Mengingkari Kemungkaran Mendulang Berkah dalam Meneladani Para Rasul

Selalu Salah, Tabiat Manusia

Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Allah subhanahu wa ta’ala pula yang menyusun tubuh manusia beserta organ-organ yang saling menopang dalam kesempurnaan penciptaan tersebut. Setiap organ memiliki tugas yang berbeda. Organ yang selalu saling menolong, bahu-membahu tanpa pamrih, tidak ada keluhan, atau menolak permintaan organ yang lain. Itulah salah satu sisi kesempurnaan penciptaan manusia.

Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala telah membedakan manusia dengan makhluk yang lain, yaitu manusia dianugerahi akal. Dengannya, mereka mengetahui segala kemaslahatan hidup dan yang membahayakan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menuntut mereka untuk menjaga, melindungi, dan berusaha ke arah yang bermanfaat serta meninggalkan hal yang bermudarat. Karena dengan akal, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan pengajaran wahyu dan membebankan pengamalan syariat kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih kebaikan atau keburukan, jalan kebenaran atau kebatilan, serta petunjuk atau kesesatan.

Kebebasan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka penuh dengan kasih sayang-Nya. Mereka tidak lepas dari bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia subhanahu wa ta’ala mengutus hamba-hamba pilihan-Nya kepada manusia untuk melakukan perbaikan terhadap segala bentuk kerusakan. Namun, ada manusia yang dikhawatirkan oleh malaikat di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala:

Dan ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Rabb berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.” (al-Baqarah: 30)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ucapan malaikat ini bukan penentangan terhadap kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan pula wujud hasad terhadap bani Adam sebagaimana yang dipahami oleh sebagian ahli tafsir. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat para malaikat bahwa mereka ‘tidak akan mendahului Allah subhanahu wa ta’ala dengan ucapan apa pun.’ Artinya, mereka tidak meminta sesuatu yang tidak diizinkan tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk yang akan menghuni dunia ini. Qatadah rahimahullah berkata, ‘Telah ada dalam ilmu mereka bahwa manusia akan melakukan perusakan di muka bumi. Oleh karena itu, mereka berkata, ‘Engkau akan menjadikan mereka (khalifah) di muka bumi?’ Ini adalah sebuah pertanyaan untuk mengetahui hikmah apa di balik semua ini.
Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, apa hikmah penciptaan mereka? Padahal sebagian mereka ada yang melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Jika hikmahnya adalah agar mereka beribadah kepada-Mu, kami pun telah bertasbih kepada-Mu dan menyucikan-Mu. Kami shalat menghadap-Mu dan tidak pernah terjadi sedikit pun (perusakan dan pertumpahan darah) seperti itu. Apakah kekurangan diri kami?’

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjawab pertanyaan mereka, ‘Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.’ Maknanya, Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui maslahat yang kuat dalam penciptaan makhluk ini meskipun memiliki sifat merusak sebagaimana yang disebutkan oleh malaikat. Sebuah hikmah yang malaikat tidak mengetahuinya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan sebagian mereka sebagai nabi, lalu mengutus para rasul ke tengah-tengah mereka, dan di kalangan mereka juga ada shiddiqun (orang-orang yang jujur), para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, orang-orang baik, orang-orang yang didekatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ulama, orang-orang yang beramal, orang-orang yang khusyuk, orang-orang yang mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, dan orang-orang yang mengikuti para rasul. Shalawat dan salam atas mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/216)

Kerusakan yang dilakukan oleh mereka di muka bumi ini bermacam-macam bentuknya. Semuanya kembali kepada satu arah, yaitu bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Abu Aliyah rahimahullah berkata, “Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala berarti melakukan kerusakan karena kebaikan dunia dan langit ini adalah dengan ketaatan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Jangan kalian melakukan kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki’, menurut kebanyakan ahli tafsir, maknanya adalah jangan kalian melakukan kerusakan padanya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.”

Kemudian beliau mengatakan, “Kesimpulannya, kesyirikan dan berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, beribadah kepada selain-Nya, atau menaati selain Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan yang paling besar di muka bumi.” (Majmu’ Fatawa 15/24)

Di samping kerusakan yang akan diperbuat, manusia juga banyak melakukan kesalahan dan kekeliruan. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan di dalam haditsnya:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap bani Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Misykat no. 2341)

Perbaikan Setelah Kerusakan

Perusakan di muka bumi terus bergulir dengan bermacam-macam bentuk dan model. Semuanya bermuara pada satu hal, yaitu menolak segala bentuk perbaikan, dengan nama apa pun. Artinya, menolak diutusnya para rasul dan menolak undang-undang hidup yang dibawa oleh para rasul tersebut. Menurut mereka, Al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjadi rujukan tidak perlu dihiraukan. Semua ini tentu akan berdampak pada kehidupan yang celaka dan kebinasaan jika tidak segera kembali kepada kebenaran yang dibawa. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperbaiki dunia ini dengan diutusnya para rasul yang ditutup oleh nabi kita, Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menurunkan kitab-kitab dan shuhuf (lembaran-lembaran) yang ditutup oleh kitab Al-Qur’an.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Menyeru untuk taat kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala setelah Dia memperbaiki dunia ini dengan mengutus para rasul, menjelaskan syariat dan seruan menuju ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, adalah salah satu sifat orang yang merusak.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memperbaiki dunia ini dengan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, agamanya, dan perintah untuk mentauhidkan-Nya, serta melarang untuk merusak dunia ini dengan menyekutukan-Nya dan menyelisihi Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa yang mempelajari kondisi alam ini, dia akan menemukan bahwa sebab segala bentuk kebaikan di muka bumi adalah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, menaati-Nya, dan menaati Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun segala kejahatan di alam ini: fitnah, bala, paceklik, dikuasai musuh, dan sebagainya, sebabnya adalah penyelisihan terhadap Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seruan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa mendalaminya secara benar niscaya dia akan menemukan semua hal ini, baik pada dirinya maupun orang lain. Tidak ada daya, upaya, dan kekuatan melainkan milik Allah subhanahu wa ta’ala.” (Majmu’ Fatawa 15/24)

