Kisah Ashabus Sabti (bagian 1)

Ini adalah kisah Ashabus Sabti, bagian dari bangsa Yahudi yang terkenal dengan tipu muslihat dan makarnya. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.

Negeri Aylah

Aylah[1] adalah kota yang terletak di tepi laut antara negeri Mesir dan Makkah. Ibnu Katsir rahimahullah dalam al-Bidayah wan Nihayah menambahkan, antara Madyan dan Thur. Negeri ini subur dengan kurma dan hasil laut berupa ikan yang berlimpah. Kota ini merupakan batas pertama wilayah Hijaz. Penduduknya terdiri dari berbagai ras. Kota ini termasuk batas kerajaan Romawi zaman dahulu.

Negeri ini pula yang diisyaratkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

وَسۡ‍َٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ حِيتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعًا وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ لَا تَأۡتِيهِمۡۚ كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air. Di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (al-A’raf: 163)

Baca juga: Kisah Bani Israil dan Sapi Betina

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya agar menanyai orang-orang Yahudi di Madinah, tentang saudara-saudara mereka yang dahulu menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Kaum tersebut diterpa azab secara tiba-tiba karena perbuatan dan tipu muslihat (hiyal) mereka dalam menyelisihi. Selain itu, Allah juga memerintah beliau shallallahu alaihi wa sallam untuk memperingatkan mereka agar tidak menyembunyikan sifat-sifat beliau yang tercantum dalam kitab mereka, agar mereka tidak terkena apa yang telah dialami oleh para pendahulu mereka.

Mereka adalah penduduk Aylah. Demikian uraian Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya.

Dahulu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk hari Jumat. Akan tetapi, mereka mengatakan, “Kami akan berusaha untuk hari Sabtu karena Allah selesai mencipta pada hari Sabtu.”

Akhirnya, ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu.

Konon, mereka masih berpegang dengan ajaran Taurat dalam menghormati hari Sabtu di masa itu. Waktu itu, mereka diharamkan melakukan usaha dalam bentuk apa pun. Sementara itu, ikan-ikan banyak berenang dari laut ke tempat mereka dengan tenang dan aman tanpa diganggu sedikit pun. Namun, pada selain hari Sabtu, ikan-ikan itu tidak pernah datang lagi.

Baca juga: Kisah Bani Israil dan Ganimah

Melihat hal ini, mereka pun melakukan tipu muslihat agar dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Mereka memasang tali, jarring, dan perangkap, serta menggali lubang ke arah tempat air yang sudah mereka buat untuk menampung ikan-ikan yang dihanyutkan oleh air laut. Kalau ikan-ikan itu sudah berada di dalam lubang itu, mereka tidak dapat keluar lagi untuk kembali ke laut.

Mereka pun memasangnya pada hari Jumat. Ketika ikan-ikan datang dan terperangkap pada hari Sabtu, mereka menutup jalur menuju laut sehingga ikan-ikan itu terperangkap. Setelah lewat hari Sabtu, mereka mengambil ikan-ikan tersebut.

Akhirnya, Allah subhanahu wa ta’ala murka dan melaknat mereka karena perbuatan mereka. Mereka melakukannya untuk melanggar perintah-Nya dan apa yang Dia haramkan dengan sebuah tipu muslihat. Secara kasat mata, seolah-olah mereka tidak berbuat apa-apa padahal mereka telah melakukannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan kejadian tersebut,

وَسۡ‍َٔلۡهُمۡ 

“Dan tanyakanlah kepada mereka,” maksudnya Bani Israil.

عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ 

“tentang negeri yang terletak di dekat laut,” di tepi pantai, tentang pelanggaran yang mereka lakukan serta hukuman Allah subhanahu wa ta’ala yang ditimpakan atas mereka.

إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ 

“Ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu,” padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan agar mereka mengagungkan dan menghormati hari tersebut dan tidak berburu apa pun.

Baca juga: Bani Israil Menyembah Anak Sapi

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menguji mereka dengan,

إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ حِيتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعًا 

“datangnya ikan-ikan kepada mereka terapung-apung di permukaan air di hari Sabtu itu,” sedemikian berlimpah terapung di permukaan laut.

وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ لَا تَأۡتِيهِمۡۚ

“dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka,” ikan-ikan itu berenang di dalam laut hingga tidak terlihat seekor pun.

كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ

“Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”

Jadi, kefasikan merekalah yang menyebabkan mereka diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Seandainya mereka tidak melanggar ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah memaafkan mereka dan tidak menghadapkan mereka kepada bala dan kejelekan.

Akhirnya, mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkapnya.

Setelah ada sebagian dari mereka menangkap ikan-ikan tersebut, terpecahlah mereka menjadi tiga:

  • sebagian melakukannya,
  • ada sebagian lagi mengingkari perbuatan mereka itu, dan
  • sebagian yang lain tidak mengerjakan, tidak pula mencegah, tetapi mereka mengingkari perbuatan tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka,

وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةٌ مِّنۡهُمۡ لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ أَوۡ مُعَذِّبُهُمۡ عَذَابًا شَدِيدًاۖ

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” (al-A’raf: 164)

Baca juga: Beribadah dengan Amar Makruf Nahi Mungkar

Seolah-olah mereka hendak menyampaikan kepada orang-orang yang mencegah itu, “Apa gunanya nasihat/peringatan untuk orang yang melanggar apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mau memperhatikan (nasihat) orang yang memberi nasihat? Mereka justru terus-menerus dalam pelanggaran serta sikap melampaui batasnya?! Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tentu mengazab mereka, dengan membinasakan mereka atau dengan siksaan yang berat.”

Orang-orang yang mencegah perbuatan tersebut berkata, “Kami menasihati dan melarang mereka itu,

مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ

“agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (al-A’raf: 164)

Maknanya, dalam hal perintah-Nya kepada kami untuk beramar makruf nahi mungkar karena takut akan azab-Nya.

وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ

“dan supaya mereka bertakwa.”

Artinya, agar mereka mau meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan tersebut sehingga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi mereka dari azab-Nya dan memaafkan mereka kalau mereka bertobat, serta menunjuki mereka lalu mereka beramal sesuai dengan perintah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِۦٓ

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.” (al-A’raf: 165)

Maksudnya, tatkala mereka tidak mau memperhatikan orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan buruk tersebut, justru terus-menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran,

أَنجَيۡنَا ٱلَّذِينَ يَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلسُّوٓءِ

“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (al-A’raf: 165)

Orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar, Kami selamatkan dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar.

Baca juga: Akibat Meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ

“dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim,” yaitu mereka yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu tersebut.

بِعَذَابِۢ بَ‍ِٔيسِۢ

“siksaan yang keras,” yang menyakitkan.

بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ

“disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya,

فَلَمَّا عَتَوۡاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنۡهُ قُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَٰسِ‍ِٔينَ

“Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (al-A’raf: 166)

Adapun kelompok lain yang menegur orang-orang yang mencegah/melarang perbuatan itu sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةٌ مِّنۡهُمۡ لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ

“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?’.”

Para ulama berbeda pendapat tentang kelompok ini, apakah mereka selamat atau juga ikut binasa. Ada yang mengatakan bahwa mereka termasuk yang selamat dari azab Allah subhanahu wa ta’ala. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka juga menerima azab. Secara lahiriah, mereka selamat. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengkhususkan kebinasaan itu hanya menimpa orang-orang yang zalim. Dia tidak menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim. Jadi, ini menegaskan bahwa hukuman itu hanya khusus menimpa orang-orang yang melanggar larangan di hari Sabtu.

Baca juga: Urgensi Amar Makruf Nahi Mungkar

Di samping itu, karena amar makruf nahi mungkar hukumnya fardhu kifayah; jika sudah ada yang menjalankan, gugurlah dari yang lain. Jadi, mereka mencukupkan diri karena sudah adanya peringatan dan nasihat dari yang lain. Bahkan, ternyata mereka juga mengingkari perbuatan tersebut melalui ucapan mereka dalam ayat ini,

وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةٌ مِّنۡهُمۡ لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ أَوۡ مُعَذِّبُهُمۡ عَذَابًا شَدِيدًاۖ

“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”

Mereka tampakkan kemarahan terhadap para pelaku maksiat itu. Sikap ini menegaskan betapa besar kebencian mereka terhadap perbuatan orang-orang itu. Mereka menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukum orang-orang itu dengan hukuman yang sangat berat.

Demikian pula menurut Ibnu Katsir rahimahullah bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu kelompok yang hanya mengingkari saja juga selamat. Kepada pendapat inilah Ibnu Abbas radhiallahu anhuma rujuk setelah berdiskusi dengan maula-nya, Ikrimah rahimahullah.

Ceritanya, ketika Ikrimah menemui Ibnu Abbas, dia melihat Ibnu Abbas sedang menangis. Lalu dia bertanya tentang apa yang menyebabkannya menangis. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menunjukkan ayat-ayat ini kepadanya seraya berkata, “Tahukah engkau negeri Aylah?”

“Ya,” kata Ikrimah.

Kata Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, “Ada segolongan Yahudi di sana. Datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk. Akan tetapi, di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan susah payah. Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain.

Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini. Yang lain melarang dan mencegah, “Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya pada hari Sabtu.”

Baca juga: Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (bagian 1)

Setelah itu Ibnu Katsir rahimahullah menguraikan kisah seputar tipu muslihat yang mereka lakukan. Ibnu Katsir lalu berkata,

“Kemudian Ibnu Abbas radhiallahu anhuma membaca ayat ini,

وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابِۢ بَ‍ِٔيسِۢ بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ

“Tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras.” (al-A’raf: 165)

Beliau radhiallahu anhuma kemudian berkata, “Saya lihat, orang-orang yang melarang itu selamat, tetapi saya tidak melihat yang lain disebut-sebut. Sementara itu, kita juga melihat banyak hal yang kita ingkari, tetapi tidak mengatakan apa-apa.”

Ikrimah berkata, “Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka juga membenci dan menyelisihi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang melanggar tersebut? Bahkan, mereka mengatakan (sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala tersebut),

لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمَۡ

“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?”

Baca juga: Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (2)

Kemudian, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma memberi Ikrimah dua helai kain tebal. Demikian pula riwayat Mujahid dari beliau. Demikian uraian Ibnu Katsir rahimahullah.

(Ikuti lanjutannya di sini)


Catatan Kaki

[1] Inilah yang masyhur meskipun ada sebagian ulama yang tidak memastikan bahwa nama negeri itu adalah Aylah. Yang jelas, ia adalah sebuah negeri di daerah pantai. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits

ashabus sabtiaylahBani Israilhari sabtukisahkisah bani israil