Ketika Nasehat Dianggap Celaan

Menerangkan penyimpangan seseorang agar umat tidak ikut terjatuh dalam penyimpangan yang dilakukannya adalah termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang besar. al-Imam Ahmad rahimahullah bahkan menganggapnya lebih afdal (lebih utama) dibanding puasa atau shalat (sunnah). Namun bagi orang-orang yang tidak memahami permasalahan ini, mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai kezaliman, bahkan ghibah. Bagaimana duduk permasalahan yang sebenarnya?

Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.

Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan, “Bahkan hal itu wajib, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekadar sunnah (anjuran) semata.” (an-Naqdu Manhajus Syar’i)

Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku, atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan zalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.

Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor, dan sebagainya.

Sehingga di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya pengertian nasihat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan, mencacati).

 

Pengertian Nasihat

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 99 dengan menukil perkataan al-Imam al-Khaththabi rahimahullah, “Nasihat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena menginginkan kebaikan baginya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits Tamim ad-Dari radhiallahu ‘anhu,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَ لِأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama (Islam) ini adalah nasihat (diulangi tiga kali oleh beliau).” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau, “Untuk Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)

Hadits ini menerangkan bahwa nasihat itu meliputi seluruh sendi ajaran Islam, Iman, dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam (ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman, dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat), dan beliau menamakan semua itu sebagai ad-Dien (agama).[1] Adapun nasihat untuk Allah subhanahu wa ta’ala, menuntut adanya pelaksanaan secara sempurna semua kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala bebankan. Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian, tidaklah sempurna nasihat untuk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya, lurusnya keyakinan (‘aqidah) tentang Wahdaniyah (keesaan) Allah subhanahu wa ta’ala, dan mengikhlaskan niat dalam beribadah hanya kepada-Nya.

Kemudian, nasihat untuk Kitab-Nya artinya beriman kepada kitab tersebut, mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Adapun nasihat untuk Rasul-Nya, maksudnya ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap ketaatan dalam menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasihat untuk muslimin secara umum (bukan imam atau penguasa) artinya membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.

Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasihat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa mereka, menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka. (al-Jami’ hlm. 101)

Dengan keinginan seperti ini, sebagian salafus saleh menyatakan, “Alangkah senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala meskipun dagingku dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”

Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka.

Alangkah tepatnya ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yang dikirimkan kepada beliau, “Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala (al-Qur’an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya Allah subhanahu wa ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah subhanahu wa ta’ala (al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan tali-tali fitnah.

Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan) Kitab Allah subhanahu wa ta’ala (al-Qur’an) sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan halhal yang mutasyabih[2] dari firman Allah subhanahu wa ta’ala ini. Mereka menipu orang-orang yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.” (I’lamul Muwaqqi’in)

Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini (kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun walaupun demikian, yang ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang dipaparkannya.

Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, “Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang bertentangan (menyelisihi) al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢

“Maka apakah mereka tidak memerhatikan al-Qur’an? Jika sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa:82)

Jadi, semua yang datang bukan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, al-Qur’an yang mulia ini yang turun dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sama sekali tidak ada perselisihan di dalamnya. (Lihat Tafsir as-Sa’di tentang ayat ini)

Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasihat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dari seorang ulama.

Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dalam risalahnya al-Farqu baina an-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus dalam satu akad. Juga terhadap al-Hasan (al-Bashri) rahimahullah yang menyatakan tidak ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lainnya yang memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.

Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.

Alangkah tepatnya perkataan al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan, “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik (penghuni) kubur ini—sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kalau kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Nabi, ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hlm. 50 –ed.)

Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita untuk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang sempat terucap ataupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermazhab dengan mazhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.

Yang lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. Maka barang siapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.

Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan al-Imam Sibawaih untuk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepadanya (Abu Hayyan), “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)? Sibawaih keliru tentang al-Qur’an dalam 40 tempat yang tidak kamu pahami, juga dia.” (Lihat ar-Radd al-Wafir hlm. 65)

Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan, “Jika nasihat itu adalah suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniah (urusan agama) secara umum maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah atau dusta, sebagaimana kata Yahya bin Sa’id al-Qaththan, ‘Saya bertanya kepada (al-Imam) Malik, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’d—saya kira juga—al-Auza’i rahimahumullah, tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits, atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”

Sebagian ulama berkata kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”[3] Maka al-Imam Ahmad mengatakan, “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”[4]

Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan sesuatu yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka (apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih Anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”

Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”

Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin….”[5]

Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?”

Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul- Nya lebih tahu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR. Muslim)

Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya…. Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itu pun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِيُرۡضُوكُمۡ وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرۡضُوهُ

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya….” (At-Taubah: 62)

Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasihat untuk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.

Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang as-Sunnah atau akidah, melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan adanya pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat, kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah.

Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua :

Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakikat Jarh wat Ta’dil).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasihat yang termasuk ajaran (agama) Islam.[6]

Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.

Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam, mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)

Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi) oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang yang menyebarkan kebid’ahan.[7]

Adapun di dalam as-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ: اِسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللهِ فَقَالَ: ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيرَةِ. فَلَمَّا دَخَلَ أَلَا نَ لَهُ الْكَلامَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْتَ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلامَ. قَالَ: أَيْ عَائِشَةُ، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa ada seseorang minta izin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata, “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putra) dalam kabilahnya.”

Ketika dia masuk, beliau melunakkan pembicaraannya terhadap orang tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata, “Wahai Rasulullah, Anda mengatakan sebelumnya demikian (tentang dia), kemudian Anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?”

Beliau berkata, “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah[8], terhadap orang yang dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang yang memang perlu kaum muslimin jauhi.”[9]

Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, ketika dia meminta nasihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siapa yang dia menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari lehernya. Adapun Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (Sahih, HR.Muslim dan lainnya)

Bolehnya menjarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau di sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus, sebagai nasihat buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.[10] Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan bahaya….[11]

Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang mendustakan para rasul Allah ‘alaihissalam yang datang kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala terangkan kekafiran, pendustaan, dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam al-Qur’an dan sama sekali tidak ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adalah agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang mereka lakukan terhadap rasul mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala menyifati orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang mereka runtuhkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umatnya dari ahli ahwa’ (bid’ah) tanpa memerhatikan kebaikan yang ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan dari kebaikan mereka.”

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini,

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencaricari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)

Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dari al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka jauhilah mereka!” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memerhatikannya dan tidak menyebutnyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para sahabatnya dengan orang-orang Khawarij,

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلاتَكُمْ مَعَ صَ تَالِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka, dan amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari sasaran[12].” (HR. al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)

Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka[13], seburuk-buruk bangkai yang terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Mengapa demikian?

Jawabnya jelas, karena mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin[14]. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena parahnya kebodohan dan kesesatan mereka….”

Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi. Mereka berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut, namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah membantah hal ini dalam firman-Nya,

تَحۡسَبُهُمۡ جَمِيعٗا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰۚ

“Kamu kira mereka itu bersatu sedangkan hati mereka berpecah belah.” (al-Hasyr: 14)

Ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah sebagaimana firman-Nya,

كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)

Oleh karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau pemikiran yang menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, baik dalam masalah fikih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.

Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar


[1] Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Kitab al-Iman.

[2] Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam -red.

[3] Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu a’lam.

[4] Majmu’ Fatawa 28/231.

[5] Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakikat Jarh wat Ta’dil.

[6] Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.

[7] Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.

[8] Ibnu Baththal berkata, “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hlm. 96) (ed)

[9] Syarh Shahih Muslim 16/144.

[10] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (28/230-231)

[11] Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah hlm. 9.

[12]Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed.)

[13] Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

[14] Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin al-Art, ia dan istrinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang ada di dalam perut istrinya dikorek dan dibunuh. Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.

ghibahjarh wa ta'dilkritik