Sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) pada makhluk-makhluk-Nya bahwa akan senantiasa terjadi pertikaian antara kebenaran dan kebatilan, sepanjang masa dan di setiap tempat. Salah satu ketetapan pula dari Allah bahwa setiap orang yang mengatakan dirinya beriman tentu tidak lepas dari berbagai ujian.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan, ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1—3)
Saad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?”
قَالَ: اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Beliau menjawab, “Para nabi. Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang mulia). Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang mulia). Seseorang diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Kalau imannya kokoh, berat pula ujiannya. Apabila imannya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar imannya. Dan senantiasa ujian itu menimpa seorang hamba sampai membiarkannya berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak lagi mempunyai dosa.” (HR. at-Tirmidzi)
Baca juga: Saat Ujian Menerpa
Salah satu sebab yang paling utama menangnya iman dan ajaran agama ini serta jelasnya hakikat berita yang disampaikan para rasul adalah munculnya para penentang yang memusuhi para rasul. Para penentang tersebut adalah orang-orang yang suka mengada-adakan kedustaan yang nyata. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٍ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورًاۚ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (al-An’am: 112)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabb-mu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (al-Furqan: 31)
Baca juga: Akhir Kehidupan Pendusta Para Rasul
Hal itu tidak lain karena al-haq (kebenaran) ini, semakin ditentang dan dilawan dengan berbagai syubhat, maka Allah subhanahu wa ta’ala munculkan hal-hal yang dengan itu Dia tampakkan al-haq itu adalah kebenaran, dan yang batil adalah batil. Seperti ayat-ayat yang terang, yang akan menampakkan dalil-dalil tentang al-haq tersebut dan bukti-buktinya yang nyata, serta rusaknya argumentasi (baca: syubhat) yang menghadang al-haq tersebut.
Bahkan, dengan cara apa pun ahlul batil berusaha menyembunyikan atau menutup-nutupi al-haq, al-haq itu pasti semakin menjulang dan menang. Mahabenar Allah yang berfirman,
وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (al-Isra: 81)
Baca juga: Perseteruan Sepanjang Masa
Firman-Nya,
بَلۡ نَقۡذِفُ بِٱلۡحَقِّ عَلَى ٱلۡبَٰطِلِ فَيَدۡمَغُهُۥ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٞۚ وَلَكُمُ ٱلۡوَيۡلُ مِمَّا تَصِفُونَ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang benar kepada yang batil lalu yang benar itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (al-Anbiya: 18)
Bani Israil Sepeninggal Nabi Musa
Bani Israil adalah umat yang dahulunya hidup di bawah bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Akan tetapi, setelah mereka hidup jauh dari masa nubuwah, bahkan dari tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, mereka diuji dengan berbagai kesulitan dan kehinaan. Itulah janji dan ketetapan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berlakukan atas makhluk-makhluk-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَضَيۡنَآ إِلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ فِي ٱلۡكِتَٰبِ لَتُفۡسِدُنَّ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَّتَيۡنِ وَلَتَعۡلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا ٤ فَإِذَا جَآءَ وَعۡدُ أُولَىٰهُمَا بَعَثۡنَا عَلَيۡكُمۡ عِبَادًا لَّنَآ أُوْلِي بَأۡسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلَٰلَ ٱلدِّيَارِۚ وَكَانَ وَعۡدًا مَّفۡعُولًا ٥
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu, ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (al-Isra: 4—5)
Ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang dikuasakan untuk menindas mereka. Namun, yang jelas, penindasan tersebut tidak lain adalah karena kezaliman, kemaksiatan, dan kekafiran yang mereka perbuat. Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menzalimi siapa pun dari makhluk ciptaan-Nya.
Allah subhanahu wa ta’la berfirman,
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعۡضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعۡضَۢا بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam Tafsir-nya, menukil dari Ibnu Zaid, “Ini adalah ancaman keras bagi orang yang zalim. Jika dia tidak berhenti dari kezalimannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’la kuasakan orang zalim lainnya atas dirinya.”
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Kami serahkan sebagian mereka (yang zalim itu) kepada yang lain karena kekafiran yang mereka pilih untuk diri mereka.”
Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat
Syahdan, pada zaman Bani Israil, jauh sepeninggal Nabi Musa alaihis salam… Saat Bani Israil semakin jauh dari masa nubuwah dan tuntunan nabi mereka, bergelimang kemaksiatan dan kekafiran, Allah subhanahu wa ta’ala kuasakan atas diri mereka orang-orang yang zalim dan bengis tidak berperikemanusiaan.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada “Kitab az-Zuhd war Raqa`iq”, “Bab Qishshah Ashhabil Ukhdud” (no. 3005), dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Pada zaman dahulu, sebelum masa kalian ada seorang raja, dia mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir ini sudah semakin tua, dia berkata kepada raja tersebut, ‘Saya sudah tua, carikan untukku seorang pemuda remaja yang akan saya ajari sihir.’
Baca juga: Sihir Melenyapkan Akidah
Raja itu pun mencari seorang pemuda untuk diajari ilmu sihir.
Adapun pemuda itu, di jalanan yang dilaluinya (menuju tukang sihir) itu ada seorang rahib (ahli ibadah). Dia duduk di majelis rahib tersebut, mendengarkan wejangannya. Ternyata uraian tersebut menakjubkannya. Akhirnya, jika dia mendatangi tukang sihir itu, dia melewati majelis si rahib dan duduk di sana.
Kemudian, setelah dia menemui tukang sihir itu, dia dipukul oleh tukang sihir tersebut. Pemuda itu pun mengadukan keadaannya kepada si rahib. Kata si rahib, ‘Kalau engkau takut kepada si tukang sihir, katakan kepadanya, ‘Aku ditahan oleh keluargaku.’ Jika engkau takut kepada keluargamu, katakan kepada mereka, ‘Aku ditahan oleh tukang sihir itu’.’
Ketika dia dalam keadaan demikian, datanglah seekor binatang besar yang menghalangi orang banyak. Pemuda itu berkata, “Hari ini saya akan tahu, tukang sihir itu yang lebih utama atau si rahib.”
Dia pun memungut sebuah batu dan berkata, ‘Ya Allah, kalau ajaran si rahib itu lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir itu, bunuhlah binatang ini agar manusia bisa berlalu.’ Pemuda itu melemparkan batunya hingga membunuhnya. Akhirnya manusia pun dapat melanjutkan perjalanannya.
Baca juga: Perbedaan Mukjizat, Karamah, dan Sihir
Kemudian pemuda itu menemui si rahib dan menceritakan keadaannya. Si rahib berkata kepadanya, ‘Wahai Ananda, hari ini engkau lebih utama daripadaku. Kedudukanmu sudah sampai pada tahap yang aku lihat saat ini. Sesungguhnya engkau tentu akan menerima cobaan. Apabila engkau ditimpa satu cobaan, janganlah engkau menunjuk diriku.’
Pemuda itu akhirnya mampu mengobati orang yang dilahirkan dalam keadaan buta, sopak (belang), dan mengobati orang banyak dari berbagai penyakit. Berita ini sampai ke telinga teman duduk Sang Raja yang buta matanya. Dia pun menemui pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, lalu berkata, ‘Semua hadiah yang ada di sini adalah untuk engkau, saya kumpulkan, kalau engkau dapat menyembuhkan saya (dari kebutaan ini).’
Anak muda itu menjawab, ‘Sebetulnya saya tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Akan tetapi, yang menyembuhkan itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau engkau beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, saya doakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tentu Dia sembuhkan engkau.’
Baca juga: Pentingnya Doa dalam Menghadapi Wabah Penyakit
Teman Sang Raja itu pun beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu Allah menyembuhkannya. Kemudian dia menemui Sang Raja dan duduk bersamanya seperti biasa. Raja itu berkata kepadanya, ‘Siapa yang sudah mengembalikan matamu?’
Dia menjawab, ‘Rabb-ku.’
Raja itu menukas, “Apa kamu punya tuhan selain aku?”
Orang itu berkata, ‘Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah subhanahu wa ta’ala.’
Raja itu pun menangkapnya dan tidak berhenti menyiksanya sampai dia menunjukkan si pemuda. Akhirnya si pemuda ditangkap dan dibawa ke hadapan raja tersebut. Sang raja berkata, ‘Wahai anakku, telah sampai kepadaku kehebatan sihirmu yang dapat menyembuhkan buta, sopak, dan kamu berbuat ini serta itu.’
Pemuda itu berkata, ‘Sesungguhnya saya tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Akan tetapi, yang menyembuhkan itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala.’
Raja itu menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai dia menunjukkan si rahib. Akhirnya si rahib ditangkap dan dihadapkan kepada Sang Raja dan dipaksa, ‘Keluarlah dari agamamu.’
Si rahib menolak. Raja itu minta dibawakan sebuah gergaji, lalu diletakkan di atas kepala si rahib. Mulailah kepala itu digergaji hingga terbelah dua. Kemudian diseret pula teman duduk raja tersebut, dan dipaksa pula untuk kembali murtad dari keyakinannya. Akan tetapi, dia menolak. Akhirnya kepalanya digergaji hingga terbelah dua.
Baca juga: Menengok Kesabaran Diri Kala Ujian dan Cobaan Menerpa
Kemudian pemuda itu dihadapkan kepada raja. Dia pun dipaksa, ‘Keluarlah kamu dari keyakinanmu.’ Pemuda itu menolak.
Akhirnya raja itu memanggil para prajuritnya, ‘Bawa dia ke gunung ini dan itu, dan naiklah. Kalau kalian sudah sampai di puncak, kalau dia mau beriman (bawa pulang). Kalau dia tidak mau, lemparkan dia dari atas.’
Mereka pun membawa pemuda itu ke gunung yang ditunjuk. Si pemuda pun berdoa, ‘Ya Allah, lepaskan aku dari mereka dengan apa yang Engkau kehendaki.’
Seketika gunung itu bergetar. Mereka pun terpelanting jatuh. Pemuda itu datang berjalan kaki menemui Sang Raja. Raja itu berkata, ‘Apa yang dilakukan para pengawalmu itu?’
Kata si pemuda, ‘Allah menyelamatkanku dari mereka.’
Kemudian Raja menyerahkan si pemuda kepada beberapa orang lalu berkata, “Bawa dia dengan perahu ke tengah laut. Kalau dia mau keluar dari keyakinannya, (bawa pulang). Kalua tidak mau, lemparkan dia ke laut.”
Mereka pun membawanya. Si pemuda berdoa lagi, “Ya Allah, lepaskan aku dari mereka dengan apa yang Engkau kehendaki.”
Perahu itu karam dan mereka pun tenggelam. Si pemuda pun berjalan dengan tenang menemui Sang Raja.
Raja itu berkata, ‘Apa yang dilakukan para pengawalmu itu?’
Kata si pemuda, ‘Allah menyelamatkanku dari mereka.’
Baca juga: Agar Sabar Menghadapi Gangguan (1)
Lalu si pemuda melanjutkan, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai engkau melakukan apa yang kuperintahkan.’
Sang Raja bertanya, ‘Apa itu?’
Kata si pemuda, ‘Kau kumpulkan seluruh manusia di satu tempat. Lalu kau salib aku di sebatang pohon. Ambil sebatang panah dari kantung panahku kemudian letakkan pada sebuah busur. Lalu ucapkanlah ‘Bismillah Rabbil ghulam’ (Dengan nama Allah, Rabb si pemuda), dan tembaklah aku dengan panah tersebut. Kalau engkau melakukannya, niscaya engkau akan dapat membunuhku.’
Raja itu pun mengumpulkan seluruh manusia di satu tempat dan menyalib si pemuda. Kemudian dia mengeluarkan anak panah dari kantung si pemuda lalu meletakkannya pada sebuah busur dan berkata ‘Bismillahi Rabbil ghulam’, kemudian dia melepaskan panah itu dan tepat mengenai pelipis si pemuda. Darah mengucur dan si pemuda segera meletakkan tangannya di pelipis itu dan dia pun tewas.
Baca juga: Agar Sabar Menghadapi Gangguan (2)
Serta merta rakyat banyak yang melihatnya segera berkata, ‘Kami beriman kepada Rabb si pemuda. Kami beriman kepada Rabb si pemuda. Kami beriman kepada Rabb si pemuda.’
Raja pun didatangi pengikutnya. Lantas diceritakan kepadanya, ‘Apakah Anda sudah melihat, apa yang Anda khawatirkan, demi Allah sudah terjadi. Orang banyak sudah beriman (kepada Allah).’
Lalu Raja memerintahkan agar digali parit-parit besar dan dinyalakan api di dalamnya. Raja itu berkata, ‘Siapa yang tidak mau keluar dari keyakinannya, bakarlah hidup-hidup dalam parit itu. (Atau ceburkan ke dalamnya).’
Mereka pun melakukannya. Sampai akhirnya diseretlah seorang wanita yang sedang menggendong bayinya. Wanita itu mundur (melihat api yang bernyala-nyala), khawatir terjatuh ke dalamnya (karena sayang kepada bayinya). Akan tetapi, bayi itu berkata kepada ibunya, ‘Wahai Ibunda, bersabarlah. Sesungguhnya engkau di atas al-haq.’
Baca juga: Anakku, Kokohkan Fondasi Hidupmu
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah ini juga dalam Kitab-Nya yang mulia dalam surah al-Buruj: 1—10,
وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلۡبُرُوجِ ١ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡمَوۡعُودِ ٢ وَشَاهِدٍ وَمَشۡهُودٍ ٣
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
قُتِلَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡأُخۡدُودِ ٤ ٱلنَّارِ ذَاتِ ٱلۡوَقُودِ ٥ إِذۡ هُمۡ عَلَيۡهَا قُعُودٌ ٦ وَهُمۡ عَلَىٰ مَا يَفۡعَلُونَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ شُهُودٌ ٧
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
وَمَا نَقَمُواْ مِنۡهُمۡ إِلَّآ أَن يُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ ٨ ٱلَّذِي لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ شَهِيدٌ ٩
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَتَنُواْ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَتُوبُواْ فَلَهُمۡ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمۡ عَذَابُ ٱلۡحَرِيقِ ١٠
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar….”
Baca juga: Sifat-Sifat Penghuni Neraka
Itulah kisah yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan dalam Kitab-Nya yang mulia agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah mereka.
Pelajaran dari Kisah Ashabul Ukhdud
Beberapa faedah dari kisah ini, di samping apa yang telah diuraikan sebelumnya ialah:
-
Belajar di waktu muda lebih mudah untuk menangkap pelajaran dan memahami.
Inilah alasan tukang sihir itu memilih remaja daripada yang sudah tua. Demikianlah yang dituntunkan para ulama kita, hingga sebagian mereka mengatakan, “Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air.”
-
Kemenangan dakwah bukan hanya diukur banyaknya orang yang mengikuti dai saat dia masih hidup.
Boleh jadi setelah dia meninggal dunia, orang banyak mulai menyadari kebenaran yang disampaikannya.
-
Termasuk sebuah kemenangan adalah ketika seorang mukmin lebih memilih api yang membakar dirinya daripada hilangnya keimanan yang ada di dalam dadanya.
Inilah yang terlihat dari seorang wanita yang lemah dengan bayinya yang masih dalam buaian. Wanita itu merasa iba kalau anaknya ikut terbakar. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan anak bayi itu mampu berbicara menasihati ibunya agar tetap kokoh di atas keimanannya.
-
Sifat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala
Begitu hebatnya kekejaman orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tanpa perikemanusiaan membakar hidup-hidup orang-orang yang menyatakan dirinya beriman. Meski demikian, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberi kesempatan bagi orang-orang kafir itu untuk bertobat.
-
Ayat ini merupakan salah satu dari sekian hiburan (tasliyah) bagi umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Al-Qur’an ini turun di tengah-tengah mereka. Ayat-ayat ini menghibur mereka bahwasanya kepahitan dan penderitaan yang mereka alami bukanlah sesuatu yang baru. Kekejaman dan penindasan terhadap kaum mukminin sudah terjadi pada masa para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Bahkan, Allah subhanahu wa ta’la berfirman,
أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُمۖ مَّسَّتۡهُمُ ٱلۡبَأۡسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصۡرُ ٱللَّهِۗ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (al-Baqarah: 214)
-
Di antara buah keimanan yang jujur dan kokoh ialah jauh dari sifat tertipu dengan keadaan diri sendiri.
Perhatikanlah ucapan si pemuda. Bukan dia yang menyembuhkan penyakit atau kebutaan, melainkan Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang menyembuhkan dan mengembalikan kebutaan seseorang. Tidak sepantasnya pula orang yang berilmu menisbahkan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang dirasakannya kepada diri mereka sendiri. Seolah-olah semua yang diperolehnya adalah karena kepintaran dan kecakapannya.
-
Allah mengabulkan doa orang yang sedang terjepit/kesulitan jika dia berdoa kepada-Nya.
Apabila seorang yang sedang dalam kesulitan/terjepit memohon sesuatu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan penuh keyakinan, pasti Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan permintaannya.
-
Di samping sebagai hiburan bagi kaum mukminin, ayat ini juga merupakan ancaman dan peringatan bagi orang-orang musyrik dan kafir, di mana pun mereka berada.
Allah Maha Menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Kalau Allah subhanahu wa ta’ala tidak membalas perbuatan mereka itu di dunia ini, sesungguhnya balasan yang setimpal akan mereka dapatkan di akhirat. Mereka akhirnya merasakan panasnya jahanam dan siksaan yang membakar, sebagaimana yang dahulu mereka lakukan terhadap kaum mukminin di dunia. Oleh sebab itu, hendaklah orang-orang yang mengaku dirinya beriman bersabar dengan kesempitan dan kepahitan yang mereka alami di dunia ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits Shuhaib radhiallahu anhu,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang-orang yang beriman itu. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik, dan itu tidak dirasakan oleh siapa pun kecuali orang yang beriman. Kalau dia ditimpa kesenangan, dia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”
Wallahul muwaffiq.