Perpecahan Umat Antara Kemestian dan Azab

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

خَطَّ رَسُوْلُ اللهِ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا. قَالَ: ثُمَّ خَطَّ عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ السُّبُلُ وَلَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهَا شَيْطاَنٌ يَدْعُو إِلَيْهِ. ثُمَّ قَرَأَ :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu garis dengan tangannya, kemudian bersabda, “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Setelahnya beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan. Tidak ada satu jalan pun dari jalan-jalan ini melainkan di atasnya ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau lalu membaca ayat, “Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/465 dan 1/435) dan ad-Darimi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 204). Dinyatakan hasan oleh guru kami asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (2/20—21).

 

Perpecahan adalah Perkara Kauniyah

Allah subhanahu wa ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, sehingga tidak ada satu perkara pun di alam semesta ini kecuali ciptaan-Nya.

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖ

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (ar-Ra’d: 16)

Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala penentu segala sesuatu dengan kemahaadilan- Nya dan Dia berbuat dengan penuh hikmah(bijaksana) tanpa ada yang sia-sia dalam perbuatan-Nya. Dengan kemahaadilan-Nya dan hikmah-Nya, Dia menentukan apa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak ditanya dan tidak dituntut terhadap apa yang diperbuat-Nya. Sebaliknya hamba-hamba-Nya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang mereka lakukan.

 لَا يُسۡ‍َٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسۡ‍َٔلُونَ ٢٣

“Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya namun merekalah yang ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang perbuatan mereka.” (al-Anbiya’: 23)

Di antara perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan dan ciptakan adalah apa yang disebutkan dan diisyaratkan dalam hadits di atas, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan adanya banyak jalan yang akan ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang di atas jalan-jalan tersebut ada setan yang menyeru kepada kebinasaan perpecahan. Juga dari semua jalan yang ada, tidak ada yang selamat terkecuali hanya satu jalan yaitu jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Banyaknya jalan yang menggambarkan tentang perpecahan umat ini adalah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala yang dinamakan kehendak kauni-Nya (yang mesti terjadi).

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan tentang kemestian terjadinya perpecahan ini dalam firman-Nya,

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمۡۗ

“Seandainya Rabbmu menginginkan niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu namun mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu dan karena itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118—119)

Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa mereka (manusia) akan terus-menerus berselisih selama-lamanya dan bahwa Dia subhanahu wa ta’ala memang menciptakan mereka untuk berselisih. Demikian pendapat jamaah mufassirin (sejumlah ahli tafsir) tentang ayat ini.

Adapun makna ayat:

وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمۡۗ

yakni mereka diciptakan untuk ikhtilaf (berselisih). (Mukhtashar Kitab al-I’tisham hlm. 116)

Masalah perpecahan umat ini juga dinyatakan dan digambarkan dengan hadits-hadits lainnya, di antaranya :

  • Hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, di mana beliau berkata, “Suatu hari setelah shalat Subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan satu nasihat yang begitu mendalam, hingga air mata kami pun mengalir dan hati-hati pun bergetar. Berkatalah seseorang : “Sungguh nasihat ini adalah nasihat orang yang mau berpisah. Lalu apa yang engkau pesankan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَ اخْتِ فَلاًا كَثِيْرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمْحدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّها ض لَلاَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْه بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّ ،َني عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

 “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyi (Ethopia). Karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang nantinya masih hidup, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan (dalam agama -pen.) karena perkara tersebut sesat. Siapa di antara kalian yang mendapatkan keadaan tersebut maka wajib atasnya berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang terbimbing dan mendapatkan petunjuk. Gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham kalian (pegang erat-erat jangan sampai lepas-pen.).” (HR. at-Tirmidzi no. 2816 dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/2157)

  • Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

افْتَرقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَت وَسَبْعِ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَت وَسَبْعِ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ث ثَلاَ وَسَبْعِ فِرْقَةً

“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan.” (HR. Abu Dawud no. 3980, at-Tirmidzi no. 2778, dan selain keduanya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 203, 204)

Adapun di antara hikmah yang bisa kita petik dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala atas perpecahan[1] ini, dikatakan oleh al-Imam al-Ajurri rahimahullah, “Ketahuilah, semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati kita semuanya. Allah ‘azza wa jalla telah mengajarkan kita dalam kitab-Nya bahwa ikhtilaf (perpecahan) itu mesti terjadi di antara makhluk-Nya, agar Dia menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan Dia memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Allah ‘azza wa jalla menjadikan hal itu sebagai nasihat yang bisa dijadikan peringatan oleh kaum mukminin sehingga mereka berhati-hati dan menghindari perpecahan serta berpegang teguh dengan al-Jamaah, juga supaya mereka meninggalkan debat kusir dan pertikaian dalam agama ini dan semata-mata ittiba’ dan tidak mengada-adakan bid’ah.” (asy-Syari’ah, hlm. 9)

Diriwayatkan dari al-Imam Malik bin Anas dan al-Hasan mereka berkata, “Allah menciptakan mereka berselisih agar sebagian mereka di tempatkan di jannah (surga) dan sebagian lain di neraka sa’ir.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim 4/252, Mukhtashar Kitab al-I’tisham hlm. 16)

 

Perselisihan Bukanlah Rahmat

Bila kita membaca dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan melihat ucapan para sahabat dan para imam dalam agama ini, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa perselisihan itu syarr (jelek). Di mana Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمۡۗ

“Mereka terus-menerus berselisih. Kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu.” (Hud: 118—119)

Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an (3/33) menukilkan ucapan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah, beliau berkata, “Allah ‘azza wa jalla menciptakan orang-orang yang dirahmati-Nya agar mereka tidak berselisih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ    

(“Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu.”) (Dalam ayat ini) Allah mengabarkan bahwa ahlur rahmah (orang-orang yang dirahmati-Nya) tidaklah berselisih. Mereka ini adalah pengikut para Nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah Ahlul Qur’an dan Ahlul Hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa yang menyelisihi mereka dalam satu perkara, luputlah darinya rahmat sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.” (Majmu’ al-Fatawa, 4/25)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٥

“Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang besar.” (Ali ‘Imran: 105)

Al-Muzani rahimahullah berkata, “Allah mencela perselisihan dan memerintahkan ketika terjadi perselisihan untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Seandainya perselisihan itu merupakan bagian dari agama-Nya niscaya Dia tidak akan mencelanya. Seandainya pertikaian itu merupakan bagian dari hukum-Nya, niscaya Dia tidak akan memerintahkan mereka untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ketika terjadi pertikaian tersebut.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/910)

Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menyatakan, “Kami memandang bahwa jamaah adalah haq dan kebenaran, sementara perpecahan adalah penyimpangan dan azab.” (al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 26—27)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya jamaah itu rahmat sedangkan perpecahan itu azab.” (Majmu’ al-Fatawa, 3/421)

Adapun hadits yang didengung-dengungkan oleh orang-orang yang menyeru kepada banyak jamaah dan banyak jalan,

اخْتِلَافُ  أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Al-‘Allamah al-Muhaddits asy- Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah (1/141), “Hadits ini أَصْلَ لَهُ لَا (tidak ada asalnya).”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun hadits yang disebutkan ini adalah hadits yang batil, sebuah kedustaan yang dibuat-buat oleh orang fasiq.” (Ihkamul Ahkam, 5/61)

Beliau juga menyatakan bahwa perkataan “Perselisihan umatku itu rahmah” adalah sejelek-jelek perkataan yang ada, karena sebagai konsekuensinya akan dinyatakan bahwa persatuan itu dimurkai dan dibenci. Dan tentunya yang seperti ini tidak ada seorang muslim pun yang mengatakannya, sehingga yang ada yaitu persatuan itu adalah rahmat dan perselisihan itu dimurkai dan dibenci. (Ihkamul Ahkam, 5/64)

Al-‘Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Ikhtilaf (perselisihan) itu dicela dalam syariat, maka wajib berusaha untuk menghindari perselisihan selama memungkinkan. Karena dengan sebab berselisih umat Islam menjadi lemah, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُم

“Dan janganlah kalian berselisih yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” (al-Anfal: 46)

Adapun ridha dengan perpecahan dan menamakannya dengan rahmat berarti menyelisihi ayat-ayat mulia yang secara jelas mencela perpecahan tersebut. Dan tidak didapatkan sandaran dalil bagi perpecahan sama sekali, kecuali dengan hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.” (Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, 1/143)

Akibat mengikuti banyak jalan, terjadilah perselisihan dan perpecahan. Dan karena adanya perpecahan ini terjadilah permusuhan dan kebencian di antara sesama muslim. Perkaranya bahkan sampai pada dihunuskannya pedang, dihalalkannya darah sesama kaum muslimin. Terjadilah perang saudara…!

‘Amir bin Sa’d menceritakan dari ayahnya:

.  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْعَالِيَةِ حَتَّى إِذَا مَرَّ بَمسْجِدِ بَنِي مُعَاوِيَةَ، دَخَلَ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ, وَصَلَّيْنَا مَعَهُ. وَدَعَا رَبَّهُ طَوِيلاْ، ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيْنَا فَقَال: سَأَلْتُ رَبِّي ث ثَلاَثَا،   فَأَعْطَانِي ثِنْتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً، سَأَلْتُ رَبِّي أَنْ لاَّ يُهْلِكَ أُمَّتِي بِالسَّنَةِ فَأَعْطَانِيْهَا، وَسَأَلْتُهُ أَنْ لاَّ يُهْلِكَ أُمَّتِي بِالْغَرَقِ فَأَعْطَانِيْهَا، وَسَأَلْتُهُ أَنْ لاَّ يْجعَلَ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ فَمَنَعَنِيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari datang dari al-‘Aliyah. Hingga ketika beliau melewati masjid Bani Mu’awiyah, beliau masuk lalu shalat dua rakaat. Kami pun shalat bersama beliau. Beliau lama berdoa kepada Allah. Kemudian beliau berpaling menghadap kami. “Aku minta kepada Rabbku tiga perkara, maka Dia mengabulkan untukku dua perkara dan menolak mengabulkan satu perkara. Aku minta kepada Rabbku agar Dia tidak membinasakan umatku dengan paceklik (kemarau panjang), maka Dia pun mengabulkannya. Dan aku minta kepada-Nya agar Dia tidak membinasakan umatku dengan ditenggelamkan, maka Dia pun mengabulkannya. Dan aku minta padanya agar tidak menjadikan mereka (umatku) saling membinasakan sesama mereka, namun Dia menolak permintaanku ini.” (HR. Muslim no. 2890)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi pengabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umat beliau sebagiannya akan membinasakan sebagian yang lain, dan sebagiannya akan menawan sebagian yang lain. Pengabaran beliau ini pun sudah terjadi.” (al-Qaulul Mufid, 1/487)

Wallahul musta’an wa ilaihil musytaka.

 

Tidak Boleh Ridha terhadap Perselisihan dan Perpecahan

Telah kita ketahui bahwa perselisihan dan perpecahan merupakan perkara kauni, yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki dengan iradah kauniyyah-Nya. Akan tetapi tidak boleh dipahami di sini bahwa kita harus menerima perselisihan dan membiarkan adanya perpecahan dengan alasan “Perkaranya adalah sunnatullah, bukankah Allah subhanahu wa ta’ala sendiri menghendakinya?!”

Orang yang beranggapan demikian sungguh tampak kejahilannya. Ia tidak dapat membedakan antara kehendak kauni dan kehendak syar’i yang mesti terjadi[2]. Di antara ketentuan tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan dan menciptakan kejelekan dan perpecahan, namun bukan untuk kita kerjakan dan kita laksanakan. Karena Allah subhanahu wa ta’ala jelas tidak meridhainya sebagaimana banyak diterangkan dalam nash, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala anjurkan dan perintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan, yang masuk di dalam hal ini perintah dan anjuran berbuat kebaikan, juga untuk bersatu dan tidak berpecah sebagaimana yang diinginkan dengan kehendak dan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala yang syar’i.

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah menyatakan, Allah ‘azza wa jalla menghendaki perselisihan ini dengan kehendak-Nya yang kauni (iradah kauniyah) sebagaimana Dia menghendaki adanya kekafiran dan seluruh maksiat. (Ihkamul Ahkam, 5/65)

Allah ‘azza wa jalla tidak ridha dengan perselisihan sehingga Dia jauhkan sifat ini dari Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikit pun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat -pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia -pen.).” (al-An’am: 159)

Asy-Syaikh Saleh bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini merupakan pernyataan bara’ah (berlepas diri) dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berhimpun di dalam golongan-golongan (yang membinasakan). Sementara yang diinginkan dari mereka agar agama itu satu dan manusia menjadi satu jamaah di atas agama ini. Inilah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Oleh karena itu, siapa yang keadaannya demikian (bersatu di atas agama -pen.) maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berloyalitas kepadanya dan dia adalah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang yang memecah-belah agamanya dan dia tetap di atas perselisihan/pertikaian dan tetap berada di atas sifat jahiliah[3] maka Rasulullah berlepas diri darinya. (Syarhu Masa’ilil Jahiliah, hlm. 41)

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan adanya perselisihan dengan hikmah-Nya yang agung, hingga terpisahlah ahlul haq dari ahlul bathil, terpisahlah antara muttabi’ (orang yang mengikuti Sunnah Nabi –red.) dengan mubtadi’ (yang mengada-adakan bid’ah –red.). Dan tegaklah muttabi’ ini untuk berjihad menghadapi mubtadi’ dengan hujah dan ilmu yang haq.

 

Suka Berselisih Merupakan Sifat Ahlul Bid’ah

Sebagaimana seorang muslim tidak boleh ridha kepada kekafiran dan kejelekan, maka sepantasnya pula ia pun tidak ridha dengan perselisihan. Apatah lagi ridha dengan perselisihan ini merupakan sifat ahlul bid’ah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat -pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia -pen.).” (al-An’am: 159)

Kata al-Imam al-Baghawi rahimahullah, “Mereka adalah ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’.” (Syarhus Sunnah, 1/210)

Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah menyatakan bahwa berpecah-belah termasuk ciri khas ahli bid’ah. (al-I’tisham, 1/113)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bid’ah itu bergandengan dengan perpecahan sebagaimana as-Sunnah itu bergandengan dengan jamaah, sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan ahlul bid’ah digelari pula sebagai ahlul furqah (perpecahan).” (al-Istiqamah, 1/42)

Al-Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah berkata ketika menyebutkan mazhab Ahlus Sunnah dalam ushuluddin (pokok-pokok agama), “Kita mengikuti as-Sunnah dan al-Jamaah, dan kita menjauhi syudzudz, perselisihan dan perpecahan.” (Ashlus Sunnah wa I’tiqadud Din, hlm. 22)

 

Bersatu dan Berjalan di Atas Jalan Allah subhanahu wa ta’ala

Sekalipun banyak jalan selain jalan yang lurus (shirathal mustaqim), juga sekalipun perselisihan dan perpecahan –karena manusia mengikuti selain shirathal mustaqim– merupakan perkara kauni yang mesti terjadi karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan demikian, bukan berarti kita diperbolehkan untuk mengikuti jalanjalan tersebut, dan bukan maknanya kita boleh berselisih dan berpecah dalam perkara yang sebenarnya tidak pantas kita berselisih apalagi berpecah belah.

Banyak sekali kita dapatkan nash yang mencela orang-orang yang mengikuti selain jalan Allah, dan yang mencela perselisihan serta perpecahan.

Demikian juga kita dapatkan banyak sekali nash yang menekankan kepada kita untuk selalu berpegang dan mengikuti jalan Allah yang lurus, mengajak kita untuk selalu bersatu dan menghindari perselisihan dan perpecahan.

Semua itu menunjukkan kepada kita bahwasanya wajib bagi kita untuk berjalan di atas jalan Allah, jalan yang dijalani oleh Rasul-Nya yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib bagi kita untuk bersatu di atas kebenaran karena tidak ada alasan bagi kita untuk menyelisihinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ

“Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” (al-An’am: 153)

Allah subhanahu wa ta’ala menekankan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersatu dan tidak bercerai berai :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ

“Berpeganglah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah. Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dahulu saling bermusuhan maka Allah mempersatukan di antara hati-hati kalian. Lalu dengan nikmat Allah jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” (Ali ‘Imran: 103)

شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian agama ini sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah oleh kalian agama ini[4] dan janganlah kalian berpecah belah di dalamnya…”[5] (Asy-Syura: 13)

وَمَا تَفَرَّقُوٓاْ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۚ وَلَوۡلَا كَلِمَةٞ سَبَقَتۡ مِن رَّبِّكَ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى لَّقُضِيَ بَيۡنَهُمۡۚ

“Dan mereka (ahlul kitab) tidak terpecah belah melainkan sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Kalau bukan karena suatu ketetapan yang telah ada dari Rabbmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan.” (asy-Syura: 14)

Allah subhanahu wa ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari mengikuti jalan orang yang berpecah belah dan berselisih :

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٥

“Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang besar.” (Ali ‘Imran: 105)

فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠ مُنِيبِينَ إِلَيۡهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. (Tetaplah di atas) fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 30—32)

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ ١٥٩

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikit pun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat -pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia -pen.).” (al-An’am: 159)

وَإِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَأَنَا۠ رَبُّكُمۡ فَٱتَّقُونِ ٥٢ فَتَقَطَّعُوٓاْ أَمۡرَهُم بَيۡنَهُمۡ زُبُرٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٥٣

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepada-Ku. Kemudian mereka (para pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masingmasing).” (al-Mukminun: 52—53)

Abul ‘Aliyah rahimahullah memberikan nasihatnya, “Pelajarilah oleh kalian Islam. Bila kalian telah mempelajarinya maka janganlah kalian membencinya. Wajib atas kalian mengikuti jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) karena jalan yang lurus itu adalah Islam. Janganlah kalian menyimpang dari jalan yang lurus itu ke kanan dan jangan pula ke kiri. Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnah Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang para sahabat berada di atasnya. Sebab, sungguh kita telah membaca al-Qur’an selama 15 tahun sebelum mereka melakukan apa yang mereka lakukan[6]. Berhati-hatilah kalian dari hawa nafsu yang melemparkan permusuhan dan kebencian di antara manusia.”

‘Ashim Al-Ahwal berkata, “Aku sampaikan ucapan Abul ‘Aliyah ini kepada al-Hasan, beliau pun berkata, “Dia benar dan telah memberikan nasihat.”

Aku (‘Ashim) sampaikan pula ucapan Abul ‘Aliyah ini kepada Hafshah bintu Sirin, ia berkata, “Wahai anakku, apakah engkau telah sampaikan hal ini kepada Muhammad (bin Sirin –pen.)?” “Belum,” kataku. “Kalau begitu sampaikanlah padanya,” kata Hafshah. (asy-Syari’ah, al-Imam al-Ajurri, hlm. 16)

Al-Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Merupakan tanda seseorang yang Allah ‘azza wa jalla menginginkan kebaikan padanya adalah ia menempuh jalan ini yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sunnah para sahabat radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan (tabi’in) rahmatullahi ‘alaihim. Juga apa yang dipegangi dan dijalani oleh para imam kaum muslimin di setiap negeri sampai ulama yang akhir, seperti al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan al-Qasim bin Salam, serta orang yang berada di atas manhaj mereka serta menjauhi semua manhaj yang tidak dianut oleh para ulama tersebut.” (asy-Syari’ah, hlm. 16)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah taufik kepada kita untuk selalu berjalan di atas jalan-Nya yang lurus, dan menjaga kita dari penyimpangan, perselisihan dan perpecahan.

Allahu al-muwaffiq ilaa sawa’is sabil. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari


[1] Seandainya Allah ‘azza wajalla menghendaki umat ini bersatu dan tidak terjadi perpecahan tentunya itu mudah bagi-Nya jalla sya’nuhu, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam firman-Nya,

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ

“Seandainya Rabbmu menginginkan niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (Hud: 118)

[2] Kehendak Allah ‘azza wa jalla ada dua macam:

  1. Kehendak takdir alam dan penciptaan, yaitu kehendak Allah ‘azza wa jalla yang mencakup seluruh makhluk, termasuk terjadinya perpecahan atau persatuan.
  2. Kehendak agama dan perintah syar’i, yaitu kehendak yang mengandung cinta dan ridha-Nya. Seperti persatuan dan ketaatan.

Maka perpecahan itu hanya dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla yang pertama, adapun persatuan itu dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla yang pertama dan kedua. (Lihat Syarah Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 114; Fathul Majid hlm. 27 cet. Ali Sinan untuk lebih rinci tentang perbedaan dua iradah (kehendak) Allah ‘azza wa jalla. (ed)

[3] Karena salah satu sifat orang-orang jahiliah adalah mereka terpecah-belah dalam peribadatan dan agama mereka, demikian dikatakan asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dalam Masa’ilul Jahiliah-nya.

[4] Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kalian untuk menegakkan seluruh syariat agama, ushul maupun furu’-nya. Untuk kalian tegakkan syariat itu pada diri-diri kalian dan kalian upayakan dengan sungguh-sungguh menegakkannya pada siapa saja selain kalian. Allah juga memerintahkan kalian untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 754)

[5] Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi hafizhahullah berkata, “Ada dua asas yang telah disepakati oleh syariat-syariat yang ada (syariat yang Allah telah berikan kepada para nabi -pen.). Allah perintah seluruh rasul untuk menjalankan dua asas ini, mulai rasul yang awal Nuh q sampai rasul yang akhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua asas yang dimaksud adalah: Pertama, tauhidullah ‘azza wa jalla yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah dengan tidak mengibadahi selain-Nya. Kedua, bersemangat untuk mempersatukan umat dan tidak berpecah belah dalam agama, dengan menegakkan sebab-sebab persatuan dan meninggalkan sebab-sebab perselisihan. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mencela perpecahan lebih dari satu ayat dalam kitab-Nya, seperti firman-Nya,

وَمَا تَفَرَّقَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ ٤

“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (al-Bayyinah: 4) (al-Mauridul ‘Adzb az-Zulal, hlm. 84)

[6] “Mereka melakukan apa yang mereka lakukan,” yang dimaksud di sini adalah fitnah Khawarij dan terbunuhnya’Utsman radhiallahu ‘anhu.

perpecahan umatpersatuan umatperselisihan umat