Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim; Bagian ke-2

Karena menghancurkan seluruh berhala milik kaumnya—hanya menyisakan patung yang paling besar—Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun ditangkap dan dibawa ke tengah lapangan. Namun sesungguhnya inilah yang diharapkan beliau agar dirinya bisa menegakkan hujjah (keterangan) di depan orang banyak.

Setelah kaumnya berkumpul, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibawa ke hadapan mereka:

قَالُوٓاْ ءَأَنتَ فَعَلۡتَ هَٰذَا بِ‍َٔالِهَتِنَا يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ٦٢ قَالَ بَلۡ فَعَلَهُۥ كَبِيرُهُمۡ هَٰذَا

“Mereka bertanya, ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kami, wahai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya….’.” (al-Anbiya: 62—63)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata demikian sambil memberi isyarat ke arah patung yang masih utuh. Kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berada dalam dua posisi: mau mengakui kebenaran karena tidak mungkin (tidak masuk akal) bila sebuah benda padat yang dibuat oleh tangan mereka sendiri mampu melakukan penghancuran terhadap patung-patung lain, atau mengatakan bahwa patung itulah yang menghancurkan patung-patung lain dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bebas dari tuduhan. Padahal sudah sama diketahui bahwa mereka tidak akan mungkin menjawab dengan jawaban kedua. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengatakan sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَسۡ‍َٔلُوهُمۡ إِن كَانُواْ يَنطِقُونَ ٦٣

“Maka tanyakanlah kepada berhala itu, kalau mereka memang dapat berbicara.” (al-Anbiya: 63)

(Ayat) ini menghubungkan suatu masalah dengan sesuatu yang mereka ketahui bahwa itu adalah mustahil. Pada waktu itu tampak jelas kebenaran, mereka pun mengakuinya dan kembali kepada kesadaran, lalu berkata sebagaimana diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّكُمۡ أَنتُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٦٤ ثُمَّ نُكِسُواْ عَلَىٰ رُءُوسِهِمۡ

“Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menzalimi (diri sendiri). Kemudian kepala mereka jadi tertunduk..” (al-Anbiya: 64—65)

Yakni, mereka mengakui kebatilan sifat Ilahiyyah pada berhala tersebut dalam waktu yang begitu singkat. Tampak hujjah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat itu juga, sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk sombong menolak kebenaran tersebut.

Akan tetapi alangkah cepat kembalinya keyakinan sesat mereka yang telah begitu kokoh tertanam dalam hati sehingga menjadi sifat yang lazim (sehingga begitu sulit diubah). Kalaupun ada yang menafikan keyakinan (sesat) tersebut, dia hanya datang sekejap untuk kemudian hilang lenyap. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ثُمَّ نُكِسُواْ عَلَىٰ رُءُوسِهِمۡ لَقَدۡ عَلِمۡتَ مَا هَٰٓؤُلَآءِ يَنطِقُونَ ٦٥

“Kemudian kepala mereka jadi tertunduk, (lalu berkata), ‘Sesungguhnya kamu (wahai Ibrahim), telah mengetahui bahwa berhala-berhala ini tidak dapat berbicara’.” (al-Anbiya: 65)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun mencela mereka sesudah hujjah (keterangan) yang demikian jelasnya telah membungkam seorang pembantah di hadapan khalayak ramai. Beliau berkata kepada mereka sebagaimana diceritakan Allah subhanahu wa ta’ala:

قَالَ أَفَتَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمۡ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَضُرُّكُمۡ ٦٦ أُفّٖ لَّكُمۡ وَلِمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٦٧

“Mengapakah kalian beribadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat  sedikit pun dan tidak pula memberi mudarat kepada kalian? Cis (celakalah) kalian dan apa yang kalian ibadahi selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal?” (al-Anbiya: 66—67)

Kalau mereka betul-betul mempunyai akal pikiran yang sehat, niscaya mereka tidak akan menyerahkan peribadatan kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat, bahkan tidak dapat membela diri sendiri dari perbuatan orang yang ingin menimpakan kejelekan atasnya. Ketika mereka merasa tidak mampu untuk menandingi hujjah ataupun bukti ilmiah yang dikemukakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, maka mereka menggunakan kekuasaan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan untuk menghukum beliau. Mereka berkata,

حَرِّقُوهُ وَٱنصُرُوٓاْ ءَالِهَتَكُمۡ إِن كُنتُمۡ فَٰعِلِينَ ٦٨

“Bakarlah dia dan bantulah sesembahan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.” (al-Anbiya: 68)

Mereka pun segera menyalakan api yang demikian besar gejolaknya lalu melemparkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke dalamnya. Ketika sudah berada dalam keadaan demikian, beliau hanya berucap:

“Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.”

Maka Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepada api,

قُلۡنَا يَٰنَارُ كُونِي بَرۡدٗا وَسَلَٰمًا عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ ٦٩

“Wahai api, jadilah dingin dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (al-Anbiya: 69)

Api itu pun tidak mampu memberi mudarat sedikit pun kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Kaum Ibrahim ‘alaihissalam hendak berbuat makar terhadap Nabi-Nya dalam rangka membela sesembahan mereka dan menumbuhkan ketundukan serta penghormatan besar kepada sesembahan tersebut dalam hati dan para pengikut mereka. Namun makar itu justru menjadi kebinasaan bagi mereka. Pembelaan mereka ini betul-betul pembelaan yang besar menurut siapa pun yang menyaksikan peristiwa itu ataupun yang tidak menyaksikan.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapat pertolongan dan kemenangan dari semua yang mengetahui hal itu. Sampai raja mereka pun mendebat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tentang Rabbnya dengan kedengkian dan sikap melampaui batas karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kepadanya pemerintahan.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengatakan,

رَبِّيَ ٱلَّذِي يُحۡيِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحۡيِۦ وَأُمِيتُۖ

“Rabbku adalah yang telah menghidupkan dan mematikan.” Raja itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (al-Baqarah: 258)

Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menggiring dia untuk menggugurkan dalilnya sendiri dengan tasharruf (perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala) yang mutlak. Beliau berkata,

فَإِنَّ ٱللَّهَ يَأۡتِي بِٱلشَّمۡسِ مِنَ ٱلۡمَشۡرِقِ فَأۡتِ بِهَا مِنَ ٱلۡمَغۡرِبِ فَبُهِتَ ٱلَّذِي كَفَرَۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٥٨

“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.” Lalu heran terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-Baqarah: 258)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Pergi ke Syam

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam akhirnya keluar bersama istri dan anak saudaranya, yaitu Nabi Luth ‘alaihissalam, meninggalkan kaumnya menuju daerah Syam. Setelah di Syam, suatu kali Nabi Ibrahim mengajak istrinya, Sarah, pergi ke Mesir. Sarah adalah wanita tercantik di masa itu. Maka ketika dia terlihat oleh raja Mesir yang kejam dan bengis, segera raja itu tak dapat menguasai diri dan menginginkan Sarah untuk menjadi miliknya.

Sarah memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menimpakan malapetaka kepada raja itu, sehingga raja itu hampir mati karenanya. Kemudian Raja itu menjauhi Sarah, namun berusaha mengganggu lagi untuk kedua kalinya. Akhirnya setiap kali raja itu berusaha mendekat, Sarah berdoa seperti semula yang mengakibatkan raja itu tersungkur. Kemudian Sarah berdoa agar raja itu kembali seperti semula. Barulah raja tersebut membebaskannya, bahkan memberi hadiah seorang pelayan Qibthi (Mesir) bernama Hajar.

Sejak muda Sarah adalah wanita mandul. Maka dia menghadiahkan pelayan itu kepada Nabi Ibrahim untuk menjadi istri keduanya, dengan berharap Allah subhanahu wa ta’ala memberi beliau rezeki seorang anak dari pelayan tersebut. Akhirnya Hajar melahirkan Isma’il di saat usia Nabi Ibrahim sudah demikian lanjut.

Nabi Ibrahim begitu bahagia mendapatkan Isma’il. Namun sebaliknya, Sarah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya, dihinggapi cemburu yang hebat. Dia bersumpah meminta Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk tidak membiarkan Hajar tinggal bersamanya. Demikianlah yang memang diinginkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Semua ini merupakan salah satu sebab berangkatnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bersama Hajar ke tempat di mana terletak Baitul Haram (Ka’bah). Seandainya tidak, maka hal itu juga sesungguhnya telah ada dalam diri beliau ‘alaihissalam.

Maka berangkatlah beliau bersama Hajar dan putranya Isma’il, menuju Makkah yang pada waktu itu belum ada penghuninya, belum ada air, tumbuhan, dan lain-lain. Beliau meninggalkan bekal untuk Hajar dan putranya berupa sekantung air dan kurma, kemudian menempatkan mereka di dataran yang dekat dengan lokasi sumur Zamzam. Kemudian beliau meninggalkan keduanya. Setelah tiba di lembah yang tak terlihat oleh Hajar dan putranya, beliau berdoa:

رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡ‍ِٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ ٣٧

“Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)

Sampai akhir doa.

Hajar pun tunduk menerima keputusan Allah subhanahu wa ta’ala dan mulai memakan bekalnya sampai akhirnya bekal itu pun habis. Mulailah Hajar dan putranya merasakan haus. Ibu Isma’il beranjak melihat-lihat keadaan sekitar dengan harapan menjumpai seseorang atau sesuatu yang dapat mengurangi lapar dan haus putranya. Dia mencoba mendaki bukit kecil Ash-Shafa dan melihat-lihat, namun ternyata tidak terlihat satu manusia pun. Kemudian ia mendaki bukit yang satunya yaitu Marwah akan tetapi juga tidak melihat seorang pun.

Demikianlah dia lakukan berulang-ulang sambil terus memohon pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala untuk dirinya dan putranya, serta sesekali dia menoleh ke arah putranya khawatir kalau-kalau ada hewan buas yang mengganggu. Setiap kali menuruni lembah, Hajar mempercepat langkah sampai mendaki bukit yang satunya agar tetap matanya mengawasi putranya.

Setiap kesulitan itu pasti ada jalan keluarnya. Setelah tujuh kali turun naik dari bukit ash-Shafa dan Marwah dia mendengar suara malaikat menggali tempat sumur Zamzam, maka memancarlah air dari tempat tersebut. Sungguh betapa gembiranya ibu Isma’il melihat ini. Dia pun minum sepuasnya dan menyusui Isma’il. Ia pun memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat yang demikian besar, kemudian ia membendung air itu agar tidak menyebar kemana-mana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Semoga Allah merahmati Ummu Isma’il. Seandainya dia membiarkan air Zamzam begitu saja tentulah Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir.”

Membangun Ka’bah

Kemudian datanglah serombongan kabilah Arab Jurhum dan tinggal di sana. Semakin lengkaplah nikmat yang diperoleh Ummu Isma’il.

Isma’il tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Dia memiliki perangai, kemauan, dan kewibawaan yang membuat kagum kabilah Jurhum. Setelah mencapai usia dewasa, ia pun menikah dengan salah seorang gadis dari kabilah tersebut. Pada masa-masa itu Hajar wafat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam datang ke Makkah, sedangkan Isma’il ketika itu tidak berada di rumah tapi pergi berburu. Nabi Ibrahim menemui istri Isma’il dan bertanya kemana suaminya dan apa pekerjaannya. Wanita itu menceritakan bahwa suaminya pergi berburu dan kehidupan mereka sangat sulit. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kemudian berkata, “Kalau suamimu datang, sampaikan salam dari saya dan katakan kepadanya supaya mengganti palang pintu rumahnya.”

Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun segera pulang karena suatu hikmah yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Tatkala Isma’il datang, dia seakan merasakan sesuatu. Lalu ia bertanya kepada istrinya. Istrinya menceritakan, “Tadi ada seorang tua yang keadaannya demikian (ia sebutkan sifat-sifat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam). Ia bertanya tentang engkau dan saya terangkan kepadanya. Dia bertanya tentang kehidupan kita dan saya katakan kami dalam kesulitan. Dia titip salam untukmu dan berpesan agar engkau mengganti palang pintu rumahmu.”

Mendengar penuturan istrinya, Nabi Isma’il berkata, “Itu adalah ayahku dan engkaulah yang dimaksud dengan palang pintu itu. Kembalilah kau ke rumah orang tuamu.”

Setelah itu Nabi Isma’il menikah lagi dengan wanita yang lain. Tak lama datang pula Nabi Ibrahim, dan Nabi Isma’il kebetulan sedang pergi berburu. Beliau pun menemui istri Nabi Isma’il dan bertanya tentang Nabi Isma’il dan diterangkan oleh istrinya itu. Nabi Ibrahim juga bertanya tentang kehidupan mereka.

Istri Isma’il menceritakan bahwa kehidupan mereka dalam keadaan penuh kenikmatan dan kebaikan (ia adalah wanita yang baik, selalu mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan suaminya). Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata, “Kalau suamimu datang, sampaikan salamku dan katakan kepadanya supaya menetapkan palang pintu rumahnya.”

Setelah itu Nabi Ibrahim pun pulang dengan segera sebelum bertemu dengan Isma’il untuk suatu rahasia hikmah yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Ketika Nabi Isma’il pulang dari berburu, dia bertanya kepada istrinya, “Apakah tadi ada yang mengunjungi kamu?”

Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada seorang tua keadaannya demikian, demikian.”

Nabi Isma’il bertanya pula,”Apakah dia mengatakan sesuatu?”

Istrinya menjawab, “Dia bertanya kepada kami tentang dirimu dan saya pun bercerita. Dia bertanya pula tentang kehidupan kita, dan saya sampaikan bahwa kita dalam kenikmatan dan saya mengucapkan syukur serta memuji Allah subhanahu wa ta’ala.”

Nabi Isma’il bertanya pula, “Kemudian apa lagi yang dia katakan?”
Istrinya berkata, “Dia titip salam untukmu dan memerintahkan agar engkau menetapkan palang pintu rumahmu.”

Nabi Isma’il berkata, “Itu adalah ayahku, engkau adalah palang pintu yang dimaksud, dan dia menyuruhku untuk tetap menahanmu (sebagai istri).”
Kemudian Nabi Ibrahim datang untuk ketiga kalinya. Beliau bertemu dengan Isma’il yang sedang memperbaiki sumur Zamzam. Ketika melihat ayahnya datang, dia berdiri menyambut sebagaimana layaknya seorang anak yang bertemu dengan ayahnya yang disayangi dan menyayanginya.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata, “Wahai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membangun sebuah rumah di sini sebagai tempat ibadah bagi manusia sampai hari kiamat.”

Nabi Isma’il menjawab, “Saya akan membantumu.”

Maka mulailah keduanya membuat fondasi rumah tersebut. Nabi Ibrahim yang membangun sedangkan Nabi Isma’il mengambil dan menyerahkan batu-batu kepada beliau. Keduanya berdoa:

رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ١٢٧ رَبَّنَا وَٱجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَيۡنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةٗ مُّسۡلِمَةٗ لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبۡ عَلَيۡنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ١٢٨ رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١٢٩

“Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk berserah diri kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah: 127-129)

Setelah bangunan itu sempurna dan lengkap sebagai peninggalan yang besar dari Khalil (kekasih) Allah (Nabi Ibrahim ‘alaihissalam), Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau memanggil manusia untuk mengerjakan ibadah haji di Baitullah ini. Maka mulailah mereka menyeru manusia yang kemudian berdatangan menuju bait tersebut dari berbagai tempat yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat di dunia dan akhirat, sehingga mereka akan berbahagia dan hilang segala kesengsaraan mereka.

Pada saat demikian, ketika semakin tumbuh kecintaan terhadap Isma’il dalam hati Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam agar ia mengutamakan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjadi khalil-Nya yang semua itu tidak menerima adanya saingan ataupun sekutu. Maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau lewat mimpinya untuk menyembelih Isma’il, dan mimpi seorang nabi adalah wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada Isma’il:

إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢ فَلَمَّآ أَسۡلَمَا

“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Maka tatkala keduanya telah berserah diri…” (ash-Shaffat: 102—103)

Yakni, setelah keduanya tunduk dan siap melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang mengejutkan dan hampir-hampir tidak mungkin ada yang sanggup bersabar terhadapnya, kemudian:

فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ ١٠٣

“Dan ketika Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya).” (ash-Shaffat: 103)

Turunlah pertolongan dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang:

   وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ١٠٤ قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ

“Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu’.” (ash-Shaffat: 104—105)

Akhirnya diperoleh kesiapan jiwa menghadapi ujian dan cobaan berat yang menggetarkan sanubari ini. Terbukti pula tahap awal suatu kekokohan dan keteguhan, sehingga lengkaplah pahala bagi keduanya. Selanjutnya mereka pun memperoleh kemuliaan dan kedudukan demikian dekat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Semua itu karena kelembutan Allah Yang Mahaperkasa.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٠٥  إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ ١٠٦   وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ ١٠٧

“Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.” (ash-Shaffat: 105—107)

Memang, sembelihan mana lagi yang lebih besar daripada tercapainya tujuan utama ibadah ini yang tidak serupa dengan ibadah lainnya. Pada akhirnya ibadah ini menjadi sunnah (ketetapan) yang berlaku sepeninggal beliau sampai hari kiamat, sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharapkan pahala serta keridhaan-Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ ١٠٨  سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ ١٠٩  

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (ash-Shaffat: 108—109)

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Idral Harits

dakwah nabikisah nabi ibrahimkisah para nabi