Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakan Valentine Day?

Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Valentine Day (Hari Kasih Sayang) adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Jadi, apa yang menghalangi untuk merayakannya?

Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:

  1. Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hari raya merupakan salah satu syiar agama yang agung. Dalam Islam tidak ada hari raya kecuali hari Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Urusan ibadah harus ada dalilnya. Seseorang tidak boleh membuat hari raya sendiri yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam.

Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang atau lainnya yang diada-adakan, adalah perbuatan mengada-adakan (bidah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang telah menetapkan syariat.

 

Baca juga:

Mitos Valentine Day

 

  1. Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi Paganis, menyerupai kaum Nasrani yang menirunya dalam keadaan perayaan ini tidak termasuk (amalan) agama mereka.

Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nasrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, lantas bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka tiru dari para penyembah berhala?

Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir—baik penyembah berhala maupun ahli kitab—dalam hal akidah, ibadah, dan adat yang menjadi kebiasaan, akhlak, serta perilaku mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105)

أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِيرٌ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16)

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad 3/50 dan Abu Dawud no. 5021)

Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam urusan agama mereka—termasuk di antaranya adalah Hari Kasih Sayang—lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Sebab, agama mereka tidak lepas dari tiga hal: yang diada-adakan, yang telah diubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Jadi, tidak ada sesuatu pun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Baca juga:

Tasyabbuh Bahaya Laten di Tengah Umat

  1. Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam.

Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak menzaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik—apabila masih punya hubungan silaturahim—dengan syarat dia tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)

Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala justru memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya,

لَّا تَجِدُ قَوۡمًا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta, dan loyalitas di dalam batin. Demikian pula kecintaan yang ada dalam batin akan melahirkan sikap menyerupai.” (al-Iqtidha, 1/490)

 

Baca juga:

Yahudi dan Nashrani adalah Orang-Orang Kafir

 

  1. Kasih sayang yang dimaksud dalam perayaan ini sejak dihidupkan oleh kaum Nasrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran, di luar hubungan pernikahan.

Buahnya adalah tersebarnya zina dan kekejian, yang karenanya pemuka agama Nasrani pada waktu itu menentang dan melarangnya.

Kebanyakan pemuda muslimin merayakannya karena menuruti syahwat, bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nasrani. Namun, hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam salah satu urusan agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya yang merupakan pintu menuju zina.

Sikap yang Seharusnya Ditempuh Seorang Muslim

  1. Tidak ikut merayakannya, menyertai orang yang merayakannya, atau menghadirinya.

  2. Tidak membantu/mendukung orang kafir dalam perayaan mereka dengan memberikan hadiah, menyediakan peralatan untuk perayaan itu, syiar-syiarnya, atau meminjaminya.

  3. Tidak membantu kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakannya. Dia justru wajib mengingkari mereka karena kaum muslimin yang merayakan hari raya orang kafir adalah perbuatan mungkar yang harus diingkari.

Berdasarkan hal ini, kaum muslimin tidak boleh pula menjual bingkisan (pernak-pernik) bertema Hari Kasih Sayang, baik pakaian tertentu, mawar merah, kartu ucapan selamat, maupun lainnya. Sebab, memperjualbelikannya termasuk membantu kemungkaran. Demikian juga tidak boleh menerima hadiah Hari Kasih Sayang ketika diberi. Sebab, menerimanya mengandung makna persetujuan terhadap perayaan ini.

  1. Tidak memberikan ucapan selamat Hari Kasih Sayang karena hari itu bukanlah hari raya kaum muslimin. Apabila seorang muslim diberi ucapan selamat Hari Kasih Sayang, dia tidak boleh membalasnya.

  2. Menjelaskan hakikat perayaan ini dan hari-hari raya orang kafir yang semisalnya kepada kaum muslimin yang tertipu dengannya.

(Diringkas dari ‘Idul Hubb, Qishshatuhu, Sya’airuhu, Hukmuhu)

hari kasih sayangtasyabbuhvalentine