Tentara Fir’aun semakin dekat. Bani Israil pun bertambah takut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ () قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ () فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut pengikut Musa,‘ Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.’ Musa menjawab,‘Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.’ Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (asy-Syu’ara: 61—63)
Itulah jawaban tegas Nabi Musa ‘alaihis salam. Tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang kalian takutkan karena Allah Subhanahu wata’ala lah yang memerintahkanku membawa kalian ke sini. Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyalahi janji-Nya.
Ibnu Katsir rahimahullah menukil riwayat bahwa di barisan bani Israil itu ada Nabi Harun dan Yusya’ bin Nun. Di bagian belakang, ada salah seorang pengikut Fir’aun yang sudah beriman. Pengikut Fir’aun yang beriman itu bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah ke sini Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan Anda membawa kami?”
“Ya,” jawab Nabi Musa ‘alaihis salam. Akhirnya, orang-orang yang beriman itu merasa tenang. Mereka yakin pertolongan Allah Subhanahu wata’ala akan segera tiba.
Fir’aun dan bala tentaranya semakin dekat. Pada saat itulah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam memukul laut itu dengan tongkatnya. Serta-merta, dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, laut itu terbelah menjadi dua belas jalanan yang kering. Air laut yang terbelah itu masing-masing membentuk dinding setinggi gunung yang menjulang.
Melihat dua belas jalan membentang di hadapan mereka, sedangkan air laut membentuk dinding setinggi gunung memisahkan masing-masing jalan itu, bani Israil di bawah pimpinan Nabi Musa
dan Harun segera masuk ke celah-celah dinding ‘kaca’ dan melintasi jalan tersebut. Dua belas jalan itu sesuai dengan jumlah suku bani Israil, dan masing-masing sudah tahu jalan mana yang dilewati oleh sukunya.
Dinding-dinding air itu seolah-olah kaca tembus pandang, sehingga bani Israil dapat melihat saudaranya yang sedang berjalan di bagian yang lain.
Di belakang mereka, di tepi pantai Laut Merah, Allah Subhanahu wata’ala menggerakkan Fir’aun dan bala tentaranya mendekati laut yang masih mengering membentuk jalan. Fir’aun dan pasukannya yang tetap mengejar, segera menerobos masuk ke laut yang sudah membentuk jalan itu.
Sementara itu, Nabi Musa, Nabi Harun, dan bani Israil sudah tiba di seberang laut tersebut. Begitu seluruh bani Israil telah menapakkan kakinya di seberang -Fir’aun yang masih berada di tengah, demikian pula pasukannya, tidak ada yang tertinggal- muncullah rasa takut dalam hati Fir’aun dan pengikutnya. Tetapi, terlambat, untuk kembali sudah tidak mungkin, maju juga tidak.
Dalam keadaan demikian, dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, laut itu pun bertaut kembali. Dinding-dinding ‘kaca’ yang tadi tegak menjulang setinggi gunung, bergerak sambil mengeluarkan suara kematian, mengempas dan membenamkan Fir’aun dan pasukannya ke dasarnya. Jerit kematian bersama ringkik kuda yang ketakutan tenggelam dalam deru air yang bergemuruh dahsyat. Tidak ada yang selamat. Semua tenggelam, mati. Keadaan pun menjadi sunyi, sepi. Di sela-sela riak dan gelombang Laut Merah itu….
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ () آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ () فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Dan Kami memungkinkan bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia,‘Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan (Ilah) yang dipercayai oleh bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (Yunus: 90-92)
Ternyata, dalam keadaan panik, napas tinggal satu-satu, Fir’aun berusaha bertahan dan berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan (Ilah) yang dipercayai oleh bani Israil,” tetapi ucapan itu tidak berguna, dia pun mati terbenam. Jasadnya ditemukan dalam keadaan terdampar di wilayah Mesir, kemudian diawetkan dan masih utuh hingga saat ini.
Demikianlah, bani Israil telah diselamatkan Allah Subhanahu wata’ala dari kehinaan dan kekejaman Fir’aun. Allah Subhanahu wata’ala menghancurkan musuh mereka bahkan memperlihatkan kepada mereka kebinasaan Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam di Laut Merah. Tidak hanya itu, jasad Fir’aun yang telah kehilangan nyawa, Allah Subhanahu wata’ala tunjukkan dan Allah Subhanahu wata’ala abadikan agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi orangorang yang datang sesudahnya.
Setelah melihat sendiri kehancuran musuh mereka, bani Israil merasa puas dan lega. Dengan penuh rasa syukur, Nabi Musa ‘alaihis salam membawa mereka meninggalkan tempat tersebut.
Nabi Musa membawa bani Israil menjauh dari tepi Laut Merah. Di depan, mulai tampak tanda-tanda kehidupan. Atap-atap rumah penduduk daerah itu mulai terlihat.
Di sebuah tempat, masih dalam perjalanan, mereka melihat penduduk negeri yang akan mereka lewati itu sedang tirakat, beribadah kepada berhalaberhala mereka.
Melihat perbuatan penduduk negeri itu, bani Israil berkata kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,
قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ () إِنَّ هَٰؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ () قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَٰهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Hai Musa, buatlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” Musa menjawab,“Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui. Sesungguhnya atas mereka itu, akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” Musa menjawab, “Patutkah aku mencari satu sesembahan (ilah) untuk kamu selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat?” (al-A’raf: 138-140)
Mendengar teguran keras Nabi Musa ‘alaihis salam ini, mereka terdiam dan tidak jadi melanjutkan keinginan tersebut. Seandainya mereka tetap melanjutkan keinginan itu, pasti mereka ditimpa azab; dihancurkan, sebagaimana dalam ayat tersebut. Beliau mengingatkan mereka akan karunia Allah Subhanahu wata’ala yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun, bahkan memperlihatkan bagaimana Allah Subhanahu wata’ala membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya, serta melebihkan mereka dari seluruh manusia pada masa itu.
Ribuan tahun kemudian, sebagian sahabat yang baru masuk Islam, ada yang meminta hal yang sama kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Kami berangkat bersama Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain, sementara kami baru saja meninggalkan kekafiran (baru masuk Islam) dan orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon sidr (bidara) yang selalu mereka i’tikaf (tirakat) di dekatnya. Mereka biasa menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon itu, yang namanya Dzatu Anwath.
Kami pun melewati pohon seperti itu, lalu kami berkata,‘YaRasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.”
Serta-merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Allahu Akbar, sungguh ini (ucapan kalian ini) adalah sunnah (jalan hidup, kebiasaan), kalian telah berkata – demi yang jiwaku di Tangan-Nya- sebagaimana yang dikatakan bani Israil (dalam ayat),
يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
‘Ya Musa, buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.’ Musa menjawab,‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui. Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian’.”1
Benarlah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Berita nubuwah yang tidak mungkin disanggah dengan akal secerdas apa pun. Berita yang keluar dari manusia terbaik, yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya, bahwa dari kalangan umat ini pasti akan ada yang mengikuti cara hidup orangorang sebelum mereka, baik itu Yahudi dan Nasrani maupun Persia dan Romawi.
Akan tetapi, ada satu hal yang harus dicermati, bahwa meskipun hadits tersebut sahih, ada pula hadits lain yang juga sahih, yang menegaskan tidak semua umat beliau terjerumus melakukan perbuatan yang meniru orang-orang Yahudi, Nasrani, Romawi, dan Persia.
Itulah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala; orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan Kitab Allah Subhanahu wata’ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Insya Allah bersambung)
Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits
———————————————————————–
1 HR. at-Tirmidzi (2180) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah (Shahih Sunan at-Tirmidzi [1/235]).