Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anha suatu ketika berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
‘Siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan baginya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memfaqihkannya (memahamkan) dalam agama’.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh asy-Syaikhani, al-Imam al-Bukhari dalam beberapa tempat pada kitab Shahihnya (no.71, 3116, 7312) dan al- Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 1038)
Kebaikan yang Hakiki
Banyak orang menyangka bahwa harta yang melimpah, pangkat dan jabatan serta status sosial yang dimiliki merupakan tanda kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada seseorang dan menunjukkan Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi pemiliknya. Tak jarang hal ini membuat pemilik kenikmatan tersebut tertipu sehingga ia lupa diri, berlaku sombong di muka bumi, melupakan Allah subhanahu wa ta’ala dan enggan untuk bersyukur.
Demikian pula orang-orang di sekitarnya, mereka ikut tertipu dengan melihat orang yang bergelimang kenikmatan tersebut sehingga mereka pun iri padanya, memimpikan dan mengangan-angankan agar mendapatkan kenikmatan yang sama.
Mengapa mereka tidak mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah Qarun, seorang yang kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam dan bagaimana kisah orang-orang yang tertipu dengan kenikmatan yang diperolehnya,
إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوۡمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيۡهِمۡۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلۡعُصۡبَةِ أُوْلِي ٱلۡقُوَّةِ إِذۡ قَالَ لَهُۥ قَوۡمُهُۥ لَا تَفۡرَحۡۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَرِحِينَ ٧٦
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ أَوَ لَمۡ يَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَهۡلَكَ مِن قَبۡلِهِۦ مِنَ ٱلۡقُرُونِ مَنۡ هُوَ أَشَدُّ مِنۡهُ قُوَّةٗ وَأَكۡثَرُ جَمۡعٗاۚ وَلَا يُسَۡٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلۡمُجۡرِمُونَ ٧٨
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٖ ٧٩
وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ ٨٠
فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٖ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُنتَصِرِينَ ٨١
وَأَصۡبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوۡاْ مَكَانَهُۥ بِٱلۡأَمۡسِ يَقُولُونَ وَيۡكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُۖ لَوۡلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا لَخَسَفَ بِنَاۖ وَيۡكَأَنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨٢
“Sesungguhnya Qarun itu termasuk kaumnya Musa, lalu ia berbuat zalim dan sombong terhadap kaumnya (karena kekayaan yang dimilikinya –pen). Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya terasa berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” Carilah (kebaikan) negeri akhirat dalam apa (harta) yang Allah berikan kepadamu dan jangan lupakan bagianmu dari dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Qarun berkata, “Aku diberikan harta ini karena pengetahuan yang kumiliki.” Tidakkah ia mengetahui sesungguhnya Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya, orang yang lebih kuat darinya dan lebih banyak hartanya, dan orang-orang yang berdosa tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.
Qarun keluar di hadapan kaumnya dalam kemegahan (memamerkan kekayaannya). Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia,“Duhai, kiranya kami memiliki seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sungguh ia memiliki keberuntungan yang besar.”
Berkata orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Celaka kalian (jangan mengucapkan perkataan yang keliru seperti itu), pahala Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.”
Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang dapat membela dirinya.
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Bila Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah.” (al- Qashash: 76—82)
Ternyata kebaikan yang sebenarnya bukan pada kenikmatan yang disebutkan di atas. Namun kebaikan yang hakiki adalah kepahaman seseorang terhadap agamanya, kemudian ia beramal dengan ilmunya. Barang siapa yang faqih dalam agama maka ini merupakan tanda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan baginya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Manusia itu seperti bejana-bejana. Di antara mereka ada yang Allah subhanahu wa ta’ala ketahui kebaikan di hatinya, maka Allah berikan taufik kepadanya. Di antara mereka ada yang Allah subhanahu wa ta’ala ketahui kejelekan di hatinya, maka Allah subhanahu wa ta’ala menghinakan dan merendahkannya. Orang yang Allah subhanahu wa ta’ala ketahui kebaikan di hatinya berarti Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan untuknya. Bila Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan baginya, Allah subhanahu wa ta’ala faqihkan dia dalam agama-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya ilmu tentang syariat-Nya yang tidak diberikan kepada seorang pun dari manusia.
Hal ini menunjukkan sepantasnya manusia bersemangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh memahami/mempelajari agama Allah subhanahu wa ta’ala, karena apabila Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki terhadap sesuatu, Dia subhanahu wa ta’ala akan mempersiapkan sebab-sebab untuk mendapatkannya. Di antara sebab seorang menjadi faqih dalam agama adalah mempelajarinya dan bersungguh-sungguh mencapai martabat yang mulia ini.
Kefaqihan dalam agama tidak sebatas hanya kepada pengilmuan saja, tetapi dibarengi dengan pengamalan. Karena itu, bila seseorang mengetahui sesuatu dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi ia tidak mengamalkannya maka dia bukanlah orang yang faqih. Seandainya ia menghapal kitab yang paling besar dalam ilmu fikih (dan kitab-kitab dari cabang ilmu yang lain–pen.) dan memahaminya, namun ia tidak mengamalkannya, dia tidaklah disebut sebagai seorang faqih, tetapi qari (pembaca). Jadi, orang yang faqih adalah yang beramal dengan apa yang diilmuinya. Ia berilmu terlebih dahulu kemudian diikuti dengan amalannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/497—498)
Sulaiman bin Khalaf al-Baji rahimahullah berkata, “Pernyataan fiqh fid din menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan pada hamba-hamba-Nya sehingga siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala inginkan kebaikan padanya Allah subhanahu wa ta’ala faqihkan dia dalam agamanya. Adapun al-khair (kebaikan) yang disebutkan di dalam hadits (maknanya) adalah masuk al-jannah dan selamat dari api neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ
“Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam al-jannah maka sungguh ia beruntung.” (Ali ‘Imran: 185) (al-Muntaqa Syarhul Muwaththa Malik, 7/209)
Dengan demikian, orang yang tidak tafaqquh fi ad-din, yakni tidak mempelajari agama Islam (kaidah-kaidahnya) dan cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengannya maka sungguh ia terhalang dari kebaikan yang diinginkan.
Orang yang tidak mengetahui perkara-perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih (orang yang paham) dan bukan pula orang yang mencari pemahaman. Oleh karena itu, tepat sekali bila dikatakan kepadanya (bahwa dia adalah) orang yang tidak diinginkan kebaikan baginya (oleh Allah subhanahu wa ta’ala).
Demikian pula di sini ada penekanan keutamaan ahlul ilmi di atas seluruh manusia dan keutamaan tafaqquh fiddin (belajar/memahami agama) di atas seluruh ilmu (Fathul Bari, 1/207).
Sebab, ilmu tersebut akan menuntun seseorang kepada takwallah (bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (Syarah Shahih Muslim, 7/128)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Fiqh fi ad-din (fikih dalam agama) tidak sebatas fikih hukum-hukum amaliah yang dikhususkan oleh ahlul ilmi dengan istilah ilmu fikih. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama, keimanan), dan apa yang berkaitan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.
Seandainya tidak ada nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali dengan hadits ini saja, niscaya sudah mencukupi dan sempurna dalam memberi anjuran untuk menuntut ilmu syariat dan memahaminya.” (Kitabul Ilmi, hlm. 15—16)
Lihatlah kembali kisah Qarun di atas, ternyata yang memahami hakikat kebaikan adalah orang-orang yang dianugerahi ilmu. Mereka tahu bahwa Qarun telah tertipu dengan kenikmatan yang diperolehnya sehingga memperingatkan kepada manusia yang ingin seperti Qarun.
Ilmu yang Mulia adalah Ilmu Syar’i
Berkata seorang penyair:
مَا الْعِلْمُ إِلاَّ كِتَابُ اللهِ وَاْلأَثَرُ
وَمَا سِوَى ذَاكَ لاَ عَيْنٌ وَلاَ أَثَرُ
إِلاَّ هَوًى وَخُصُوْمَاتٍ مُلَفَّقَةً
فَلاَ يَغُرَّنَّكَ مِنْ أَرْبَابِهَا هَدَرُ
Tidaklah dinilai ilmu kecuali apa yang ada dalam Kitabullah dan Atsar (Sunnah)
Sedangkan yang selainnya tidak ada wujudnya dan pengaruhnya
Kecuali hawa nafsu dan pertikaian yang diada-adakan kedustaan padanya
Maka jangan sekali-kali menipumu kebatilan pemiliknya (Syadzaratudz Dzahab, 7/103 dinukil dari Waratsatul Anbiya, hlm. 12)
Ilmu yang disebutkan tentang keutamaan/kemuliaannya dalam nash-nash, serta pahala yang akan diperoleh karena mempelajari dan mengamalkannya, begitu pula diangkatnya derajat pemilik ilmu tersebut dan tergolongnya pemilik ilmu tersebut sebagai pewaris para nabi adalah ilmu syar’i, baik ilmu tersebut yang bersangkutan dengan keyakinan (keimanan, akidah, dan manhaj yang sahih) ataupun amalan (ibadah, akhlak, dan muamalah). Inilah ilmu yang karenanya seseorang itu dipuji bila dapat mencapainya, mempelajari dan mengajarkannya.
