Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
Di antara malapetaka yang tersembunyi dan banyak menyebar adalah keberadaan seorang hamba pada sebuah kenikmatan yang dikaruniakan dan dipilihkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya, lalu hamba tersebut merasa bosan dengannya. Dia justru meminta untuk beranjak menuju nikmat lain yang dia anggap lebih baik berdasarkan penilaiannya yang bodoh.
Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala tetap belum mengeluarkannya dari nikmat tersebut. Allah masih memaafkan kebodohannya dan kejelekan pilihannya untuk dirinya sendiri.
Sampai suatu ketika, dadanya merasa sesak terhadap nikmat tersebut, merasa marah dan resah dengannya, serta rasa bosan semakin menguat pada dirinya. Saat itulah Allah subhanahu wa ta’ala akan mencabut nikmat tersebut dari dirinya.
Baca juga:
Ketika dia berpindah menuju hal yang dicari dan melihat perbedaan antara nikmat yang sebelumnya dan yang sekarang, dia semakin gundah gulana. Dia menyesal dan berharap untuk kembali pada nikmat yang dahulu dia rasakan.
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan dan kelurusan bagi hamba-Nya, Dia akan mempersaksikan kepadanya bahwa apa yang sedang dia rasakan sekarang merupakan salah satu nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan keridhaan-Nya kepada dirinya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan ilham kepadanya untuk bersyukur.
Oleh karena itu, manakala dia ingin berpindah darinya, dia beristikharah kepada-Nya (minta dipilihkan oleh Allah). Dia tunjukkan perasaan bahwa dia tidak mengetahui maslahat untuk dirinya, merasa lemah terhadapnya, dan menyerahkan urusannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta meminta-Nya pilihan yang terbaik.
Tidak ada bagi hamba sesuatu yang lebih mencelakakan dirinya daripada rasa bosannya terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, dengan begitu dia tidak melihatnya sebagai suatu nikmat. Akibatnya, dia juga tidak akan mensyukurinya. Dia juga tidak akan merasa senang dengan nikmat tersebut, tetapi justru membencinya, mengeluhkannya, dan menganggapnya sebagai musibah. Padahal itu sesungguhnya termasuk nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang terbesar baginya.
Baca juga:
Jadi, mayoritas manusia menjadi musuh bagi nikmat yang dibukakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka. Mereka tidak merasakan dibukanya nikmat Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka. Mereka justru berusaha menolaknya karena kebodohan dan sifat zalim mereka. Betapa banyak nikmat berjalan menuju kepadanya, sementara ia benar-benar berupaya menolaknya. Betapa banyak pula nikmat yang telah sampai kepadanya, tetapi dia masih juga berusaha menolaknya atau menghilangkannya karena kebodohan dan kezalimannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمۡ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعۡمَةً أَنۡعَمَهَا عَلَىٰ قَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfal: 53)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d: 11)
Baca juga:
Jadi, tidak ada yang lebih memusuhi nikmat kecuali jiwa hamba itu sendiri. Dia, bersama dengan musuh dirinya yang sejati, telah membantu untuk melawan dirinya sendiri. (Ibarat) musuhnya melempar api terhadap nikmat, sementara dia yang meniup-niup api tersebut. Dia membantu musuhnya untuk melemparkan api kepadanya, kemudian dia membantunya dengan meniup api itu. Ketika nyala api semakin besar, barulah ia meminta-minta bantuan untuk melawan api tersebut. Ujungnya adalah tidak ikhlas menerima takdir.
Orang yang lemah akalnya akan menyia-nyiakan kesempatannya. Setelah dia kehilangan sesuatu, ia lalu mencela takdir.” (al-Fawaid hlm. 201)
As-Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengubah suatu nikmat yang Dia berikan kepada suatu kaum, baik nikmat agama maupun nikmat duniawi. Allah subhanahu wa ta’ala justru akan mengukuhkan dan menambahnya apabila ia menambah rasa syukurnya. (Jadi, merekalah yang mengubah keadaan diri mereka) dari ketaatan menjadi maksiat sehingga mereka mengkufuri nikmat Allah dan menggantinya dengan ingkar.
Allah subhanahu wa ta’ala pun mencabut nikmat tersebut dan mengubahnya sebagaimana mereka mengubahnya pada diri mereka. Hal itu mengandung hikmah dan keadilan Allah subhanahu wa ta’ala serta kebaikan-Nya kepada hamba-Nya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghukum mereka kecuali karena kezaliman mereka sendiri.” (Tafsir as-Sa’di, surah al-Anfal ayat 53)
Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.