(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Abu Bashir dan Kelompoknya Tiba-tiba datanglah Abu Bashir, salah seorang Quraisy di mana dia telah masuk Islam. Namun pihak Quraisy mengirim dua orang untuk menangkapnya. Kata mereka: “Ini termasuk kesepakatan yang engkau buat dengan kami, serahkan dia kepada dua orang ini.”
Keduanya pun akhirnya pergi dengan membawa Abu Bashir. Ketika tiba di Dzul Hulaifah, dua orang yang menangkapnya turun untuk makan kurma mereka. Abu Bashir berkata kepada salah seorang dari mereka: “Demi Allah, sungguh aku lihat pedangmu ini sangat bagus, hai Fulan.”
Diapun menghunusnya, lalu berkata:
“Ya, demi Allah, benar-benar pedang ini sangat bagus. Sungguh, aku sudah pernah mencobanya berkali-kali.” Kata Abu Bashir: “Tunjukkanlah agar aku dapat melihatnya.” Orang itu menyerahkan pedangnya. Abu Bashir pun memantapkan pegangannya lalu secepat kilat menebaskan pedang itu kepadanya hingga dia mati. Sementara yang satunya lantas lari hingga tiba di Madinah dan masuk masjid. Kata Rasulullah n: “Sungguh laki-laki ini melihat sesuatu yang menakutkan.” Ketika sampai di hadapan Nabi n, dia berkata: “Temanku dibunuh dan aku pun pasti mati.” Tak lama, datanglah Abu Bashir dan berkata: “Wahai Nabi Allah, sungguh Allah l telah menyempurnakan jaminan anda dan anda telah mengembalikan saya kepada mereka. Kemudian Allah l selamatkan saya dari mereka.”
Nabi n berkata: “Kecewa ibunya (di sini maknanya bukan celaan, ed.), dia menyalakan api peperangan. Seandainya ada yang menangkapnya.” Mendengar ini, dia pun tahu bahwa beliau akan mengembalikannya kepada musyrikin. Lalu pergilah dia hingga tiba di tepi pantai. Tak lama, bergabunglah Abu Jandal in Suhail menyusul Abu Bashir. Setelah itu, tidak ada satu pun dari Quraisy yang telah masuk Islam melainkan bergabung dengan Abu Bashir hingga terkumpullah beberapa orang. Demi Allah, tidaklah mereka dengar ada satu kafilah dagang Quraisy yang menuju Syam, melainkan mereka hadang, mereka bunuh, dan mereka rampas hartanya. Akhirnya Quraisy pun mengirim utusan kepada Nabi n menuntut beliau demi Allah dan dengan kasih sayang, agar menyatakan bahwa siapa yang datang menemuinya maka dia aman. N a b i n m e n g u t u s o r a n g menemui mereka. Kemudian Allah l menurunkan:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ
بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
(Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka) sampai pada:
الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
(kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah), dan kesombongan jahiliah itu ialah bahwa mereka tidak mau mengakui beliau sebagai Nabi Allah, tidak menerima penulisan Bismillahirrahmanirrahim, serta menghalangi beliau dari Ka’bah. Kisah Salamah bin Al-Akwa’ z “Kami tiba di Hudaibiyah bersama Rasulullah n. Jumlah kami ketika itu sekitar 1.400 dengan lima puluh ekor kambing kurban yang tidak digembalakan (diberi minum). Rasulullah n duduk di tepi sebuah perigi. Bisa jadi beliau berdoa ataukah meludah padanya, hingga airnya meluap. Kamipun memberi minum dan minum dari air itu. Kemudian Rasulullah n memanggil kami untuk berbai’at di bawah sebuah pohon. Aku berbai’at kepada beliau pada barisan pertama orang yang berbai’at, kemudian beliau membai’at dan membai’at lagi hingga barisan tengah manusia, beliau berkata: “Hai Salamah, berbai’atlah.” Aku katakan: “Saya sudah berbai’at pada barisan pertama, ya Rasulullah.” Kata beliau: “(Ini) juga.” Beliau melihatku telanjang yakni tidak bersenjata, lalu memberiku sebuah perisai. Kemudian membai’at sampai pada barisan terakhir rombongan itu, beliau berkata: “Berbai’atlah kepadaku, wahai Salamah.” Aku katakan: “Saya sudah berbai’at kepada anda, ya Rasulullah, di bagian pertama dan pertengahan rombongan.” Kata beliau: “(Ini) juga.” Lalu aku berbai’at kepada beliau untuk ketiga kalinya. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Hai Salamah, mana perisai yang aku berikan kepadamu?” Aku katakan: “Ya Rasulullah, saya bertemu pamanku ‘Amir yang tidak punya perisai, lantas saya berikan kepadanya.” Rasulullah n tertawa mendengarnya dan berkata: “Sungguh, kamu seperti kata orang dahulu: ‘Ya Allah, berikan untukku seorang kekasih yang dia lebih aku cintai daripada diriku sendiri’.” Selanjutnya, kaum musyrikin mengirim utusan kepada kami untuk berdamai hingga berjalanlah sebagian kami pada sebagian lainnya dan kami pun berdamai. Aku sendiri dahulu mengiringi Thalhah bin ‘Ubaidullah, memberi minum dan merawat kudanya serta melayaninya. Aku makan makanannya, aku sudah meninggalkan keluarga dan hartaku karena berhijrah kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Setelah berdamai, kami dan penduduk Makkah berbaur satu sama lain. Aku mendekati sebuah pohon dan memangkas duri-durinya, lalu berbaring di bawahnya. Kemudian datanglah empat orang musyrikin dari penduduk Makkah, hendak menyerang Rasulullah n. Aku membenci mereka dan berpindah ke pohon lain. Mereka menggantungkan senjata mereka dan berbaring. Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba ada yang berseru dari arah bawah lembah: “Hai para muhajirin. Ibnu Zanim terbunuh.” Aku segera menghunus pedangku untuk menekan keempat orang itu dalam keadaan mereka sedang tidur. Akupun mengambil senjata dan menjadikannya terkumpul di tanganku. Aku berkata: “Demi Yang memuliakan wajah Muhammad, tidak ada satupun dari kalian yang mengangkat kepalanya melainkan aku tebas kepalanya.”
Aku pun membawa mereka kepada Rasulullah n. Dan datanglah pamanku membawa seorang laki-laki Bani ‘Ablah bernama Mikraz, digiringnya kepada Rasulullah n di atas kuda yang diberi pelana bersama 70 musyrikin. Rasulullah n memandangi mereka dan berkata:
“Biarkan mereka, tentu mereka memulai kekejian dan mengulanginya.” Rasulullah n memaafkan mereka, lalu Allah l menurunkan:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ
بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
(Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka) seluruh ayat ini.
Kemudian kami bertolak menuju Madinah dan singgah di satu tempat. Antara kami dan Bani Lihyan dipisahkan oleh sebuah gunung, di mana mereka ketika itu masih musyrik. Kemudian Rasulullah n memintakan ampun bagi siapa pun yang mendaki gunung tersebut malam itu sebagai pengintai untuk Nabi n dan para sahabatnya. Kata Salamah: “Malam itu, aku pun mendakinya dua atau tiga kali.” Kami akhirnya tiba di Madinah. Rasulullah n mengirim kendaraannya bersama Rabah bujang Rasulullah n, dan aku menyertainya. Aku berangkat bersamanya dengan kuda Thalhah menggiringnya untuk memberinya minuman dengan tunggangan itu. K e e s o k a n h a r i n y a , t e r n y a t a Abdurrahman Al-Fazari menyergap kendaraan Rasulullah n itu lalu menggiring dan membunuh penggembalanya. Akupun
berkata: “Hai Rabah, ambil kuda ini, sampaikan kepada Thalhah dan laporkan kepada Rasulullah n bahwa musyrikin telah menyergap kendaraannya yang digembalakan.” Kemudian aku berdiri di atas bukit kecil menghadap ke arah Madinah lalu berseru tiga kali: “Toloong.” Aku pun mengejar rombongan musyrikin itu lalu menghujani mereka dengan panah sambil mendendangkan rajaz (syair):
Akulah Ibnul Akwa’ hari ini adalah hari binasanya orang yang hina Ada salah seorang dari mereka menyusul. Aku pun menyerang kendaraannya dengan panah sampai menembus pundak kendaraannya. Aku katakan: “Ambillah itu.” Akulah Ibnul Akwa’ hari ini adalah hari binasanya orang yang hina Demi Allah, aku terus memanah dan menyerang mereka. Jika ada kuda yang datang, aku duduk di bawah pohon kemudian memanah dan memukulnya. Hingga setelah gunung itu menyempit, mereka masuk ke bagian yang sempit, akupun mendakinya dan melempari mereka dengan batu. Aku tetap mengikuti mereka demikian hingga tidaklah Allah l ciptakan unta yang jadi kendaraan Rasulullah n melainkan aku tinggalkan di belakangku. Dan mereka pun membiarkan aku dengannya. Kemudian aku ikuti mereka dan melempari mereka sampai mereka melemparkan 30 helai burdah dan 30 batang tombak untuk meringankan. Dan tidaklah mereka membuang sesuatu melainkan aku jadikan tanda penunjuk jalan dari batu agar diketahui oleh Rasulullah n dan para sahabatnya. Hingga ketika mereka tiba di bagian sempit lembah itu, ternyata mereka sudah didatangi oleh Fulan bin Badr Al-Fazari. Merekapun duduk dan makan siang. Akupun duduk di atas bukit kecil, kata si Al-Fazari: “Apa yang kulihat ini?” Kata mereka: “Kami mendapat kesulitan.
Demi Allah, kami tidak dapat lolos sejak gelap tadi, dia melempari kami sampai habis semua yang ada di tangan kami.”
Katanya: “Bangkitlah empat orang dari kalian menghadapinya.” Lalu naiklah empat orang ke atas bukit. Ketika mereka mencapai jarak tepat bicara denganku, akupun berkata: “Kalian kenal aku?” Kata mereka: “Tidak, siapa kamu?” “Aku adalah Salamah bin Al-Akwa’,” jawabku.
“Demi Yang memuliakan wajah Muhammad n, tidaklah aku kejar salah seorang dari kalian melainkan pasti aku dapat menangkapnya, dan tidak satupun dari kalian bisa menangkapku.” Salah seorang berkata: “Aku kira (demikian).” Lalu mereka kembali dan aku tetap di tempat itu hingga melihat kuda-kuda Rasulullah n di sela-sela pohon. Yang pertama adalah Al-Akhram Al-Asadi disusul oleh Abu Qatadah Al-Anshari dan berikutnya Al-Miqdad bin Al-Aswad Al- Kindi. Aku pun kemudian memegang tali kendali Al-Akhram, sementara mereka telah melarikan diri. Aku katakan: “Hai Akhram, hati-hati dari mereka, jangan sampai mereka membunuh salah seorang kalian hingga Rasulullah n dan para sahabatnya menyusul.” Katanya: “Hai Salamah, kalau engkau beriman kepada Allah l dan hari kemudian dan tahu bahwa surga dan neraka itu haq, maka jangan halangi aku mati syahid.”
Aku pun membiarkannya dan bertemulah dia dengan ‘Abdurrahman itu. Dia pun membunuh kuda ‘Abdurrahman, sedangkan ‘Abdurrahman balas menikam Al-Akhram lalu membunuhnya. Kemudian Abdurrahman pindah ke atas kuda Al-Akhram. Abu Qatadah, prajurit berkuda Rasulullah n berhasil mengejar ‘Abdurrahman kemudian menikamnya lantas membunuhnya. Demi Yang memuliakan wajah Muhammad n, sungguh, aku mengejar mereka dengan berlari sampai aku tidak melihat lagi di belakangku para sahabat Muhammad n bahkan debu jejak mereka. (Aku kejar mereka) hingga mereka membelok ke jalanan gunung yang di situ ada mata air bernama Dzu Qarad sebelum matahari terbenam untuk minum karena kehausan. Mereka melihat ke arahku yang berlari di belakang mereka. Aku lantas menghalau mereka dari mata air itu. Akhirnya mereka tidak minum setetespun dari mata air itu. Mereka pun keluar dan mengalami kesulitan di jalan sempit di bukit itu. Aku pun tetap mengejar dan berhasil menyusul salah seorang dari mereka. Kemudian aku menikamnya dengan panah, tepat mengenai ujung pundaknya, aku katakan:
“Rasakanlah: Akulah Ibnul Akwa’ hari ini adalah hari binasanya orang yang hina Orang itu berkata: “Malangnya ibunya. Engkaukah Al-Akwa’ yang tadi pagi sampai siang ini?” Aku katakan: “Ya, wahai musuh dirinya sendiri. Akulah Al-Akwa’ yang sejak tadi pagi.”
Mereka pun melepaskan dua kuda di atas lembah itu. Aku pun membawa keduanya lalu menggiringnya kepada Rasulullah n. Aku disusul oleh ‘Amir yang membawa bejana berisi susu bercampur air dan satu lagi berisi air bersih. Aku pun berwudhu dan minum lalu menemui Rasulullah n yang berada di atas mata air yang aku usir mereka dari sana. Ternyata beliau sudah mengambil unta yang aku selamatkan dari musyrikin serta semua tombak dan burdah. Juga Bilal yang menyembelih unta yang aku bebaskan dari musuh tadi, ternyata dia memanggang hati dan punuknya untuk Rasulullah n. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan saya memilih seratus dari mereka, lalu menyusul musuh itu, sehingga tidak satupun dari mereka yang menyampaikan berita melainkan saya bunuh dia.” Mendengar ini, Rasulullah n tertawa hingga terlihat gerahamnya di balik cahaya api itu, kata beliau: “Hai Salamah, apa kau yakin dapat melakukannya?” Aku katakan: “Ya. Demi Yang memuliakan anda.” Kata beliau: “Sesungguhnya sekarang mereka dijamu di Ghathafan.” Kemudian datanglah seseorang dari Ghathafan, katanya: “Si Fulan menyembelih ternak besar untuk mereka. Tapi ketika mereka mengulitinya, mereka melihat debu membumbung, kata mereka: “Musuh datang.” Akhirnya mereka melarikan diri. Keesokan harinya, Rasulullah n berkata: “Sebaik-baik pekuda kita hari ini adalah Abu Qatadah dan sebaik-baik pasukan jalan kaki kita hari ini adalah Salamah.” Rasulullah n memberi aku dua saham; saham prajurit berkuda dan pejalan kaki, beliau menggabungkannya untukku. Setelah itu, beliau memboncengku di atas Al-‘Adhba` (nama unta beliau) pulang ke Madinah. Ketika kami dalam perjalanan, salah seorang sahabat Anshar yang belum pernah kalah berlari cepat mengatakan: “Adakah yang mau berlomba sampai Madinah?” Dia mengulangi tantangannya. Mendengar tantangannya, aku pun berkata: “Apa kamu tidak menghargai orang terhormat dan segan kepada orang mulia?” Katanya: “Tidak, kecuali Rasulullah n.” Aku berkata: “Ya Rasulullah, demi bapak dan ibuku tebusannya, izinkan saya membalap orang ini.” Kata
beliau: “Kalau kau mau (silakan).” Aku katakan: “Larilah.” Aku pun menekuk dua kakiku dan mulai berlari kencang. Aku menahan nafas melewati satu atau dua dataran tinggi. Kemudian aku melepaskannya agar tidak kelelahan. Kemudian aku mengejar di belakangnya dan menahan nafas ketika di satu atau dua dataran tinggi. Selanjutnya, aku naik hingga menyusulnya. Lalu aku menusuk pundaknya, sambil aku katakan: “Demi Allah, engkau kalah.” Katanya: “Ya, aku kira (demikian).” Aku pun mengalahkannya sampai ke Madinah. Wallahu a’lam.