Tinggalkanlah Segala Kebimbanganmu

Rasul shallallahu alaihi wa sallam yang mulia bersabda,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ

“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat serta peringatan dari berbagai jenis keharaman[1].

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan inti dari sifat wara’, yang wara’ ini merupakan poros keyakinan serta menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”

Al-Askari rahimahullah menyatakan, “Jika orang-orang pandai merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu  ‘anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ as-Sa’di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu alaihi wa sallam.

Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juga at-Tirmidzi, an-Nasa’i rahimahumullah dalam Sunan-nya[2] mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah, dari Buraid bin Abi Maryam, dari Abul Haura’, dari al-Hasan bin Ali radhiyallahu  ‘anhuma.

Hadits ini termasuk sekian hadits yang diharuskan oleh al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah terhadap al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam Shahih keduanya[3].

Hadits ini sahih, disahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish-Shahihain (1/222—224).

Sementara itu, ucapan al-Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278), tidaklah benar. Sebab, Abul Haura’ yang bernama Rabi’ah ibnu Syaiban as-Sa’di dinyatakan tsiqah oleh al-Imam an-Nasa’i rahimahullah.

Al-’Ijli rahimahullah berkata, “Rabi’ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi’in lagi tsiqah (tepercaya).”

Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Rabi’ah adalah tsiqah.” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, at-Taqrib, hlm. 147)

Lafadz يَرِيْبُكَ dalam hadits ini dibaca dengan mem-fathah huruf ya yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun, yang masyhur dan fasih dengan mem-fathah-nya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187)

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan at-Tirmidzi, 4/77)

Kisah yang dimaksud oleh al-Imam at-Tirmidzi di sini dibawakan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201).

Al-Hasan bin Ali radhiyallahu  ‘anhuma menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, segera mengeluarkan kurma itu dari mulut al-Hasan dan membuangnya.

Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apa masalahnya, wahai Rasulullah, apabila anak kecil ini memakan kurma tersebut?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لاَ تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ

“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Sebab, kejujuran itu adalah ketenangan di hati, sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

 

Kandungan Hadits

Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits an-Nu‘man ibnu Basyir radhiyallahu ‘anhu,

مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 52, no. 2051 dan Muslim no. 1599) [Dari kaset Durus al-Arba‘in an-Nawawiyyah oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauhi perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, dilarang maupun tidak. Kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.

Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti dalam hal ini, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya.

Sesuatu yang telah jelas halalnya, kita tahu, tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan, dan kegelisahan di hati orang yang beriman. Bahkan, jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan an-Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi, 8/328)

Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan, sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Apabila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Sebab, jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan serta akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya, maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut. Sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah.” (Faidhul Qadir, 3/528)

Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal atau haram, hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini, kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Dengan demikian, berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)

Demikian pula dalam perkara ibadah. Ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba, keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan, apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus al-Arba’in oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, kaset Durus al-Arba’in oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)

Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul, “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”

Ath-Thibi rahimahullah menyatakan, “Namun, yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Apabila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Sebab, beliau shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”

Perbuatan ini akan mengantarkan kepada sikap wara’.

 

Wara’

Wara’ adalah sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (at-Ta‘rifat, al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261)

Abu Abdirrahman al-’Umari az-Zahid rahimahullah berkata, “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara’, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami’ul ‘Ulum, 1/281)

Sementara itu, Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara’. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu, tinggalkanlah.” (Jami’ul Ulum,1/281)

Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 88) berkata, “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:

  1. Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
  2. Wara’ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya.
    Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
  3. Wara’ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
  4. Wara’ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah wara’ para shiddiqin (orang-orang yang tinggi imannya).”

Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam hal takwa dan wara’.

Adapun orang yang secara lahir suka berbuat keharaman, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci maupun tersamar, hal ini tidak akan mungkin baginya. Sikapnya ini diingkari (sekadar omong kosong). Karena itulah, Ibnu ‘Umar radhiyallahu  ‘anhuma mengingkari orang-orang dari penduduk Irak yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk.

Beliau berkata, “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, sementara mereka telah menumpahkan darah al-Husain radhiyallahu ‘anhu. Padahal aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا

“Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul ‘Ulum,1/283]

Contoh Sikap Wara’

Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang saleh, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya  shallallahu alaihi wa sallam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka.
Tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara’. Di antara kisah wara’ mereka adalah sebagai berikut.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Budak tadi berkata kepadanya, “Apakah engkau tahu darimana aku dapatkan makanan ini?”

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Darimana engkau mendapatkannya?”

Budaknya menjawab, “Dahulu di masa jahiliah aku pernah meramal untuk seseorang. Sebenarnya aku tidak pandai meramal, aku hanya menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.”

Mendengar hal tersebut, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu segera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang telanjur masuk ke dalam kerongkongannya. Kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3842)

Nafi‘ berkata, ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menetapkan subsidi rutin bagi para sahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4.000, sementara putranya ia tetapkan sebesar 3.500.

Ada yang berkata kepada ‘Umar, “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?”

Umar menjawab, “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3912)

Yazid bin Zurayi’ rahimahullah mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu, namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma. Penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau rahimahullah meninggal dunia. (al-Wara’, al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, hlm. 7)

Masih banyak lagi kisah-kisah wara’ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.

Faedah Hadits

  1. Termasuk sikap wara’ apabila seseorang berhati-hati dan menjauhi perkara syubhat.
  2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
  3. Sementara itu, perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya. Demikian pula perkara dosa.
  4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agama dan kehormatannya.
  5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara’. Adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara’ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara’ yang hambar, tanpa makna.
  6. Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Apabila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa.
  7. Namun, perlu diperhatikan di sini, sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut, atau tidak ada hawa nafsu yang memengaruhinya.
  8. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
  9. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diberi jawami’ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana yang dikandung dalam hadits ini.
    Wallahu a‘lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


[1] Dari kaset Durus (pelajaran) al-Arba’in an-Nawawiyyah yang disampaikan oleh asy-Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alus Syaikh rahimahullah.

[2] Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201), an-Nasa’i rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 5615), at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya no. 2637, dan ia nyatakan sahih.

[3] Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dalam Shahih keduanya, sekalipun hadits ini sahih. Sebab, memang tidak semua hadits sahih tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Hal ini sebagaimana ucapan al-Imam al-Bukhari rahimahullah, “Tidaklah aku masukkan dalam kitab al-Jami’ ini (yang beliau maksudkan adalah kitab beliau Shahih al-Bukhari) kecuali apa yang sahih, dan aku tinggalkan banyak hadits yang sahih karena khawatir terlalu panjang.” (Mukaddimah al-Kamil, 1/140)

Al-Imam Muslim rahimahullah berkata, “Tidaklah semua hadits yang sahih di sisiku aku cantumkan dalam kitabku ini. Hanyalah yang aku cantumkan di sini apa yang mereka sepakati.” (Shahih Muslim, no. 404)

jangan bimbangjangan raguNasehat Islami