Bukanlah yang dimaksud di sini ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia seperti ilmu berhitung dan teknik atau yang serupa dengannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 3/491)
Ilmu syar‘i seperti inilah yang dikatakan lebih utama mempelajarinya daripada mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, baik berupa puasa, shalat dan yang lainnya. Dikatakan demikian karena kemanfaatan ilmu itu mengenai pemiliknya dan orang lain. Sementara ibadah sunnah yang dilakukan badan, kemanfaatannya terbatas hanya untuk pelakunya. Karena ilmu tersebut juga akan membenarkan (meluruskan) ibadah seseorang, sehingga yang namanya ibadah butuh terhadap ilmu dan bergantung dengannya. Selain itu, ilmu akan tetap tertinggal atsarnya (sisa/pengaruhnya) sepeninggal pemiliknya, sementara ibadah sunnah akan terputus dengan meninggalnya pelakunya.
Bisa dikatakan, selama ilmu itu ada, syariat ini akan tetap hidup dan (tetap berkibar) bendera-bendera agama ini. (Tadzkiratus Sami‘ wal Mutakallim, hlm. 23)
Demikianlah kemuliaan ilmu syar‘i yang begitu dijunjung keberadaannya di dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala ini. Namun, apabila kita menengok keberadaan kita pada hari ini dengan kebanggaan terhadap ilmu-ilmu dunia maka betapa naif dan jeleknya, di mana ilmu syar‘i diremehkan dan direndahkan dihadapan kita.
Bila ada seseorang yang ditanya pada hari ini tentang pendidikannya, di mana dia sekolah? Di mana dia belajar? Kebetulan dia adalah seorang thalibul ilmi syar‘i (penuntut ilmu agama) di satu pesantren ataupun sekolah agama, maka dengan malu/minder ia menjawab, “Saya seorang santri,” atau “Saya di jurusan syariah.”
Sebaliknya, bila dia belajar di sekolah umum dan ditanya dengan pertanyaan yang sama maka dengan bangga ia mengatakan, “Saya di SMU favorit” atau “Saya kuliah di fakultas kedokteran.” Wallahul musta‘an wa ilallahil musytaka.
Berbeda dengan zaman salafunas shalih yang (kehidupan mereka) diukir dan dicatat dengan tinta emas di lembaran buku-buku sejarah, yang mereka itu dibanggakan keberadaannya dengan ilmu syar‘i dari berbagai macam cabang yang membuat kita malu mengukur keberadaan kita apabila dibandingkan dan diukur dengan keberadaan mereka rahimahumullah.
Apa yang telah dipaparkan di sini menggambarkan bagaimana keadaan kita dan zaman kita sehingga perlu bagi kita untuk mengoreksi diri dan berupaya kembali menuntut ilmu syar‘i yang sungguh ilmu ini sangat bermanfaat sekali bagi diri kita, di mana pahalanya akan terus mengalir kepada pemiliknya sekalipun jasadnya telah dikubur dalam tanah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila meninggal anak Adam, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)
Kemuliaan Ilmu dan Ahlinya
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١٨
“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Dia, demikian pula para malaikat-Nya dan orang-orang yang berilmu (pun bersaksi) dalam keadaan menegakkan keadilan, tidak ada ilah kecuali Dia Yang Mahamulia lagi Maha Memiliki hikmah.” (Ali ‘Imran: 18)
Ayat di atas mengemukakan tentang kemuliaan ilmu dan keutamaannya serta kemuliaan dan keutamaan ahlul ilmi dibanding selain mereka dari kalangan manusia. Sebab, bila ada seseorang yang selain mereka menyamai kedudukan mereka, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menggandengkan persaksian orang itu dengan persaksian-Nya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengandengkan persaksian ahlul ilmi dengan persaksian-Nya. (Miftah Daris Sa’adah, 1/50)
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memulai penyebutan persaksian dirinya, yang kedua Dia sebutkan malaikat-Nya dan yang ketiga Dia sebutkan persaksian ahlul ilmi, sehingga cukuplah dengan ini kemuliaan, keutamaan, kehormatan, dan keagungan bagi mereka.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 17)
Demikianlah kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan terhadap para pemilik ilmu sehingga tidak sama kedudukannya dengan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ
“Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (jahil)?” (az-Zumar: 9)
Sebaliknya orang yang bodoh disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai seorang yang buta yang tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan sebagaimana firman-Nya,
أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓۚ
“Apakah orang yang mengetahui bahwa al-haq (kebenaran) yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sama dengan orang yang buta (tidak mengetahui al-haq)?” (ar-Ra’d: 19)
Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya memiliki penglihatan dan pandangan yang hakiki hanyalah orang-orang yang berilmu. Adapun selain mereka hakikatnya adalah orang yang buta yang berjalan di muka bumi tanpa dapat melihat.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Tidaklah sama antara orang yang mengetahui/mengilmui bahwa apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah kebenaran, petunjuk, dan jalan kebahagiaan, dengan orang-orang yang buta tentang jalan ini dan ilmu ini. Perbedaan besar antara dua kelompok ini, yaitu seperti perbedaan antara orang yang mengetahui al-haq dan mengambil sinar cahayanya, lalu berjalan di atas petunjuknya sampai dia berjumpa dengan Rabbnya, serta beruntung memperoleh kemuliaan dan kebahagiaannya, dengan orang yang buta tentang jalan tersebut, sehingga ia pun mengikuti hawa nafsunya dan berjalan di jalannya syaitan dan hawa nafsu.” (al-Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, hlm. 5)
Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menolak disamakannya ahlul ilmi dengan selain mereka, sama halnya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menolak persamaan penghuni surga dengan penghuni neraka:
لَا يَسۡتَوِيٓ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۚ
“Tidak sama antara penghuni an-nar dengan penghuni al-jannah.” (al-Hasyr: 20) (Miftah Daris Sa‘adah, 1/51)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat.” (al-Mujadalah: 11)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Pengangkatan derajat di sini mencakup pengangkatan secara maknawi di dunia yaitu dengan tingginya kedudukan mereka dan baiknya reputasi mereka. Secara hissiyah (indrawi) di akhirat dengan tingginya kedudukan di surga.” (Fathul Bari, 1/177)
Cukuplah kemuliaan bagi ilmu dengan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi pilihan-Nya untuk berdoa meminta tambahan ilmu, bukan meminta tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia:
وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا ١١٤
“Katakanlah (ya Muhammad), ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku’.” (Thaha: 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)
Zir bin Hubaisy rahimahullah berkata, “Aku mendatangi Shafwan bin ‘Assal radhiallahu ‘anhu untuk bertanya kepadanya tentang mengusap khuf. Ia pun bertanya kepadaku, ‘Apa yang mengantarmu untuk datang ke sini, wahai Zir?’.”
Aku menjawab, “(Aku datang) dalam rangka mencari ilmu.”
“Shafwan pun berkata, ‘Maukah aku beritakan kabar gembira kepadamu?’ Kemudian Shafwan membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ
“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka untuk penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dicarinya.” (HR. Ahmad 4/239, at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/14, 15)
Masih banyak lagi nash yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan ucapan ahlul ilmi dalam masalah ini[1] yang kalau kami cantumkan akan membutuhkan berlembar-lembar kertas, sehingga cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas dari nash yang ada.
Semoga ini menjadi dorongan bagi kami pribadi maupun pembaca untuk meraih kebaikan yang hakiki tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan memberi taufik kepada kita untuk senantiasa beramal dengan ilmu. Amin!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Lihat pembahasan tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu dalam kitab al-Ilmu Fadhuhu wa Syarafuhu yang merupakan ringkasan kitab ini dan disusun dari kitab Miftah Daris Sa’adah al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.