡتَدُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?’.” (al-Baqarah: 170)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”

Imam asy-Syafi’I rahimahullah sangat mencerca taklid. Beliau rahimahullah berkata, “Kaum muslimin berijmak bahwa barang siapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”

Baca juga:

Lemahnya Hujah Taklid

Imam asy-Syafi’i berkata juga, “Semua yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliah. Beliau rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keyakinan agama orang-orang jahiliah dibangun di atas beberapa landasan. Landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il al-Jahiliyah)

Menggagungkan Sunnah Rasulullah

Mengagungkan Sunnah Rasulullah adalah kewajiban setiap mukmin. Allah berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

Baca juga:

Jalan Salaf Jaminan Kebenaran

Imam asy-Syafi’i adalah seorang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah berkata, “Semua hadits Rasulullah yang sahih, maka aku berpendapat dengannya walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Imam asy-Syafi’i pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata, “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau berkata begini dan begini.”

Penanya berkata, “Apakah engkau berpendapat dengannya?”

Imam asy-Syafi’i gemetar dan memerah wajahnya, lalu berkata, “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya?!”

Baca juga:

Hukum Mengolok-Olok Sunnah Nabi

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan dalam kitab Nawaqidhul Islam, termasuk pembatal keislaman adalah mengolok-olok ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau rahimahullah berkata,

“Keenam: Barang siapa memperolok-olok sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau memperolok pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), dia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

“Jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (at-Taubah: 65—66)

Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan ucapan Imam Ahmad rahimahullah, “Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui sanad hadits dan kesahihannya, tetapi malah mengambil pendapat Sufyan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Menyikapi Bid’ah

Di antara yang harus dijauhi seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah. Sebab, bid’ah banyak mudaratnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:

  • bid’ah semuanya sesat,
  • bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal,
  • bid’ah merupakan pintu kesyirikan,
  • bid’ah menjadi sebab terjadinya perpecahan.

Karena besarnya bahaya bid’ah, para ulama memperingatkan umat darinya. Di antara mereka adalah Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, “Barang siapa menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan), berarti dia telah membuat syariat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengingkari orang yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah,

أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syura: 21)

Makna ‘membuat syariat’ ialah membuat kebid’ahan.

Demikian juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab beliau. Di akhir kitab Fadhlul Islam, beliau membuat “Bab Tahdzir minal Bida’” (peringatan agar menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang lain, beliau berkata, “Aku meyakini bahwa semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.” (Lihat A’lamul Mujaddidin, hlm. 101)

Kesimpulan

Dari pembahasan ini kita dapat simpulkan bahwa dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidaklah membawa sesuatu yang baru. Yang beliau dakwahkan sama dengan dakwah Imam asy-Syafi’i dan ulama Ahlus Sunnah lainnya.

Karena itu, orang yang melecehkan dakwah dan akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada hakikatnya menghina dan melecehkan para imam Ahlus Sunnah, termasuk Imam asy-Syafi’i rahimahullah.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kedua imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum muslimin. Amin.

Ditulis oleh Ustadz Abdurrahman Mubarak

allah maha tinggiasy-syafi'ibid'ahimammengagungkan sunnahmuhammad bin abdul wahhabsihirtaklid