Seorang muslim yang telah menikah tentunya menginginkan keluarga yang bahagia. Mendambakan rumah tangga yang sakinah penuh dengan mawaddah warahmah seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala janjikan. Mendapatkan anak keturunan yang saleh, yang dapat menjadi pelipur lara orang tuanya, serta bermanfaat bagi orang tuanya di dunia dan akhirat.
Namun, hanya sebagian mereka yang mendapatkan kebahagiaan yang mereka cita-citakan. Adapun yang lainnya telah gagal atau belum mendapatkan apa yang mereka cita-citakan. Untuk meraih kebahagiaan tersebut tentunya butuh keistiqamahan dalam Islam, banyak beramal saleh dalam kehidupannya.
“Barang siapa yang beramal saleh dari kalangan pria ataupun wanita dalam keadaan dia beriman, Kami akan hidupkan dia dalam kehidupan yang baik…. ”
Senantiasa berusaha pula dalam menjauhi penyimpangan syariat Islam baik besar maupun kecil, apalagi penyimpangan yang terjadi dalam masalah akidah. Karena perbuatan dosa dan penyimpangan sangatlah besar pengaruhnya bagi pribadi dan keluarga seorang hamba. Silakan pembaca melihat dan membaca kitab Ibnul Qayyim rahimahullah yang berjudul ad-Da’u wa Dawa, akan didapati di sana betapa banyak akibat jelek perbuatan maksiat hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Berikut adalah sebagian kecil dari penyimpangan yang ada dalam rumah tangga. Seorang muslim hendaknya menjauhi perkara-perkara berikut ini ketika mereka hendak berumah tangga atau ketika telah berumah tangga. Di antara penyimpangan dalam masalah akidah yang terkait dengan rumah tangga adalah sebagai berikut.
- Memilih pasangan suami/istri yang tidak baik agamanya, bahkan menikahi seorang musyrik atau kafir (nikah beda agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Wanita dinikahi karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Utamakanlah yang bagus agamanya. (Jika kamu tidak mengutamakan agamanya) merugilah kamu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Disebutkan oleh para ulama kita bahwa hadits ini walaupun teksnya ditujukan untuk kaum pria, namun wanita pun harus demikian. Mereka harus mendahulukan agama calon suaminya.
Namun disayangkan, banyak orang tidak memerhatikan hal ini. Sebagian mereka lebih mengutamakan materi, wajah/penampilan, dan nasab tanpa memperhitungkan agama calon pasangan hidupnya, sehingga rusaklah rumah tangga mereka.
Hukum Menikah dengan Orang Kafir
Sebagian mereka bahkan lancang dengan memilih pasangan yang kafir. Para ulama kita menjelaskan bahwa seorang muslimah diharamkan menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik dari kalangan ahlul kitab, musyrikin, maupun orang yang murtad.
Adapun muslim, tidak boleh menikahi wanita musyrikah atau kafir kecuali ahlul kitab. Namun, para ulama kita menasihati untuk tidak melakukannya, karena berbahaya bagi diri dan anak keturunannya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Walaupun diperbolehkan, namun yang lebih utama tidak menikahi wanita ahlul kitab. Karena perempuan tersebut akan memengaruhi anak-anaknya atau bahkan memengaruhi suaminya yang muslim tadi, jika dia mengagumi kecantikan atau kecerdasannya, ilmu atau akhlaknya, hingga menghilangkan akalnya atau bahkan menyeretnya kepada kekufuran.” (Tafsir Surat al-Baqarah, 2/79)
- Mencari “hari baik” untuk akad nikah
Di antara penyimpangan yang terjadi adalah mencari “hari baik untuk hari pernikahan”. Hal seperti ini adalah satu perbuatan syirik, karena masuk ke dalam makna tathayur. Tathayur adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar, waktu atau tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Thiyarah adalah syirik.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
- Akad nikah yang mengandung kesyirikan
Di sebagian tempat ada yang melakukan kesyirikan di hari pernikahan. Pengantin baru yang hendak masuk rumah diharuskan menginjakkan kaki mereka ke darah hewan sembelihan tersebut. Para ulama kita menyatakan ini adalah kesyirikan. Ini termasuk penyembelihan untuk jin. (al-Qaulul Mufid)
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi menyebutkan beberapa bentuk penyembelihan untuk jin, yang ini tentunya adalah perbuatan syirik. Di antaranya:
- Penyembelihan untuk sumur baru atau ketika kering air sumur tersebut.
- Ketika selesai membangun rumah baru sebelum ditinggali agar terjaga dari jin.
- Sembelihan untuk seorang yang sedang kemasukan jin agar jin keluar darinya.
- Menyembelih untuk jin ketika menemukan harta di satu tempat.
Selain bentuk kesyirikan, ada pula perbuatan mungkar yang biasa terjadi di acara pernikahan. Di antaranya:
- Di beberapa tempat bahkan membuat sesajen di hari pesta pernikahan, sesajen untuk “karuhun” katanya. Ini adalah satu kesyirikan yang harus dijauhi dan dingkari seorang muslim.
- Datang ke dukun minta agar menahan hujan di hari pesta pernikahan.
- Tukar cincin di antara kedua mempelai.
Disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah bahwa kalau sampai seseorang memiliki keyakinan pernikahan akan utuh selama kedua mempelai memakai cincin, ini dihukumi sebagai tamimah (yang merupakan syirik kecil). Terlebih lagi jika cincin tersebut terbuat dari emas, terdapat larangan bagi kaum lelaki memakai emas.
- Tidak mendidik istri dengan agama
Seorang suami diwajibkan untuk mengajari istri-istri tentang agamanya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Para ulama tafsir menyatakan bahwa maknanya adalah “ajarilah mereka perkara agama, perintahlah mereka kepada yang ma’ruf dan laranglah mereka dari yang mungkar.”
Mengajari istri tentang agama dan menyuruhnya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah hak yang paling besar yang harus ditunaikan seorang suami.
“Perintahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah di atasnya.…” (Thaha: 132)
Tentu, urusan pertama dan utama yang harus disampaikan adalah perintah untuk bertauhid dan menjauhi kesyirikan.
- Tidak mendidik anak dengan akidah yang sahih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa besarnya peran orang tua dalam menjaga akidah putra-putri mereka. Namun sangat disayangkan, sebagian orang tua terkesan “membiarkan” anak mereka melakukan perkara-perkara yang akan menjadi sebab penyimpangan mereka. Mereka lalai dari pendidikan agama mereka. Padahal disebutkan oleh para ulama kita, di antaranya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Hak anak yang paling besar adalah hak tarbiyah diniyah, pendidikan agama mereka.” (Huquq Da’at Ilaiha Fitrah)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan di antara sebab menyimpangnya seorang pemuda adalah:
- Memiliki teman yang jelek.
- Membaca bacaan atau mendengar sesuatu yang merusak agama dan akhlaknya.
- Tidak memiliki wawasan yang benar tentang Islam.
(Musykilatus Syabab)
Kewajiban orang tua selain mengajari mereka perkara tauhid, shalat, dan ibadah lainnya; adalah memilihkan teman yang baik bagi anak-anak mereka, mengawasi, dan mengontrol bacaanbacaan mereka. Yang lebih penting dari itu, adalah menanamkan kepada mereka akan keindahan Islam. Islam adalah agama yang menghargai hak-hak hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Islam adalah agama yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengingatkan kita dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, “Kebanyakan anak, kerusakan mereka adalah karena bapak mereka menelantarkan mereka, tidak mengajari mereka perkara agama ini, yang wajib dan yang sunnahnya….”
- Menyekolahkan putra dan putrinya ke sekolah atau lembaga pendidikan yang menyimpang manhaj dan akidahnya.
Di antara bentuknya ialah sekolah dengan kurikulum yang mengandung penyimpangan akidah dan akhlak, mengajarkan akidah Asy’ariyah Maturidiyah, ilmu kalam, tasyabuh dengan orang kafir, demokrasi, dan kemungkaran lainnya.
Demikian juga pengajar-pengajar yang tidak paham akidah Ahlus Sunnah atau memiliki manhaj yang tidak jelas. Padahal guru adalah panutan murid-muridnya, ia akan berpengaruh besar pada akidah, manhaj, dan akhlak murid-muridnya. Ini adalah musibah yang besar.
- Menamai anak dengan nama-nama orang kafir
Di antara hak anak kita adalah mendapatkan nama yang baik. Di antara amalan di hari ketujuh hari kelahiran anak kita adalah memberinya nama. Nama yang terbaik adalah Abdullah dan Abdurahman.
Sangat disayangkan, banyak muslimin yang memberi nama anak mereka dengan nama orang-orang kafir.
- Pembantu rumah tangga/ pengasuh anak yang tidak bagus agamanya
Di antara kesalahan sebuah rumah tangga muslim adalah mendatangkan orang-orang kafir atau yang jelek agamanya sebagai pembantu rumah tangga. Para ulama kita telah menjelaskan bahayanya hal tersebut.
- Tinggal di lingkungan yang mengancam agamanya
Lingkungan tempat tinggal adalah di antara faktor yang penting dalam keistiqamahan seorang hamba di atas akidah yang sahih. Para ulama kita menjelaskan tentang haramnya tinggal di negeri kafir dan haramnya bepergian untuk tamasya ke negeri kafir. Bahkan wajib hukumnya hijrah dari negeri kafir bila seorang tidak bisa menampakkan syiar Islam di negeri tersebut.
- Lalai memanjatkan doa yang baik untuk anak dan istri
Doa adalah perkara penting yang harus senantiasa kita lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga. Kita mestinya senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala meminta kebaikan untuk istri dan anak-anak. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan contoh kepada kita,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini menjadi negeri yang aman, dan jauhkanlah diriku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada patung.
Wahai Rabbku, patung-patung tersebut telah menyesatkan banyak manusia.…” (Ibrahim: 35—36)
Dalam ayat lain,
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku seorang yang senantiasa menegakkan shalat dan demikian juga anak keturunanku. Wahai Rabb, kabulkanlah doa kami.” (Ibrahim: 40)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan kita dari segala bentuk penyimpangan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan rumah tangga kita rumah tangga yang sakinah penuh dengan mawaddah dan rahmah.
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri (pasangan hidup) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak