Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui kasih sayang Nabi-Nya kepada sesama manusia, terutama kepada kaumnya, Bani Israil. Atas dasar itu, mungkin Nabi Musa akan terbawa kesedihan melihat keadaan Bani Israil yang telah didoakannya, sehingga mendorong beliau meminta agar dibatalkan hukuman itu, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menentukan demikian. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (al-Maidah: 26)
Seakan-akan, beliau diingatkan agar jangan merasa menyesal dan sedih terhadap keadaan mereka, karena sesungguhnya mereka telah fasik; keluar dari sikap menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan kefasikan itu menyebabkan jatuhnya hukuman atas mereka, bukan kezaliman dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikianlah keadaan Bani Israil yang hidup di sahara yang sunyi dan terpencil. Semua itu berlangsung selama empat puluh tahun.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pemurah selalu merahmati mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menaungi mereka dari sengatan matahari dengan awan tipis yang senantiasa berarak di atas kepala mereka. Dia juga menurunkan manna dan salwa sebagai makanan terbaik mereka tanpa mereka harus bersusah payah.
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan pula untuk mereka pakaian yang tidak mudah rusak dan kotor. Setiap kali mereka ingin minum, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam agar memukul sebuah batu yang ada di tengah-tengah mereka dengan tongkatnya. Akibatnya, memancarlah dua belas mata air untuk minum masing-masing kabilah yang ada.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu al-manna dan as-salwa.” (al-Baqarah: 57)
Al-Manna ialah nama bagi semua rezeki yang baik dan diperoleh tanpa susah payah. Di antaranya adalah jahe, jamur, roti, dan sebagainya. Adapun as-salwa ialah burung kecil yang dinamakan juga as-sammani, dagingnya lezat. Turun kepada mereka dari manna dan salwa itu sesuatu yang mencukupi mereka dan menjadi makanan pokok mereka.
Akan tetapi, Bani Israil ketika itu kebanyakan tidak memelihara nikmat itu dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak mensyukuri kesenangan dan kemudahan yang mereka rasakan dalam kondisi yang sebetulnya mereka sedang menerima hukuman. Muncullah rasa bosan dalam hati mereka melihat yang mereka santap setiap hari adalah itu-itu saja.
Mereka datang menemui Nabi Musa ‘alaihissalam mengeluhkan keadaan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.”
Musa berkata, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.”
Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan.
Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (al-Baqarah: 61)
Mendengar perkataan mereka itu, Nabi Musa ‘alaihissalam menegur mereka dengan keras, bahkan mencela mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah,” yaitu makanan yang kamu sebutkan (bawang merah, bawang putih, dan adasnya),
“Sebagai pengganti dari yang lebih baik?” yaitu al-manna dan as-salwa. Ini tidak layak bagimu, karena makanan yang kamu minta ini, kota mana pun yang kamu datangi, tentu kamu mendapatkannya. Adapun makanan kamu diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kamu, adalah sebaik-baik makanan dan paling mulia, mengapa kamu meminta ganti yang lain?
Seakan-akan Nabi Musa ‘alaihissalam mengatakan, “Aku tidak akan memenuhi permintaan kalian yang sangat tidak layak bagi kalian. Aku tidak akan menyampaikan permohonan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar mengabulkan keinginan kalian.”
Kejadian ini adalah bukti terbesar kurangnya kesabaran mereka dan adanya sikap meremehkan perintah dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, karena itu Dia membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista,” yang mereka saksikan terlihat pada penampilan tubuh mereka.
“dan kehinaan,” di hati mereka, sehingga Anda tidak akan melihat diri mereka dalam keadaan mulia, tidak pula mempunyai cita-cita yang tinggi. Bahkan sebaliknya, jiwa mereka begitu hina dan cita-cita mereka adalah cita-cita yang sangat rendah.
“Serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah,” yakni tidak ada keuntungan yang mereka bawa kembali melainkan kemurkaan-Nya terhadap mereka. Itulah seburuk-buruk ghanimah yang mereka peroleh dan seburuk-buruk keadaan yang mereka rasakan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hal itu (terjadi),” yaitu orang-orang yang berhak menerima kemurkaan-Nya.
“Karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah,” yang menunjukkan kebenaran yang jelas bagi mereka. Akan tetapi, ketika mereka kufur kepadanya, Dia timpakan kepada mereka kemurkaan-Nya. Selain itu juga karena mereka dahulu
“Membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala , “yang memang tidak dibenarkan,’ menegaskan betapa buruknya perbuatan itu. Kalau tidak, seperti diketahui bahwa membunuh seorang nabi tidak mungkin dibenarkan, tetapi agar tidak ada yang menduga bahwa hal itu boleh karena kejahilan dan ketiadaan ilmu mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka,” yakni berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan melampaui batas,” terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya, kemaksiatan itu tarik-menarik satu sama lain. Adapun kelalaian akan memunculkan dosa yang kecil, lalu berkembang darinya dosa yang besar, dan dari situ muncullah berbagai kebid’ahan, kekafiran, dan sebagainya. Kita mohon keselamatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dari berbagai petaka.
Perlu diketahui bahwa dialog dalam ayat ini diarahkan kepada satu golongan Bani Israil yang ada pada masa-masa turunnya al-Qur’an. Adapun perbuatan-perbuatan yang diceritakan itu tertuju kepada para pendahulu mereka. Dihubungkannya hal itu kepada mereka karena beberapa faedah, di antaranya sebagai berikut.
- Mereka dahulu sangat membanggakan dan menganggap suci diri mereka serta memiliki keutamaan yang lebih dari Muhammad n dan orang-orang yang beriman kepadanya. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan keadaan para pendahulu mereka yang telah mereka ketahui, yang menampakkan kepada siapa pun di antara mereka bahwa mereka bukan orang-orang yang sabar dan memiliki akhlak mulia serta amalan yang tinggi.
Maka dari itu, setelah diketahui demikianlah keadaan pendahulu mereka, padahal dianggap mereka itu lebih utama dan lebih mulia keadaannya daripada orang-orang yang datang setelahnya, bagaimana pula halnya dengan orang-orang yang ditujukan dialog ini kepadanya?
- Nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang terdahulu di antara mereka adalah nikmat yang dirasakan pula oleh orang yang datang belakangan. Nikmat yang dirasakan oleh bapak, nikmat pula bagi anak-anaknya.
Karena itulah, mereka diajak bicara dengan kalimat-kalimat ini. Sebab, semua itu adalah nikmat yang bersifat umum, meliputi mereka juga.
- Pembicaraan perbuatan orang lain dengan mereka menunjukkan bahwa sebuah bangsa yang bersatu di atas satu agama, saling membantu dan menjamin kemaslahatannya, hingga seolah-olah orang-orang yang datang lebih dahulu berada pada satu masa dengan yang belakangan, dan peristiwa yang menimpa sebagian mereka adalah kejadian yang dialami oleh mereka seluruhnya.
Di samping itu, kebaikan yang dikerjakan sebagian dari mereka kemaslahatannya juga kembali kepada seluruhnya. Demikian pula mudarat akibat kejahatan yang dikerjakan oleh sebagian dari bangsa itu, kembali kepada seluruhnya.
- Perbuatan jelek mereka itu sebagian besarnya tidak mereka ingkari. Padahal, orang-orang yang meridhai sebuah kemaksiatan adalah rekan bagi orang yang bermaksiat.
Tentu saja masih ada hikmah lain yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Di saat mereka hidup di Padang Tiih itulah Nabi Harun ‘alaihissalam wafat, yang disusul meninggalnya Nabi Musa ‘alaihissalam beberapa waktu kemudian. Sepeninggal kedua Nabiyullah ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihissalam sebagai nabi Bani Israil. Melalui beliaulah Palestina berhasil dibebaskan dari tangan penjajah. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits