Kesyirikan, kata sebagian orang, hanyalah menyembah patung atau berhala. Mereka pun kemudian merasa sebagai orang yang senantiasa bertauhid. Padahal, di jarinya melingkar jimat penolak bala. Di hatinya tumbuh pengagungan yang berlebihan kepada tokoh tertentu. Keseharian mereka dipenuhi ritual-ritual ‘persembahan’ dan menjadikan dukun sebagai pelarian. Sesempit inikah kalimat la ilaha illallah yang mereka pahami?
Pentingnya Kalimat La Ilaha Illallah
Banyak orang mengira bahwa agama bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat keduniaan. Tak mengherankan jika kemudian orang berlomba-lomba ingin menjadi tokoh agama, kiai, ustadz, habib, dan sebagainya, dalam rangka mendapatkan apa yang diinginkannya. Selanjutnya, agama dijadikan alat untuk meraih popularitas, jabatan, kekuasaan, materi, dan berbagai kesenangan dunia lainnya.
Berbagai ambisi ini, sangat mungkin akan menggiring pelakunya untuk menghalalkan segala cara. Hanya bermodal pandai berpidato, hafal sedikit ayat Al-Qur’an dan hadits, dia berani ceramah di mana-mana. Tak sedikit pula yang berusaha mendompleng tokoh yang sudah terkenal demi mendapatkan keuntungan yang sebenarnya sangat sedikit. Ada pula yang berani membayar mahal tokoh tertentu agar “dagangan” yang ia jajakan bisa laku di masyarakat.
Di masa kini, upaya memperoleh kekayaan dengan menjual agama bukan hal baru lagi. Yang menjadi korban tentu saja umat yang tidak tahu apa-apa. Kebodohan mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, demi memuaskan nafsu sesaat. Mereka adalah orang-orang yang tidak takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka telah menjadi budak dunia dan hawa nafsu.
Baca juga: Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan
Di sisi lain, banyaknya orang yang berambisi mendapatkan dunia dengan mengatasnamakan agama ini, memunculkan persaingan di antara mereka sendiri. Jegal-menjegal pun kerap terjadi. Tuding-menuding, saling menyalahkan, menganggap dirinya benar, bukan sesuatu yang aneh lagi. Kesombongan telah merasuki jiwa-jiwa mereka. Dalam keadaan ini, lagi-lagi kaum muslimin yang akan menjadi korban.
Tidakkah mereka mendengar peringatan Allah subhanahu wa ta’ala,
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ
“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (al-Baqarah: 86)
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡعَذَابَ بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ فَمَآ أَصۡبَرَهُمۡ عَلَى ٱلنَّارِ
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan, maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.” (al-Baqarah: 175)
Demikianlah kehidupan seseorang yang tidak berpijak pada kalimat tauhid la ilaha illallah. Matanya tertutup untuk melihat ke depan, yaitu negeri akhirat. Telinganya tertutup untuk mendengar peringatan-peringatan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Tertutup pula mata hatinya untuk mengkaji dan memahami ayat-ayat Allah. Mereka tak ubahnya binatang ternak, bahkan lebih sesat dari itu. Yang ada adalah pelampiasan syahwat birahi dan syahwat perut. Yang tergambar dalam benaknya adalah bagaimana meraih dunia sebanyak-banyaknya.
Kedudukan Kalimat La Ilaha Illallah
Kalimat la ilaha illallah senantiasa dikumandangkan oleh kaum muslimin dalam azan, iqamat, khotbah, dan percakapan mereka. Inilah kalimat yang dengannya langit dan bumi menjadi tegak. Untuk kalimat ini pula seluruh makhluk diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan syariat diletakkan. Dengan sebab kalimat itu pula, timbangan dan catatan-catatan amal ditegakkan, demikian pula (kehidupan) surga atau neraka.
Dengan kalimat la ilaha illallah, manusia terbagi menjadi mukmin dan kafir. Di atas kalimat itu ada penciptaan, perintah, pahala, dan ancaman. Di atasnya ditegakkannya kiblat, didirikannya agama, dan dihunuskannya pedang-pedang jihad.
Kalimat la ilaha illallah merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala atas seluruh hamba. Ini adalah sebuah kalimat Islam, kunci negeri keselamatan. Tentang kalimat la ilaha illallah inilah, orang yang terdahulu dan yang terakhir akan ditanya. Tidak akan bergeser dua kaki anak Adam di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala sampai ditanya tentang dua hal: Apa yang dahulu kalian sembah? Bagaimana tanggapan kalian terhadap para rasul yang diutus?
Jawaban yang pertama adalah dengan merealisasikan kalimat la ilaha illallah, mengilmui, mengakui, dan mengamalkannya. Jawaban kedua adalah dengan merealisasikan makna syahadat Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengilmui, tunduk dan taat. (Zadul Ma’ad, 1/2)
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Kalimat la ilaha illallah adalah kalimat pemisah antara kekufuran dan Islam. Ini adalah kalimat ketakwaan dan ‘urwatul wutsqa (tali yang kokoh) yang Nabi Ibrahim alaihis salam menjadikannya sebagai kalimat yang kekal pada anak keturunannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“(Dan Nabi Ibrahim alaihis salam) menjadikannya kalimat yang abadi pada anak keturunannya agar mereka kembali.” (az-Zukhruf: 28)
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengangkat persaksian dengan kalimat la ilaha illallah atas diri-Nya, berikut para malaikat dan para ulama dari kalangan hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Allah mempersaksikan bahwa tidak ada sembahan yang benar melainkan Dia (dan ikut bersaksi) para malaikat dan orang-orang yang diberikan ilmu (bersaksi) dengan penuh keadilan, tidak ada sembahan yang benar melainkan Dia yang Mahamulia dan Mahabijaksana.” (Ali Imran: 18) (Lihat Majmu’atut Tauhid, hlm. 105—167)
Kalimat la ilaha illallah merupakan kalimat yang menunjukkan keikhlasan, persaksian yang benar, dakwah yang benar, dan pernyataan bara` (berlepas diri) dari kesyirikan. Karena kalimat inilah, makhluk diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Baca juga: Hikmah Penciptaan Adam
Karena kalimat ini pula, para nabi dan rasul diutus, serta kitab-kitab diturunkan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sembahan yang benar melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya: 25)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُنَزِّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ بِٱلرُّوحِ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦٓ أَنۡ أَنذِرُوٓاْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱتَّقُونِ
Allah menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, “Maka peringatkan olehmu sekalian bahwa tidak ada sembahan yang benar melainkan Aku, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” (an-Nahl: 2)
Sufyan bin Uyainah berkata, “Tidak ada nikmat yang paling besar yang diberikan kepada seorang hamba daripada Allah subhanahu wa ta’ala mengajari mereka makna la ilaha illallah. Sesungguhnya, kalimat la ilaha illallah bagi penduduk surga, seperti air yang dingin bagi penduduk dunia.” (Kalimatul Ikhlash karya Ibnu Rajab, hlm. 52—53)
Barang siapa mengucapkan kalimat la ilaha illallah, akan terpelihara harta dan darahnya. Barang siapa enggan mengucapkannya, darah dan hartanya halal untuk ditumpahkan dan dirampas. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مَنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barang siapa mengucapkan la ilaha illallah dan ingkar kepada sembahan selain Allah, maka haram hartanya (untuk dirampas) dan darahnya (untuk ditumpahkan); serta hisabnya ada di sisi Allah.” (HR. Muslim)
Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim
Kalimat la ilaha illallah adalah kalimat yang pertama kali dituntut bagi orang kafir ketika dia masuk Islam. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu anhu ke negeri Yaman, beliau berkata,
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah persaksian kepada kalimat la ilaha illallah.”
Dari sinilah kita mengetahui betapa besar kedudukan kalimat la ilaha illallah dalam agama. Kita mengetahui pula pentingnya kalimat la ilaha illallah ini dalam kehidupan. Kalimat la ilaha illallah adalah kewajiban pertama kali atas setiap hamba karena kalimat ini merupakan asas dibangunnya seluruh amalan. (La ilaha illallah Ma’naha wa Makanatuha, hlm. 6—9)
Keutamaan Kalimat La Ilaha Illallah
Kalimat la ilaha illallah memiliki keutamaan yang besar dan kedudukan yang tinggi. Barang siapa mengucapkannya dengan jujur, Allah subhanahu wa ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga. Akan tetapi, barang siapa mengucapkannya dengan penuh kedustaan (secara lahiriah saja), dia adalah munafik. Darah dan hartanya terjaga, tetapi hisabnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Kalimat la ilaha illallah adalah sebuah kalimat yang ringkas, sedikit hurufnya, dan ringan dalam ucapan. Akan tetapi, ia berat dalam timbangan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah,
-
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ …
“Seutama-utama doa adalah doa pada hari Arafah. Sebaik-baik perkataan yang diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah la ilaha illallah ….” (HR. Malik no. 449 dan at-Tirmidzi no. 3509 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma secara marfu’)[1]
-
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Seseorang dari umatku dipanggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu dihamparkan di hadapannya 99 lembaran (kesalahan). Setiap lembar (besarnya) sepanjang mata memandang. Kemudian, dikatakan kepadanya, “Apakah kamu akan mengingkarinya?” Dia berkata, “Tidak, wahai Rabb.”
Dikatakan kepadanya, “Apakah para pencatat kami telah berbuat zalim terhadapmu?” Kemudian, dikatakan kepadanya, “Apakah engkau memiliki kebaikan untuk menandinginya?”
Orang tersebut ketakutan dan mengatakan, “Tidak ada.”
Lalu dikatakan kepadanya, “Kamu memiliki kebaikan-kebaikan di sisi Kami dan tidak ada kezaliman atasmu.”
Kemudian, dikeluarkan sebuah kartu yang di dalamnya terdapat persaksian terhadap kalimat la ilaha illallah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Dia berkata, “Wahai Rabbku, apa arti kartu ini dibandingkan dengan hamparan lembar (dosa-dosaku) ini?”
Dikatakan kepadanya, “Kamu tidak akan dizalimi.”
Lembaran-lembaran (catatan kesalahan) itu lalu diletakkan pada sebuah daun timbangan dan kartu itu dalam daun timbangan lainnya. Terangkatlah lembaran-lembaran tersebut dan kartu itu menjadi berat.”[2]
Baca juga: Pembagian Kitab Catatan Amal
Ibnu Rajab dalam kitabnya Kalimatul Ikhlas (hlm. 54—66) menyebutkan banyaknya keutamaan kalimat la ilaha illallah.
“Kalimat la ilaha illallah merupakan harga surga. Barang siapa di akhir hayatnya (mengucapkan) kalimat la ilaha illallah, dia akan masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Kalimat la ilaha illallah ini akan membuahkan pengampunan dan kebaikan yang paling tinggi. Selain itu, kalimat ini akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan, akan memperbarui iman yang tumbuh di dalam hati, dan akan menghapus catatan-catatan dosa. Kalimat la ilaha illallah akan membakar hijab-hijab sehingga seseorang bisa sampai kepada Allah.
Orang-orang yang mengucapkan kalimat la ilaha illallah inilah yang mendapat pembenaran dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalimat ini merupakan ucapan para nabi yang paling utama dan zikir yang paling afdal. Ia merupakan amalan yang paling utama dan paling banyak kelipatannya, sebanding dengan membebaskan budak-budak. Ia adalah sebuah kalimat yang akan menjaga seseorang dari setan, memberikan rasa aman dari kengerian kubur dan kengerian Padang Mahsyar. Kalimat la ilaha illallah merupakan syiar orang-orang yang beriman saat mereka dibangkitkan dari kubur mereka.
Termasuk keutamaan kalimat la ilaha illallah adalah para pengucapnya dibukakan pintu surga yang delapan. Dia dipersilakan masuk dari pintu mana pun yang dia inginkan. Keutamaan la ilaha illallah yang lain adalah jika pengucapnya masuk ke dalam neraka karena melanggar hak-hak kalimat ini, mereka mesti akan keluar darinya.”
Makna Kalimat La Ilaha Illallah
Mengapa kita harus membahas lagi kalimat la ilaha illallah? Bukankah kita telah mengucapkannya setiap saat? Kita juga meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang wajib disembah? Lantas, apa faedah dari pembahasan ini?
Pembaca yang budiman, pertanyaan seperti ini kerap kali muncul karena beberapa hal. Di antaranya,
- Kejahilan tentang kandungan kalimat la ilaha illallah, maknanya, berbagai konsekuensinya, dan segala hal yang akan membatalkannya.
- Ketidaktahuan tentang dasar dan tujuan dakwah para nabi dan rasul; yaitu menyerukan kalimat la ilaha illallah.
- Tidak melihat fenomena kaum muslimin di penjuru dunia; mayoritas mereka melanggar makna kalimat la ilaha illallah atau melanggar hak-haknya.
- Dia sendiri tidak bisa memetik kandungan kalimat la ilaha illallah dalam hidupnya.
- Berkuasanya hawa nafsu dan penyimpangan pada dirinya, sehingga merasa terganggu saat mendengar seruan kepada kalimat la ilaha illallah.
Baca juga: Bahaya Laten Penyimpangan Akidah
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin (hlm. 61) mengatakan,
“Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ‘Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mempersaksikan kalimat la ilaha illallah.’ Maksudnya, mereka mengucapkan kalimat la ilaha illallah, tetapi jahil/tidak tahu makna kalimat tersebut, yaitu mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan segala bentuk penyembahan kepada selain-Nya.
Oleh karena itu, ucapan la ilaha illallah mereka tidak memberikan manfaat kepada mereka sedikit pun karena kejahilan mereka tentang makna kalimat ini. Situasi ini telah menimpa kebanyakan umat Islam saat ini. Mereka mengucapkannya, tetapi pada saat yang sama, mereka menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan selain-Nya, seperti orang yang telah mati, makhluk gaib, thagut-thagut, dan monumen-monumen.
Mereka melakukan perbuatan yang membatalkan kalimat la ilaha illallah dan menetapkan apa yang dinafikan olehnya, yaitu segala bentuk kesyirikan baik secara iktikad (keyakinan), ucapan, maupun amal mereka. Perbuatan yang mereka lakukan menafikan kandungan kalimat la ilaha illallah, yaitu keharusan mengikhlaskan peribadatan hanya untuk Allah. Mereka menyangka bahwa makna la ilaha illallah hanyalah tidak ada yang sanggup menciptakan selain Allah (padahal maknanya lebih luas dari itu). Ini merupakan sikap membebek kepada ahli kalam dari kalangan Asy’ariyah dan selain mereka.
Baca juga: Tauhid
Padahal (makna yang mereka yakini itu) merupakan tauhid rububiyah yang diyakini pula oleh kaum musyrikin. Namun, keyakinan ini tidaklah memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُل لِّمَنِ ٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٤ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٨٥ قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ ٨٦ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٨٧ قُلۡ مَنۢ بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيۡءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيۡهِ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٨ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ فَأَنَّىٰ تُسۡحَرُونَ ٨٩
Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka (kaum musyrikin, -red.) akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”
Katakanlah, “Siapakah Yang empunya langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84—89)
قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah, “Siapakah yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
Baca juga: Mengenal Allah
Dalam memaknai kalimat la ilaha illallah, manusia terbagi menjadi tiga golongan.
- Orang-orang yang bersikap melampaui batas (ifrath) (dengan memasukkan sesuatu yang bukan kandungan kalimat itu sebagai maknanya).
Akibatnya, mereka tidak sanggup mengamalkan isi kandungan kalimat la ilaha illallah karena terjatuh pada sikap memberatkan diri dalam beragama. Hal ini seperti yang terjadi pada di kalangan kaum Sufi.
- Orang-orang yang bersikap meremehkan (tafrith) makna la ilaha illallah.
Mereka memaknainya sebatas tauhid rububiyah. Hal ini seperti makna la ilaha illallah menurut ahli kalam dan yang semazhab dengan mereka.
- Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka adalah golongan wasath (tengah-tengah) antara dua golongan di atas.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, makna kalimat syahadat la ilaha illallah adalah tidak ada sembahan yang diibadahi dengan benar selain Allah.
Apakah konsekuensi kalimat la ilaha illallah ini? Insya Allah bisa dibaca pada artikel selanjutnya.
Catatan Kaki:
[1] Syaikh al-Albani menilainya hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2837, al-Misykat no. 2598, at-Ta’liq ar-Raghib (2/242), dan ash-Shahihah no. 1503.
[2] HR. Ahmad no. 6699, at-Tirmidzi no. 2563, Ibnu Majah no. 4290, dan al-Hakim, dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3469, al-Misykat no. 5559, ash-Shahihah no. 135, dan at-Ta’liq ar-Raghib 2/240—241.