Menyelisihi Kaum Kafir

Berikut adalah ringkasan tulisan (dengan perubahan seperlunya) yang diambil dari Kitab al-Mukhtarat min Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

Melakukan penyembelihan di tempat perayaan hari raya (‘Ied) orang kafir merupakan perkara terlarang. Lebih-lebih jika meniru ‘Ied tersebut berikut amalan yang dikerjakan di dalamnya. ‘Ied (hari raya) sendiri adalah nama untuk perbuatan berkumpul secara beramai-ramai yang berulang secara sengaja baik itu setiap tahun, pekan, atau setiap bulan, dan semisalnya. – Setiap kata dari bahasa ‘ajam (bukan Arab) perkaranya lebih dekat (untuk dilarang). Orang pada umumnya menggunakan bahasa ‘ajam karena lawan bicaranya memang bukan orang Arab atau menggunakan kata ‘ajam dengan maksud untuk memudahkan dalam memahami pengertian katanya.

Namun membiasakan diri berbicara tidak memakai bahasa Arab (yang merupakan syi’ar Islam dan bahasa al-Qur’an) sehingga menjadi kebiasaan di suatu kota dan penduduknya, di tengah anggota masyarakat, pembicaraan dengan temannya, percakapan di pasar, di antara para penguasa, di antara anggota dewan, dan kepada ahli fikih, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan perkara makruh.

– Para nabi tidak menentukan ibadah-ibadah kecuali dengan hilal, sedangkan Yahudi dan Nasrani mengubah syariat.

– Sesungguhnya tidaklah aku (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menyebutkan kemungkaran-kemungkaran dalam agama mereka (ahlul kitab) kecuali karena aku melihat sebagian dari kaum muslimin melakukannya, dalam keadaan mayoritas muslimin tidak mengetahui bahwa kemungkarankemungkaran itu merupakan bagian dari agama Nasrani yang telah dilaknat agama dan pemeluknya.

– Segala sesuatu yang diagungkan dengan cara yang batil baik berupa waktu, tempat, batu, pohon ataupun bangunan tertentu, wajib dihinakan. Sebagaimana patung-patung yang disembah, yang bila tidak diibadahi tentu keadaannya tidak berbeda dengan batu-batu lainnya.

– Bila meniru (tasyabbuh) dalam perkara kecil saja membawa kepada kejelekan dan diharamkan, lebih-lebih jika meniru sesuatu yang menyampaikan kepada perbuatan kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti tabarruk dengan salib, baptis, ataupun ucapan ‘Yang disembah satu tetapi jalannya berbeda-beda’. Selain itu, ucapan serta perbuatan sejenis yang mengandung pernyataan bahwa syariat Yahudi atau Nasrani yang telah diganti dan dihapus itu akan menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala; atau mengandung istihsan (anggapan baik) terhadap sebagian yang ada di dalam syariat mereka yang sebenarnya perkara tersebut menyelisihi agama Allah subhanahu wa ta’ala. Lebih-lebih lagi bila beragama dengan perkara-perkara semacam ini atau perbuatan lainnya yang merupakan kekufuran terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul- Nya, terhadap al-Qur’an dan Islam, tanpa ada perselisihan di antara umat yang adil ini.

– Tasyabbuh (meniru orang kafir) secara umum akan mengantarkan kepada kekafiran, kemaksiatan, bahkan keduanya sekaligus. Tidak ada kebaikan sedikit pun dalam hal-hal yang mengantarkan kepada kekufuran dan kemaksiatan ini. Segala sesuatu yang menyampaikan kepada kedua hal tersebut diharamkan.

– Jika seorang hamba melakukan amalan selain yang disyariatkan berupa perkara tasyabbuh ini, semakin sedikitlah keinginannya kepada perkara yang disyariatkan. Semakin sedikit manfaat yang dapat dipetik dari amalan yang syar’i tersebut sesuai kadar perkara yang dia ambil gantinya dari selain yang syar’i.

Berbeda halnya dengan orang yang memalingkan seluruh keinginannya dan kepentingannya kepada yang disyariatkan. Kecintaannya kepada syariat menjadi besar, demikian juga manfaat yang dia dapatkan. Dengan ini menjadi sempurnalah agama dan Islamnya. Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa contoh, lalu mengatakan, oleh karena itu terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ نَزَعَ اللهُ عَنْهُمْ مِنَ السُّنَّةِ مَثْلَهَا

“Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah, kecuali akan Allah subhanahu wa ta’ala cabut dari mereka sunnah yang semisalnya.” (HR. Ahmad)

Beliau menyebutkan beberapa sisi diharamkannya tasyabbuh bil kuffar secara pengamatan (hlm. 207—222), kami sebutkan secara global:

  1. Hari-hari raya (Ied) adalah bagian dari syariat dan manhaj (jalan) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentangnya,

لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ

“Setiap umat di antara kamu Kami jadikan syariat-syariat dan manhaj-manhaj.” (al-Maidah: 48)

Tidak ada perbedaan antara ikut serta dengan mereka di dalam ‘Ied dengan ikut serta dengan mereka dalam hal manhaj (agama).

  1. Apa yang mereka lakukan di hari raya-hari raya mereka adalah kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena bisa jadi, apa yang mereka lakukan itu merupakan perkara baru yang diadaadakan ataupun sesuatu yang telah dihapus. Paling bagusnya keadaan amal mereka—dan tidak ada kebaikan padanya—kedudukannya seperti seorang muslim yang shalat menghadap Baitul Maqdis.
  2. Jika diperbolehkan mengerjakan hal-hal kecil dalam tasyabbuh, maka hal itu akan mengantarkan pada perbuatan tasyabbuh yang lebih besar. Kemudian jika suatu perkara sudah masyhur, maka orang awam terlibat di dalamnya dan melupakan asal kejadiannya sehingga berujung menjadi suatu adat bahkan suatu Ied (hari raya) yang menyamai hari Ied Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan lebih dari itu.
  3. Pada hari-hari raya dan perayaan-perayaan secara umum, di dalamnya terdapat manfaat yang besar dalam perkara agama dan dunia mereka. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan melalui lisan nabi terakhir apa-apa yang di dalamnya terdapat kebaikan bagi makhluk secara sempurna…. Jika seorang hamba mengerjakan suatu amalan yang tidak disyariatkan pada sebagian keperluannya, semakin sedikitlah keinginannya terhadap perkara yang disyariatkan dan manfaatnya, sesuai dengan kadar perkara yang dia ambil gantinya dari selain syariat. Oleh karena itu engkau dapati orang yang banyak mendengar dendangan/lagu untuk memperbaiki hati, akan berkurang keinginannya dari mendengarkan al-Qur’an, bahkan kadang kala membencinya.
  4. Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian hari raya mereka akan menimbulkan rasa senang di hati terhadap kebatilan yang ada pada mereka. Bahkan terkadang akan mendorong untuk memanfaatkan kesempatan dan merendahkan orang-orang lemah.
  5. Apa yang mereka lakukan pada hari raya mereka; ada yang berupa kekafiran, ada yang diharamkan, ada pula yang dibolehkan seandainya tidak ada unsur tasyabbuh. Untuk membedakan satu perkara ini dengan yang lainnya sangatlah tersamar bagi orang awam.
  6. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sifat kepada bani Adam bahkan seluruh makhluk di atas suatu sifat yaitu saling berinteraksi di antara dua perkara serupa. Semakin banyak keserupaan, interaksi dalam akhlak dan sifat juga lebih sempurna, hingga keduanya tidak dapat dibedakan kecuali dengan matanya saja. Keserupaan dan kemiripan dalam perkara lahiriah akan mengundang keserupaan dan kemiripan dalam perkara batin, melalui tahapan yang halus dan tersembunyi.
  7. Penyerupaan dalam perkara lahiriah menyebabkan munculnya kasih sayang dan kecintaan di dalam hati, sebagaimana kecintaan di dalam hati menyebabkan penyerupaan di dalam lahiriah. Kasih sayang dan kecintaan terhadap mereka akan menghilangkan iman.[1]

– Larangan ini tidak hanya dalam hal menyerupai hari raya mereka saja, namun meliputi seluruh waktu dan tempat yang diagungkan, yang tidak ada asalnya di dalam Islam.

– Sebagaimana dilarangnya meniru perayaan mereka, maka seorang muslim tidak boleh membantu orang yang meniru mereka dalam perkara ini bahkan harus melarangnya. Barang siapa memberi hadiah kepada seorang muslim dalam rangka perayaan tersebut, menyelisihi kebiasaan pada hari-hari biasa, maka tidak diterima hadiahnya. Khususnya jika hadiah tersebut berupa hal yang membantu dalam tasyabbuh. Contohnya menghadiahkan lilin atau yang semisalnya pada perayaan ulang tahun. Tidak boleh pula memberi hadiah kepada muslimin dalam rangka perayaan tersebut, lebih-lebih bila hadiah tersebut bisa membantu dalam tasyabbuh terhadap orang kafir.

Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang bisa membantu muslim lainnya untuk menyerupai orang kafir, baik berupa makanan atau selainnya. Karena di dalamnya mengandung tolong-menolong dalam kemungkaran. Adapun jual beli dengan orang kafir dalam perkara yang terkait hari raya mereka atau membantu menghadiri perayaan mereka, menurut pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah, ada pembedaan. Dalam hal membeli dari mereka pada hari itu tanpa masuk ke gereja-gereja mereka, diperbolehkan, sedangkan menjual kepada orang kafir pada hari itu, (pendapat al-Imam Ahmad) masih terdapat kemungkinan hukum. Ini nukilan Syaikhul Islam secara ringkas dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Kemudian beliau (Syaikhul Islam) berkata, “Sungguh, dahulu kaum muslimin menghadiri pasar-pasar di masa jahiliah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menghadiri sebagiannya. Kemudian seseorang dari mereka jika melakukan perjalanan ke negeri harbi (kafir) untuk membeli sesuatu di sana, maka dibolehkan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits tentang perdagangan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu ke negeri Syam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.

Permasalahan membawa barangdagangan ke negeri musuh, ada dua riwayat dan kebanyakan nash (dari al-Imam Ahmad rahimahullah) mengandung konsekuensi berupa larangan, hanya saja larangannya mungkin berupa tanzih (menunjukkan makruh) atau tahrim (menunjukkan haram).”

– Abul Harits menukilkan bahwa Abu Abdillah (al-Imam Ahmad rahimahullah) ditanya tentang seseorang yang menjual rumahnya, kemudian datang seorang Nasrani yang menginginkannya dan menambah harga rumah tersebut, apa pendapatmu (wahai Imam) apakah dia menjual rumahnya kepada orang Nasrani, Yahudi, atau Majusi? Beliau menjawab, “Aku berpendapat hendaknya dia tidak menjual rumahnya kepada orang kafir yang akan berbuat kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya. Demi Allah, jika dia menjualnya kepada orang muslim maka lebih aku cintai.” Maka ini nash tentang larangannya.

– Ketika disebutkan perbedaan di kalangan pengikut mazhab ini tentang sewa-menyewa dengan kafir dzimmi, perbedaannya dengan perdagangan pada umumnya, sisi perbedaan antara keduanya, serta apakah larangan jual-beli dan sewa-menyewa itu haram atau makruh, maka beliau (Syaikhul Islam) berkata,

“Perbedaan pendapat ini dan kebimbangan pada kemakruhannya adalah jika tidak bertransaksi sewa-menyewa pada perkara yang haram. Namun bila rumah itu disewa untuk menjual khamr, dijadikan gereja atau rumah ibadah mereka, maka ucapan mazhab kami hanya satu, yaitu tidak boleh.

– Di antara manusia ada yang mengatakan, “Bid’ah itu terbagi menjadi dua yakni baik dan buruk”, berdalil dengan ucapan ‘Umar radhiallahu ‘anhu tentang shalat tarawih, “Sebaik-baik bid’ah”[2]. Berdalil pula dengan sebagian ucapan atau perbuatan  yang muncul sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dibenci atau yang baik, berdasarkan dalil yang menunjukkan akan hal itu dari ijma’ maupun qiyas. Orang-orang ini berkata, “Tidak semua bid’ah itu sesat”, kemudian pada mereka ada dua sikap. Sikap pertama mengatakan, “Jika benar bahwa bid’ah itu ada yang baik dan ada yang jelek, maka yang jelek adalah yang dilarang oleh syariat sedangkan yang didiamkan oleh syariat maka tidaklah termasuk bid’ah yang jelek, bahkan terkadang baik.” Sikap yang kedua mengatakan tentang bid’ah yang jelek, “Ini adalah bid’ah yang baik, karena di dalamnya terkandung kebaikan ini dan itu.”

Jawaban untuk sikap yang pertama, “Perkataan bahwa seluruh bid’ah itu sesat adalah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun diperbolehkan menolak nash ini sebagai dalil tentang tercelanya bid’ah. Barang siapa yang menentang pendalilan nash ini maka dia celaka.”

Dikatakan kepada mereka, “Sesuatu yang ditetapkan sebagai kebaikan maka bukan termasuk bid’ah, atau dikhususkan dari keumuman ini.” Yang mengkhususkan adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’ baik secara nash maupun istinbath (yang terpahami). Adapun kebiasaan di sebagian negeri atau ucapan banyak ulama, tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak ucapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mengkhususkan keumuman dalil tadi. Namun karena merajalelanya kebodohan, banyak orang bersandarkan pada hal-hal semacam ini, termasuk orang yang menisbatkan dirinya pada ilmu dan agama. Demikian pula tidak boleh ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah sesat,” dibawa kepada bid’ah yang dilarang secara khusus saja, karena yang demikian artinya mengebiri faedah hadits. Karena diketahui bahwa sesuatu yang sudah dilarang maka hal itu jelek dan haram dengan adanya larangan itu, baik itu bid’ah ataupun bukan.

– Sisi kedua dalam celaan terhadap perayaan dan hari raya-hari raya yang diada-adakan adalah banyaknya kerusakan dalam agama yang terdapat di dalamnya, di antaranya:

  1. Siapa saja yang membuat suatu amalan yang dikhususkan pada waktu atau tempat tertentu, tentu didasari keyakinan. Keyakinan itu bila tidak ada asalnya dalam agama maka merupakan mafsadah. Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berdalil dengan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mengkhususkan malam hari Jumat untuk shalat dan siangnya untuk puasa. Lalu beliau mengatakan, “Merupakan perkara yang diketahui bahwa kerusakan amalan ini adalah karena pengkhususan itu. Jika tidak, maka akan dilarang secara mutlak atau tidak dilarang sama sekali, seperti hari Arafah. Jelaslah bahwa kerusakan ini disebabkan pengkhususan yang tidak ada asalnya.”

– Perbuatan yang diada-adakan berkonsekuensi kepada adanya keyakinan, yang ini adalah kesesatan dalam agama, atau karena amalan agama untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak boleh beragama dengan keyakinan yang rusak atau untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala.

– Keyakinan ini lalu diikuti keadaan hati berupa pengagungan dan pemuliaan. Keadaan hati ini juga batil, tidak berasal dari agama Allah subhanahu wa ta’ala. Engkau ketahui sekarang, bahwa bid’ah-bid’ah ini membatalkan keyakinan-keyakinan yang wajib dan menentang apa yang dibawa oleh para rasul dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan akan mewariska  kemunafikan dalam hati walaupun sedikit. Barang siapa yang memerhatikan hal ini, dia akan mengetahui dengan yakin tentang racun dalam bid’ah yang akan melemahkan iman.

Buah karya asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah


[1] Menyerupai kuffar dalam hal selain syariat kita terbagi dua:

  1. Dalam keadaan mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan kekhususan agama mereka, lalu dilakukan karena ingin mencocoki mereka, atau dorongan syahwat yang terkait dengan perbuatan itu, atau karena bayangan akan manfaat yang dapat diperoleh nantinya dalam perkara tersebut, maka tidak diragukan lagi tentang keharamannya. Bahkan bisa mencapai tingkat dosa besar atau kafir, sesuai dengan dalil-dalil syar’i.
  2. Dia melakukan perbuatan itu dalam keadaan tidak tahu bahwa hal itu adalah perbuatan orang kafir. Jenis ini terbagi menjadi dua lagi:
  • Perbuatan yang asalnya diambil dari orang kafir, baik secara utuh sebagaimana mereka lakukan. Atau terdapat perubahan dalam hal perbuatan, waktu, tempat, sehingga dia bisa tahu asal perbuatan ini. Bila dia berhenti dari perbuatan tersebut, maka itu yang seharusnya. Dan bila tidak, maka dia termasuk golongan yang pertama di atas.
  • Perbuatan yang asalnya tidak diambil dari orang kafir, tapi mereka melakukannya juga. Yang seperti ini di dalamnya tidak ada bahaya tasyabbuh, namun tetap kehilangan manfaat dari menyelisihi orang kafir. Saya katakan: jenis yang ini tidak berlaku padanya memelihara jenggot, karena hal itu termasuk syariat kita.

[2] Riwayat al-Bukhari, Kitab Shalatut Tarawih bab Fadhlu man Qama Ramadhan. untuk puasa

hari raya kafirkebencian orang kafirtasyabbuh