Baca kisah sebelumnya…
Setelah menerangkan jawaban Qarun kepada orang-orang yang menasihatinya, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa pemberian-Nya itu bukanlah tanda baiknya keadaan orang yang menerima. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَوَ لَمۡ يَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَهۡلَكَ مِن قَبۡلِهِۦ مِنَ ٱلۡقُرُونِ مَنۡ هُوَ أَشَدُّ مِنۡهُ قُوَّةً وَأَكۡثَرُ جَمۡعًاۚ
“Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (al-Qashash: 78)
Jadi, tidak ada halangan untuk menghancurkan Qarun, padahal sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) bahwa Dia telah membinasakan orang-orang yang lebih kuat dan lebih banyak mengumpulkan harta daripada Qarun.
Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan,
وَلَا يُسَۡٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلۡمُجۡرِمُونَ
“Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)
Allah subhanahu wa ta’ala menyiksa mereka sesuai dengan apa yang Dia subhanahu wa ta’ala ketahui tentang mereka. Mereka yang dibinasakan itu, meskipun menyatakan baiknya keadaan mereka, bahkan memastikan keselamatan mereka, pengakuan mereka tidak diterima. Bahkan, semua itu tidak dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga: Bencana Bukan Akibat Dosa?
Akan tetapi, Qarun tidak mau berhenti. Ia justru terus-menerus dalam pembangkangan dan kejahatannya. Dia tenggelam dalam rasa bangga dan sikap takabur dengan hartanya yang berlimpah. Tidak cukup sampai di situ, pada suatu hari dia pun keluar dengan membawa semua perhiasan dan kekayaan serta kemegahannya. Dia keluar membawa seluruh budaknya. Masing-masing lengkap dengan pakaian dan perhiasan yang gemerlap, laki-laki dan perempuan.
Kunci-kunci gudang hartanya yang demikian banyak, dipikul oleh beberapa orang laki-laki yang kekar.
Dengan angkuh, Qarun berjalan diiringi para pengikutnya. Ratusan mata terbelalak melihat kemegahan Qarun, mulut mereka berdecak kagum.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا
“Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia,” yaitu orang-orang yang puncak harapan dan cita-cita mereka adalah kehidupan dunia semata. Tidak ada lagi yang selain itu,
يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ
“Kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun.” Maksudnya, dunia berikut perhiasan dan kesenangannya.
إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (al-Qashash: 79)
Hal itu karena cara pandang dan cita-cita serta pengetahuan mereka hanya sebatas dunia. Sama sekali tidak ada keinginan lain selain dunia dan perhiasannya.
Itulah bukti kedangkalan ilmu mereka, karena maklumat yang mereka ketahui, yaitu dunia dan semua kesenangannya adalah sesuatu yang rendah. Tidaklah semua ini dinamakan dunia melainkan karena kerendahannya, karena ad-dunya dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang rendah.
Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian
Orang-orang yang lemah iman seperti ini selalu berharap mereka sama seperti Qarun atau yang semodel dengan Qarun dalam hal kekayaan. Lebih parah lagi, mereka menganggap itulah salah satu hakikat keberuntungan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut sangkaan mereka, keberuntungan yang dirasakan oleh Qarun itu tidak lain karena dia sudah beruntung di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, yakni diridhai-Nya.
Melihat keadaan orang-orang yang lemah iman dan akalnya ini, beberapa orang ulama di kalangan Bani Israil kembali menyampaikan nasihat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٌ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta tidak diperoleh pahala itu melainkan oleh orang-orang yang sabar.” (al-Qashash: 80)
Orang-orang yang berilmu ini mengingatkan saudara-saudara mereka agar mengharapkan apa yang ada di sisi Allah subhanahu a ta’ala, merasa mulia dengan pahala-Nya. Bahkan, pahala yang disegerakan berupa kenikmatan beribadah kepada Allah, senantiasa kembali kepada-Nya, dan pahala yang disediakan di akhirat, adalah jauh lebih baik daripada yang mereka mimpikan, berupa dunia dan kesenangannya.
Baca juga: Kemurnian Agama Terjaga dengan Peringatan Ulama
Akan tetapi, tidak semua yang mengerti mana yang lebih baik kemudian mau mendahulukannya daripada sesuatu yang lebih rendah. Semua itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang mendapat taufik, yaitu orang-orang yang sabar. Sabar di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sabar (menahan diri) dari kemaksiatan, dan sabar menghadapi takdir yang menyakitkan.
Setelah kejahatan dan sikap melampaui batas Qarun sampai pada puncaknya, bahkan nasihat dan peringatan tidak lagi berguna, dunia pun semakin indah berhias untuknya, rasa bangga semakin membuatnya besar kepala, datanglah azab Allah subhanahu wa ta’ala menimpanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُنتَصِرِينَ
“Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (al-Qashash: 81)
Inilah balasan yang setimpal baginya. Ketika dia mengangkat dirinya di atas orang lain tanpa alasan yang haq (benar), Allah subhanahu wa ta’ala merendahkannya serendah-rendahnya. Bahkan, beserta semua yang menjadi sarana kebanggaan dan kesombongannya, yaitu harta dan pengikutnya.
Tidak ada pelayan, kelompok, atau golongan yang menolong dan membelanya ketika azab itu menimpanya. Dia sendiri pun tidak mampu membela dan menyelamatkan dirinya.
Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib