Khalifah Rasulullah Abu Bakr Ash-Shiddiq

Nasab dan Masa Kelahirannya

Dilahirkan dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi at-Taimi. Abu Bakr lebih dikenal dengan kuniahnya, yang berasal dari kata al-bakr (unta muda).

Abdullah bin Abi Quhafah dilahirkan sesudah Tahun Gajah, selang dua tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lahir. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada kakek keenam, Murrah bin Ka’b bin Luai.

Baca juga:

Lahirnya Rasulullah

Saat masa dewasa, dalam Islam, Abu Bakr menerima berbagai julukan yang menunjukkan ketinggian pribadi beliau, di antaranya:

  1. Al-Atiq

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau dijuluki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam langsung. Dalam hadits Aisyah radhiallahu anha disebutkan bahwa suatu ketika Abu Bakr masuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya,

أَبْشِرْ، فَأَنْتَ عَتِيْقُ اللهِ مِنَ النَّارِ

Bergembiralah karena engkau adalah orang yang dibebaskan oleh Allah dari neraka.”[1]

Ada sebagian ahli sejarah yang berpendapat lain. Menurut mereka, gelar al-atiq adalah karena keelokan wajahnya. Ada pula yang mengatakan karena beliau adalah orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa asalnya adalah karena ibunda Abu Bakr tidak pernah melahirkan anak laki-laki dalam keadaan hidup. Setelah Abu Bakr lahir, sang ibu membawa putranya ke Ka’bah dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya inilah orang yang Engkau bebaskan dari kematian, maka hadiahkanlah dia kepadaku.”[2]

  1. Ash-Shiddiq

Gelar ini juga diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Anas pernah menceritakan bahwa suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang mendaki Bukit Uhud bersama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Tiba-tiba gunung itu bergetar, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

“Tenanglah, wahai Uhud! Sesungguhnya di atasmu ada seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”[3]

Bunda Aisyah, ash-Shiddiqah bintu Shiddiq radhiallahu anha, bercerita,

Pada waktu Nabi shallallahu alaihi wa sallam di-isra’-kan (dari Masjidil Haram) ke Masjidil Aqsha, keesokan paginya orang-orang mulai membicarakannya. Kemudian murtadlah sebagian orang yang sebelumnya telah beriman dan membenarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga:

Kisah Isra’ dan Mi’raj

Beberapa orang datang menemui Abu Bakr dan bertanya, “Maukah engkau menemui sahabatmu itu? Dia mengatakan bahwa tadi malam dia telah diperjalankan (isra’) ke Baitul Maqdis.”

Abu Bakr menjawab, “Apakah beliau mengatakan hal itu?”

“Ya,” jawab mereka.

Abu Bakr segera berkata, “Kalau beliau sudah mengatakannya, beliau pasti benar (jujur).”

Orang-orang yang datang tersentak kaget, “Engkau malah menganggapnya benar, padahal dia berangkat tadi malam ke Baitul Maqdis dan pulang sebelum subuh?”

Abu Bakr menjawab dengan tegas, “Ya. Saya memang mengakui bahwa beliau selalu benar (jujur) dalam setiap persoalan. Bahkan, lebih dari itu, saya yakin akan kebenaran dan kejujuran beliau ketika membawa berita dari langit setiap pagi dan petang.”

Sejak saat itulah Abu Bakr dijuluki ash-Shiddiq,[4] semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya dan membuatnya ridha.

Dengan julukan tersebut, hal ini menegaskan bahwa beliau radhiallahu anhu tidak mungkin pernah terjatuh dalam kehinaan sama sekali.[5]

  1. Ash-Shahib (sahabat, teman)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِلاَّ تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا

Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (at-Taubah: 40)

Baca juga:

Hijrah Ke Madinah

Para ulama sepakat bahwa shahib (teman) yang dimaksud dalam ayat ini adalah Abu Bakr. Tidak seorang pun bisa menyamai beliau radhiallahu anhu dalam kedudukan yang mulia ini.

  1. Al-Atqa (orang yang paling bertakwa)

Allah azza wa jalla berfirman,

إِلاَّ تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللهوَسَيُجَنَّبُهَا الأَتْقَى

“Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa.” (al-Lail: 17)

Itulah beberapa julukan yang beliau sandang. Hal ini jelas menunjukkan betapa mulianya kedudukan beliau radhiallahu anhu.

Beberapa ahli sejarah menerangkan sebagian ciri fisik beliau: tubuhnya agak kurus, kulitnya putih kekuningan, posturnya bagus, wajahnya cekung, dahinya menonjol, janggut dan ubannya diberi inai, pahanya kurus, dan betisnya kecil.

Ayahnya, Utsman bin Amir bin Amr, diberi kuniah Abu Quhafah. Beliau masuk Islam sesudah Fathu Makkah dan berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Adapun ibunya, Salma bin Shakhr bin Amr bin Ka’b, yang berkuniah Ummul Khair, masuk Islam lebih dahulu.

Abu Bakr sempat menikahi empat orang wanita pada masa hidupnya:

  • Qutailah bintu Abdil Uzza, yang diperselisihkan keislamannya.

Dari wanita ini, lahirlah Abdullah dan Asma’. Wanita ini dicerai oleh Abu Bakr pada masa jahiliah dan pernah datang ke Madinah untuk memberikan hadiah kepada Asma’.

  • Ummu Ruman bintu Amir bin Uwaimir.

Dari wanita ini, lahir Abdurrahman dan Aisyah. Wanita ini wafat di Madinah pada tahun keenam Hijriah, radhiallahu anha.

  • Asma’ bintu Umais bin Ma’bad bin al-Harits.

Dari wanita ini, lahir Muhammad bin Abu Bakr, saat kaum muslimin sedang menunaikan ibadah haji (Haji Wada’).

  • Habibah bintu Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair al-Anshariyah.

Dari wanita ini, lahir Ummu Kaltsum, setelah Abu Bakr wafat.

Itulah sekilas tentang keluarga Abu Bakr yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan Islam. Mulai dari ayahnya hingga anak-anaknya—selain Ummu Kaltsum yang termasuk generasi tabi’in, mereka semua adalah orang-orang yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[6]

Pada Masa Jahiliah

Abu Bakr dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang nasab dan ihwal bangsa Arab, pedagang yang dermawan, pribadi yang ramah, menyenangkan, dan dicintai oleh masyarakat Quraisy.

Kepribadian beliau persis seperti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan Khadijah radhiallahu anha ketika sedang menghibur beliau shallallahu alaihi wa sallam selepas perisitwa di Gua Hira’. Khadijah menghibur beliau shallallahu alaihi wa sallam dengan menyebutkan kebaikan dan ketinggian budi pekerti beliau shallallahu alaihi wa sallam. Seperti itu pula kepribadian Abu Bakr.

Ibnu Daghinah pernah bertemu dengan Abu Bakr yang hendak berangkat hijrah. Dia mengatakan, “Anda adalah orang yang benar-benar baik kepada kerabat, membantu orang yang kesulitan, dan suka berbuat baik.”

Baca juga:

Membantu Kebutuhan Seorang Muslim

Tidak seperti para pemuda Quraisy lainnya, Abu Bakr sangat jauh dari kebiasaan mereka yang buruk: meminum minuman keras, berjudi, bahkan yang paling buruk, yaitu menyembah berhala. Beliau sama sekali tidak pernah melakukannya. Beliau juga dikenal dengan kedermawanannya, suka memuliakan tamu, dan akhlak mulia lainnya.

Suatu ketika, setelah beranjak dewasa, Abu Quhafah membawanya ke sebuah tempat yang terdapat berhala di sana, lalu berkata, “Inilah tuhanmu yang mulia.” Abu Bakr pun ditinggalkan sendirian.

Abu Bakr mendekati berhala itu lalu meminta makan dan pakaian. Akan tetapi, tidak dijawab oleh benda-benda bisu dan tuli itu. Akhirnya, Abu Bakr mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke muka patung itu hingga patung itu jatuh tersungkur. Agaknya, inilah salah satu sebab, ketika di masa Islam beliau menjadi salah satu pemikul dakwah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga:

Hinanya Sesembahan Kaum Musyrikin

Melalui tangan beliau, masuk Islamlah sebagian besar tokoh Quraisy yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Mereka adalah: Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhum.

Pemegang Urusan Quraisy

Pada masa jahiliah, beliau termasuk tokoh utama Quraisy dan pembesar mereka yang disegani. Sebelum Islam muncul, kepemimpinan Quraisy berada di tangan sepuluh kabilah mulia:

  • Abbas bin Abdul Muththalib, dari Bani Hasyim, yang biasa memberikan minum kepada para jamaah haji di masa jahiliah sampai di masa Islam.
  • Abu Sufyan bin Harb, dari Bani Umayyah, pemegang bendera Quraisy.
  • Al-Harits bin Amir, dari Bani Naufal, yang bertugas mengatur rifadah, harta kaum Quraisy yang dipergunakan untuk membantu orang-orang yang kehabisan bekal.
  • Utsman bin Thalhah, dari Bani Asad, pemegang kunci Ka’bah dan konsultan masyarakat Quraisy. Setiap persoalan yang ada akan diajukan kepadanya. Kalau setuju, dia akan mendorong mereka menjalankannya; kalau tidak, dia akan memberikan pilihan lain.
  • Abu Bakr ash-Shiddiq, dari Bani Taym, di tangannya-lah tugas penebusan dan urusan utang-piutang. Kalau beliau menanggung sesuatu, lantas meminta kepada Quraisy, mereka akan membenarkannya.
  • Khalid bin Walid, dari Bani Makhzum, pengatur urusan perang dan persiapannya.
  • Umar bin al-Khaththab, pemegang urusan safarah, duta, dan utusan.
  • Shafwan bin Umayyah, dari Bani Jumhi, pemegang urusan undian dengan panah (azlam).
  • Al-Harits bin Qais, dari Bani Sahm, urusan hukum dan harta berhala.

Salah satu keindahan ajaran Islam, agama ini tidak menghilangkan keutamaan yang telah disandang pemeluknya di masa lalu (sebelum memeluk Islam), tetapi justru memberikan dorongan agar tetap konsekuen dan terus mengembangkannya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُكُمْ في الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ في الْإِسْلاَمِ إذَا فَقِهُوا

“Orang terbaik di antara kalian di masa jahiliah adalah yang terbaik pula di dalam Islam, jika dia memahami (agama).”[7]

Baca juga:

Manusia Terbaik dan Terburuk

Itulah kemuliaan yang diraih oleh ash-Shiddiq al-Akbar, orang terbaik di tubuh umat ini, sesudah Nabi mereka shallallahu alaihi wa sallam. Pada masa jahiliah, tak sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya, terlebih setelah beliau masuk Islam. Bahkan, beliau adalah satu-satunya pria dewasa yang “merdeka” ketika itu.

Seorang pria yang hidup di sekeliling berhala, tanpa ada agama yang memperingatkan agar menjauhi berhala itu, tidak pula ada aturan syariat yang menuntun jiwa. Namun, fitrahnya yang suci dari kekotoran jahiliah itu bertemu dan menjalin hubungan mesra dengan bimbingan wahyu. Akhirnya, ia menjadi orang pertama yang memeluk Islam, radhiallahu anhu.

Baca juga:

Abu Bakr Ash-Shiddiq Masuk Islam

Tak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa tak seorang pun dari umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang dapat mengejar keutamaan beliau, apalagi melampauinya. Tak seorang pun di kalangan bangsa Quraisy yang dapat menjatuhkan kemuliaan Abu Bakr dengan menyebutkan satu cacat atau kekurangan pribadinya. Tidak pula ada dosa dan kesalahan Abu Bakr terhadap mereka selain hanya karena dia beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Masuk Islam

Boleh dikatakan, bisikan hati kecil Abu Bakr yang jengah melihat kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya itulah yang mendorong Abu Bakr untuk berusaha mencari kebenaran hidup yang hakiki. Fitrah yang masih bersih, itulah modal utamanya dalam menelusuri berbagai sisi kehidupan; memikirkan apa hakikat di balik ini semua.

Perniagaannya yang cukup maju; menjelajahi belahan utara dan selatan, timur dan barat, membuatnya bersentuhan dengan beragam pemikiran dan pola hidup yang berbeda dengan keadaan bangsa Quraisy.

Abu Bakr mengenang dirinya saat masih belia. Beliau bergaul erat dengan Muhammad yang di kemudian hari menjadi rasul, pemimpin seluruh manusia di alam semesta ini. Dia melihat kepribadian Muhammad yang agung telah mulai mencuatkan wibawanya. Aneh memang, saat sebagian teman sebaya mereka begitu bahagia dengan keadaan masyarakat mereka, sosok Muhammad lebih suka menggembala kambing milik keluarganya. Tak pernah sekali pun beliau ikut turun berpesta bersama mereka. Begitulah Muhammad hingga mereka semua beranjak dewasa.

Muhammad tetap dengan keagungan pribadinya; lebih suka menyendiri, mencari kesejatian hidup, dan menjauhi batu-batu yang diberi nama dengan nama-nama orang saleh yang pernah hidup di masyarakat mereka ataupun nama lainnya.

Abu Bakr masih teringat saat dia duduk di halaman Ka’bah. Ketika itu Zaid bin Amr bin Nufail juga duduk di sebelah sana. Tiba-tiba, datanglah Ibnu Abi ash-Shalt, lalu berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai pencari kebenaran?”

“Baik,” jawab Zaid.

“Sudahkah kau mendapatkannya?” tanya Ibnu Abi ash-Shalt.

“Belum,” jawab Zaid, “…semua agama hari kiamat selain ajaran yang lurus di masa lalu, tentu akan binasa.”

(insya Allah bersambung)


[1] HR. at-Tirmidzi (no. 3679) ada penguatnya dalam Shahih Ibnu Hibban (no. 6864), dari Abdullah bin Zubair radhiallahu anhu.

[2] Abu Bakr, Pribadi dan Zamannya, Ali asy-Syibli.

[3] HR. al-Bukhari (no. 3675)

[4] Kisah ini dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa penguat. Lihat ash-Shahihah (1/305 no. 306).

[5] Lihat Abu Bakr ash-Shiddiq, Ali asy-Syibli.

[6] Adapun Muhammad bin Abi Bakr, ia diperselisihkan apakah termasuk sahabat atau bukan. Wallahu a’lam.

[7] HR. al-Bukhari (4/117—118)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits

 

abu bakarAbu BakrAbu Bakr ash-Shiddiqbiografi abu bakarKhalifah Ash-Shiddiq