(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)
Dakwah merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada da’i yang mengkhususkan pada persoalan-persoalan politik hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah r itu?
Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah I) yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’. Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan mendekatkan kepada Allah I?
Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah. Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Abdullah bin Mas’ud z, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di mana Rasulullah r membuat satu garis lurus dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”
Asy-Syaikh As-Sa’di menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah I dan kepada jannah (surga)-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang hak dan mengamalkannya.”
Rasulullah r juga telah menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas jurang an-naar (neraka). Dalam hadits Hudzaifah ibnul Yaman yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Hudzaifah mengatakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah r tentang kebaikan dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang khawatir akan menimpaku. Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Aku berkata lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan: “Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku, kamu kenal dan kamu ingkari.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu para da’i yang berada di pintu an-naar. Dan barangsiapa yang memenuhi seruannya, maka mereka akan mencampakkannya ke jurang an-naar tersebut.”
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang sunnatullah munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan yang benar adalah satu. Dan jalan yang benar adalah satu dan tidak berbilang. Allah I berfirman:
“Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak dibanding dengan para penyeru kebenaran.
Kedudukan Tauhid
Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal z. Rasulullah r berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau mengatakan: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini.
Rasulullah r bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibnu ‘Umar c)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur‘an, sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur`an, sebagaimana firman Allah I:
“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.” (Al-Baqarah: 21-22)
Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah I “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.”
3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para rasul, sejak rasul yang pertama hingga penutup para rasul yaitu Muhammad r. Allah I berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan perintah Allah I yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah I berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra`: 23)
“Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa`: 36)
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam jannah dan terlindungi dari neraka Allah I. Sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam an-naar dan diharamkan dari jannah Allah I. Allah I berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya jannah dan tempat kembalinya adalah an-naar, dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam jannah.” (Shahih, HR. Muslim no. 26 dari ‘Utsman bin ‘Affan z)
Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap La ilaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan jannah.” (Shahih, HR. Muslim no. 31 dari Abu Hurairah z)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah I. Allah I berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama.” (Al-Bayyinah: 5)
Tauhid Poros Dakwah Para Rasul
Jika kita menelusuri dakwah para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.
Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah I dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah I, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah I. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.
Allah I telah menjelaskan di dalam Al Qur`an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah I, sebagaimana firman Allah I:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
Dari ayat ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengambil beberapa faidah di dalam kitabnya At-Tauhid, di antaranya: Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu adalah satu.
Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah I agar umat ini menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain, memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Rabb manusia.
Tauhid, Wahai Para Da’i!
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan dalam risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam: “Melihat jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek dibanding dengan kejahatan situasi jahiliyah dulu ketika Allah I mengutus Rasulullah…”
Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang disebarkan oleh Rasulullah r di masa jahiliyyah. Maka dari itu, hendaknya setiap da’i tampil mengobati jeleknya pemahaman umat terhadap kalimat La ilaha illallah dan mengobati keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang difirmankan Allah I:
“Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-Albani) mengatakan: “Maka Rasul kita Muhammad r adalah suri teladan yang baik dalam mengentaskan segala problem yang menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana Rasulullah r memulai, yaitu pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak. Bukan berarti saya ingin memisahkan antara yang pertama dari yang paling penting menuju yang penting berikutnya yang di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah agar setiap orang Islam terlebih khusus da’inya untuk memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red.).”
Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka dengan Allah I. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan Allah I dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah I, baik itu dalam wujud manusia atau benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang telaten untuk mengawali perombakan akar-akar pohon tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut. Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang mengikuti langkah Rasulullah r dalam berdakwah yang memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam ini, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar c yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.
Wahai para da’i, mulailah darimana Allah I dan Rasul-Nya memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan. Mulailah wahai para da’i dari tauhidullah!
Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
1. Al Qur‘an
2. Kitab Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
3. Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaikh Muhammad Al-Wushabi
4. Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, Asy-Syaikh Al-Albani