Penolakan hamba terhadap upaya perbaikan dunia ini oleh Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar nyata dan jelas. Bahkan, orang-orang yang diutus melakukan perbaikan dituduh sebagai perusak. Ironinya, di antara mereka ada yang dibunuh, seperti Nabi Yahya ‘alaihissalam dan Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Tindakan anarki yang dilakukan oleh umat dengan membunuh utusan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut sesungguhnya termasuk gerakan cinta kemungkaran dan benci kebaikan kendatipun mereka mengistilahkannya sebagai upaya mempertahankan kebudayaan/ajaran nenek moyang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan ucapan kaum Nabi Nuh kepada beliau ‘alaihissalam:

Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” Nuh menjawab, “Wahai kaumku, tidak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku hanyalah utusan dari Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 60—61)

Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan pula ucapan kaum ‘Ad kepada Nabi Hud ‘alaihissalam:

Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta.” Hud berkata, “Wahai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikit pun, tetapi aku ini adalah utusan dari Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 66—67)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengisahkan ucapan kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam:

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menjadi rasul) oleh Rabb-nya?” (al-A’raf: 75)

Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan ucapan kaum Nabi Luth ‘alaihissalam:

Dan jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.” (al-A’raf: 82)

Allah subhanahu wa ta’ala pun mengisahkan ucapan penduduk Madyan kepada Nabi Syu’aib ‘alaihissalam:

Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu, wahai Syu’aib, dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami.” (al-A’raf: 88)

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan ucapan Fira’un tentang Nabi Musa ‘alaihissalam:

Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Musa adalah ahli sihir yang pandai, yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu.” (Fir’aun berkata), “Maka apakah yang kamu anjurkan?” Pemuka-pemuka itu menjawab, “Beri tangguhlah dia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir).” (al-A’raf: 109—111)

Dan pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) berkata, “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (al-A’raf: 127)

Kemungkaran yang Dihadapi oleh Para Nabi dan Rasul

Perjalanan hidup setiap hamba ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang telah mengatur ragam kehidupan mereka. Ada yang baik dan ada yang jelek. Ada yang mendapatkan petunjuk dan ada yang tidak mendapatkannya. Ada yang beriman dan ada yang kafir. Ada yang memperbaiki dan ada pula yang merusak. Semua ini ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (an-Nahl: 93)

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus para rasul ke tengah kaum yang membuat kerusakan untuk memperbaiki perbuatan mereka. Tidak ada tingkat dan bentuk kerusakan terbesar yang mereka hadapi selain menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah muara segala bentuk kerusakan. Bahkan, bermunculannya para penguasa yang diktator pun tidak luput darinya, sampai pun dia mengaku diri sebagai Rabb semesta alam. Semua ini menunjukkan besarnya kerusakan syirik yang tidak hanya menimpa rakyat jelata, namun juga para penguasa. Pengutusan para rasul ke tengah mereka memiliki misi yang sama yaitu:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu!” Di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (an-Nahl: 36)

Para Rasul Memulai Dakwah

Dari ayat di atas, jelas bahwa para rasul memulai pemberantasan dan pengingkaran terhadap yang mungkar dari yang terbesar kemungkarannya, yaitu kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dalam kitab beliau al-Ushulu ats-Tsalatsah menjelaskan, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah mentauhidkan-Nya, yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam peribadahan. Larangan Allah subhanahu wa ta’ala yang terbesar adalah menyekutukan-Nya, yaitu berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.”

Mendulang Berkah dari Para Rasul Menjadi Keberkahan di Masa Kini
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke tengah-tengah kaum yang tatanan kehidupan mereka telah hancur. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka butuhkan. Siang malam, para utusan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut menyampaikan amanat risalah tanpa dihinggapi rasa bosan dan putus asa. Mereka yakin bahwa hidayah ada di tangan Dzat yang mengutus mereka. Mereka hanya diperintahkan untuk berusaha menyampaikan segala apa yang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka bersabar menghadapi segala gangguan di jalan dakwah.

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) atas mereka.” (al-Ahqaf: 35)

Setiap langkah yang mereka lakukan dalam menepis kemungkaran tidak keluar dari koridor dan jalan yang telah dipancangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menjalani dakwah di atas wahyu ilahi sehingga berhasil mengubah dan menyelamatkan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah tugas besar tersebut mereka emban, jelaslah siapa yang berada dalam kecelakaan dan yang selamat.

Mendulang keberkahan dari usaha mereka itu tergambar dalam beberapa hal ketika melawan kemungkaran, di antaranya: mengikhlaskan niat semata-mata mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, menegakkannya di atas ilmu, meneladani para rasul, bersabar di jalannya, tidak bosan melaksanakannya, bersemangat ketika memikulnya, percaya akan bantuan dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala, serta tidak berputus asa.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman