Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing

Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mewasiati umatnya agar berpegang dengan kuat pada ajaran (sunnah) beliau. Namun, kini umatnya lebih banyak yang meninggalkan ajaran beliau, meski azab yang keras dari Allah subhanahu wa ta’ala telah menanti.

Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap kita mendengarnya, bahkan sering pula mengucapkannya. As-Sunnah (petunjuk/ajaran Nabi) adalah sesuatu yang menjadi landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan As-Sunnah. Kita bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga:

Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar

Namun, jika kita menengok realitas yang ada, apa yang dilakukan kaum muslimin dalam mengagungkan sunnah Nabi tampaknya sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan, keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di antara mereka ada yang menolak dengan terang-terangan As-Sunnah yang tidak mutawatir[1] dan mengatakan hadits ahad bukan hujah (dalil) dalam masalah akidah.

Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi secara total dengan berkedok mengikuti Al-Qur’an saja. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin dipisahkan dari As-Sunnah. Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi, yaitu sunnahnya.

Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena dinilai tidak sesuai dengan akal.

Baca juga:

Kedudukan Akal dalam Islam

Bentuk yang lebih parah dari ‘sekadar’ menolak adalah mengolok-olok As-Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya. Sangat disayangkan, sikap-sikap seperti ini justru kadang muncul dari orang-orang yang terjun dalam kancah dakwah, sementara lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan As-Sunnah.

Baca juga:

Hukum Mengolok-Olok Sunnah Nabi

Mengagungkan As-Sunnah adalah perkara yang besar, bukan sekadar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktik dalam kehidupan. Namun, kini keadaan justru sebaliknya, banyak orang menolaknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan akan datangnya keadaan ini,

لَأُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ، فَيَقُوْلُ: لَا أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ

“Sungguh-sungguh, aku akan dapati salah seorang dari kalian bertelekan (tiduran) di atas dipannya, (lalu) datang kepadanya salah satu perintahku atau salah satu laranganku lalu dia mengatakan, ‘Saya tidak tahu itu. Apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah, kami ikuti’.” (Sahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dari Abu Rafi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 7172)

Maksudnya, mereka menolak Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan alasan hanya mengikuti Al-Qur’an.

Baca juga:

Madzhab Tafsir dan Konsekuensinya

Makna Sunnah Nabi

Yang dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah petunjuk dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di dalamnya tercakup perkara-perkara yang hukumnya wajib ataupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah ataupun ibadah, dan yang berkaitan dengan muamalah ataupun akhlak.

Para ulama Salaf mengatakan bahwa As-Sunnah artinya mengamalkan Al-Qur’an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang saleh serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka. (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428; Ta’zhimus Sunnah, hlm. 18)

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As-Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh; hal itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifahnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah makna As-Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)

Itulah yang dimaksud dalam pembahasan ini. Jadi, kita tidak terpaku pada istilah sunnah menurut ahli fikih atau sunnah menurut ahli ushul fikih atau sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup itu semua.
Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi shalllallahu alaihi wa sallam,

علَيْكًم بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَهُ

“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin…” (Sahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’, no. 2549)

Perintah Memuliakan Sunnah

  • Perintah dalam Al-Qur’an

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ

“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian, ambillah; sedangkan apa yang beliau larang darinya, berhentilah.” (al-Hasyr: 7)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Perintah ini mencakup prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, baik lahir maupun batin. Perintah ini juga bermakna bahwa yang dibawa oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam harus diterima oleh setiap hamba, dia tidak boleh menyelisihinya. Apa yang disebut oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam adalah seperti apa yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada alasan bagi seorang pun untuk meninggalkannya. Tidak boleh pula seseorang mendahulukan ucapan siapa pun atas ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 851)

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ

“Barang siapa menaati Rasul, berarti ia menaati Allah.” (an-Nisa: 80)

Maksudnya, setiap orang yang menaati perintah dan larangan Rasul shallallahu alaihi wa sallam berarti ia menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ini berarti pula bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wasallam terlindungi dari kesalahan, karena Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk menaatinya secara mutlak. Seandainya beliau tidak maksum (terjaga dari kesalahan) dalam hal yang beliau sampaikan dari Allah subahanhu wa ta’ala, tentu Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 189, dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ

“Tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Ayat ini umum meliputi seluruh perkara. Artinya, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum sebuah perkara, tidak boleh bagi seorang pun menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide, atau pendapat bagi siapa pun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)

Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni kita wajib mengambilnya. Ini merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Berikutnya, kita harus menjadikan As-Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah dan melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam sebagai penjelas Al-Qur’an. Allah berfirman,

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ

“Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44)

  • Perintah dalam Hadits

Selanjutnya, kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti As-Sunnah. Di antaranya,

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلُأمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat mengena. Hati menjadi bergetar, air mata pun berderai karenanya. Kami mengatakan, ’Wahai Rasullullah, seolah-olah ini nasihat perpisahan, maka berikan wasiat kepada kami.’

Beliau bersabda, ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sebab, sesungguhnya barang siapa hidup sepeninggalku, ia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka dari itu, kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Sahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’, no. 2549)

Demikian wasiat penting dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabat. Di antaranya ialah perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Bahkan, beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat.

Baca juga:

Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah

Pada masa sahabat saja, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah berwasiat demikian. Lebih-lebih pada zaman sepeninggal beliau shallallahu alaihi wa sallam, yang kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsip.

Beberapa orang datang kepada istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam menanyakan amalan yang dilakukan oleh beliau saat sendirian. Setelah mendengar jawabannya, mereka pun menganggap bahwa diri mereka sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu, masing-masing menetapkan azam (tekad)-nya.

Salah seorang dari mereka berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita.” Yang lain mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Yang lain mengatakan, “Saya tidak akan tidur di kasur.”

Sampailah berita itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun berpidato dengan memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya, lantas berkata,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا؟ لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Mengapa ada orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian? (Padahal) saya bangun shalat malam dan saya juga tidur. Saya puasa dan saya terkadang tidak berpuasa. Saya juga menikahi wanita. Barang siapa tidak suka dengan sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Sahih, HR. Muslim, 9/179)

Coba kita amati kisah ini. Beberapa sahabat datang dengan maksud baik. Mereka lalu berazam untuk meninggalkan beberapa kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah sehingga bisa mendekati amalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun, niatan itu justru mengakibatkan ditinggalkannya beberapa sunnah, petunjuk, dan jalan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, yaitu menikah, memberikan hak jasmani dengan tidak puasa setiap hari, dan tidak bangun sepanjang malam walaupun untuk ibadah.

Maka dari itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganggap hal itu tidak baik sehingga mengatakan, “Barang siapa tidak suka dengan sunnahku, dia bukan dari golonganku.”

Jadi, sekadar niat baik saja tidak cukup. Ia harus disertai dengan cara yang baik pula. Kalau keadaan mereka saja seperti ini, lantas bagaimana halnya dengan orang yang sengaja meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Bagaimana lagi dengan orang yang menghina Sunnah Nabi atau bahkan mengingkarinya?!

Baca juga:

Syarat Diterimanya Amal

Demikian ayat dan hadits mendudukkan Sunnah Nabi pada tingkat yang sangat tinggi. Oleh karena itu, kita dapati para sahabat Nabi benar-benar menghargai dan menjadikannya sebagai panutan hidup. Bahkan, mereka sangat takut kalua menyelisihi As-Sunnah sehingga menyebabkan kesesatan mereka dari jalan yang lurus.

Kita dapati Abu Bakr ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali saya pasti melakukannya juga. Saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya, saya menjadi sesat.”

Wahai saudaraku….

Orang yang paling jujur (Abu Bakr) mengkhawatirkan dirinya tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi shallallahu alaihi wa salllam. Bagaimana jadinya dengan sebuah zaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi shallallahu ‘alihi wasallam mereka dan perintah-perintahnya? Bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya?

Kami memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththah rahimahullah, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat hijriah, dalam kitab al-Ibanah, 1/246, (lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 24). Lantas, bagaimana jika beliau hidup di zaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?

Seorang tabiin bernama Abu Qilabah rahimahullah mengatakan,

“Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As-Sunnah lalu dia mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah,’ ketahuilah bahwa dia sesat.” (Thabaqat Ibni Sa’d, 7/184; Ta’zhimus Sunnah, hlm. 25)

Demikian pula yang enggan menerima Sunnah Nabi karena lebih cenderung kepada pendapat seseorang, maka dia berada dalam bahaya besar. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ketika seseorang mendatanginya, seolah-olah mengadu Sunnah Nabi dengan pendapat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Abdulllah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Hampir-hampir turun kepada kalian bebatuan dari langit. Aku katakan Rasullullah berkata demikian, dan kalian katakan Abu Bakar dan Umar berkata demikian?!” (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan, lihat Tahqiq Fathul Majid, hlm. 451 oleh Walid al-Furayyan)

Maka dari itu, sangat mengherankan kalau seseorang mengetahui As-Sunnah lantas meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain. Hal ini sebagaimana diingatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan kesahihannya, lalu pergi kepada pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, -red.). Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

‘Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dari tertimpa fitnah atau tertimpa azab yang pedih.’ (an-Nur: 63)

Tahukah kalian, apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.” (Fathul Majid, hlm. 466)

Demikian pula Imam asy-Syafii rahimahullah. Beliau pernah ditanya tentang sebuah masalah, maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi shallallahu ‘alaih wasallam.

Si penanya mengatakan, “Wahai Imam asy-Syafii, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?”

Beliau langsung gemetar lalu mengatakan, “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’zhimus Sunnah, hlm. 28)

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani memakainya -red)? Saya meriwayatkan hadits dari nabi lalu saya tidak mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, hal. 6)

Demikian tinggi nilai Sunnah Nabi dalam dada mereka sehingga rasanya sangat mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan, tidak terbayang ada seorang muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang telah diketahui.

Pahala Bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi

Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya, Allah subahanhu wa ta’ala menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan,

إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، الصَّبْرُ فِيْهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ، لِعَامِلٍ فِيْهِمْ  مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلًا يَعْمَلُوْنَ مِثْلَ عَمَلِهِ.

وَفِي زِيَادَةٍ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Kesabaran pada hari itu seperti menggenggam bara api. Orang yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.”

Dalam tambahan riwayat:

Seseorang bertanya, “Lima puluh dari mereka wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Pahala lima puluh dari kalian.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi; lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 494, dan kitab al-Qabidhuna ‘Alal Jamr)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَسيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

“Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali pada keasingan sebagaimana awalnya, maka bergembiralah bagi orang-orang yang asing.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Orang yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Sahih, HR. Abu Amr ad-Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 1273)

Baca juga:

Orang-Orang yang Terasing

Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala menjamin hidayah bagi orang-orang yang mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Allah berfirman,

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ

“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (an-Nur: 54)

Yang dimaksud hidayah dalam ayat di atas ialah hidayah menempuh jalan yang lurus, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Sementara itu, tidak ada jalan menuju hidayah kecuali dengan menaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tanpa hal itu, maka hidayah tidak mungkin diraih, mustahil. (Taisir al-Karim ar-rahman, hlm. 572—573)

Baca juga:

Sebab-sebab Mendapatkan Hidayah

Semakna dengan ayat itu, hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi,

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَ لِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

“Sesungguhnya, setiap amalan itu ada masa giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya. Barang siapa yang jenuhnya itu kepada Sunnahku, berarti ia mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang masa jenuhnya itu kepada selainnya, ia binasa.” (Sahih, HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’, no. 2152)

Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi, dia tetap berada di atas keistiqamahan. Sebaliknya, jika tidak demikian, berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus. Ibnu Umar radhiyallahu anhuma mengatakan, “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” (Riwayat al-Baihaqi, dalam al-Madkhal, no. 220; lihat Miftahul Jannah, no. 197)

Urwah rahimahullah mengatakan, “Mengikuti Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat al-Baihaqi, dalam al-Madkhal, no. 221; Miftahul Jannah, no. 198)

Seorang tabiin bernama Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan, “Dahulu mereka mengatakan, ‘Selama seseorang berada di atas jejak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat al-Baihaqi, dalam al-Madkhal, no. 230; Miftahul Jannah, no. 200)


[1] Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka bsepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta. Adapun hadits ahad adalah yang selain itu. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih harus diterima dan diamalkan. (lihat an-Nukat ‘ala Nuzhhatin Nazhar, hlm. 53—57)

Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.

golongan yang selamatkomitmen di atas sunnahmakna sunnahmakna sunnah nabimengagungkan sunnahsunnah nabi