Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran
Harapan akan anak yang saleh—yang baik dan selamat dunia akhirat—bukan semata-mata milik kita. Harapan ini bahkan dimiliki oleh para nabi dan rasul yang menjadi teladan kita. Ini menunjukkan bahwa harapan seperti ini adalah harapan yang mulia. Inilah yang kita lihat dalam diri Rasul yang pertama, Nuh ‘alaihissalam.
Rentang waktu perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam bukanlah waktu yang pendek. Sembilan ratus lima puluh tahun beliau menyeru umat dengan berbagai cara, disertai kesabaran dan ketelatenan, untuk meninggalkan kehinaan paganisme, kembali mulia dengan berpegang teguh kepada tauhidullah. Termasuk pula keluarga beliau yang menjadi sasaran dakwah mulia ini. Akan tetapi, tidak ada yang menerima dakwah beliau selain sedikit.
Allah ‘azza wa jalla mewahyukan kepada beliau bahwa kaumnya yang mendustakan beliau itu akan dibinasakan. Diperintahkanlah Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk membuat sebuah bahtera guna menyelamatkan orangorang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Beliau pun melaksanakan perintah itu dengan penuh ketundukan dan ketaatan, di tengah-tengah gencarnya olokan, hinaan, cercaan, dan seluruh bentuk pendustaan kaumnya yang durhaka.
Allah ‘azza wa jalla mengabadikan kisah kebinasaan kaum Nuh—termasuk anak beliau sendiri—dalam Kitab-Nya yang mulia,
“Hingga apabila perintah Kami datang dan permukaan bumi telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang, dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya, dan muatkanlah pula orang-orang yang beriman’. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Hud: 40—41)
Berlayarlah bahtera itu mengarungi air bah yang bakal membinasakan orang-orang yang kafir dengan izin Allah. Di tengah terpaan gelombang air bah yang laksana gunung itu, Nabi Nuh ‘alaihissalam melihat anaknya, darah dagingnya, berada di tempat yang jauh dan terpencil, berusaha menyelamatkan diri dari kebinasaan. Nabi Nuh ‘alaihissalam mengetahui, pada hari itu tidak akan ada orang kafir yang selamat dari azab dan kemurkaan Allah ‘azza wa jalla. Begitu pula anak beliau ini. Masih tebersit asa dalam hati Nabi Nuh ‘alaihissalam agar anaknya selamat dari kemurkaan Rabbul ‘alamin yang menimpa orangorang kafir. Beliau memanggil dan menyeru anaknya agar mau mendekat dan turut ke dalam bahtera.
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku! Naiklah bersama kami, dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir!’.” (Hud: 42)
Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, ternyata anak yang diseru dengan penuh kesabaran ini memilih sebagaimana pilihan kaum yang ingkar. Masih dengan kesombongannya, dia tetap mendustakan seruan sang ayah. Allah ‘azza wa jalla menetapkan anak Nabi yang mulia ini termasuk orang yang celaka.
Dengan pongah dia katakan, dia akan mendaki gunung yang bisa melindunginya dari amukan gelombang pasang yang dahsyat melanda.
Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” (Hud: 43)
Nabi Nuh ‘alaihissalam masih belum berhenti menyadarkan anaknya yang durhaka ini. Beliau ingatkan, tak ada satu pun—baik gunung maupun selainnya—yang dapat menyelamatkan apabila Allah ‘azza wa jalla telah murka, walaupun segala upaya yang mungkin telah dia lakukan. Dirinya tidak akan selamat jika Allah ‘azza wa jalla tidak menyelamatkannya.
Nuh berkata, “Hari ini tidak ada yang dapat melindungi dari azab Allah, kecuali orang yang dirahmati-Nya.” (Hud: 43)
Namun, ketetapan Allah ‘azza wa jalla tetaplah berlaku.
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang- orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya ditelan gelombang air bah, Nabi Nuh ‘alaihissalam merasa sedih. Didorong oleh rasa sayang kepada sang anak, Nabi Nuh ‘alaihissalam memohon kepada Allah ‘azza wa jalla apa yang telah Dia janjikan ketika memerintahkan agar Nabi Nuh ‘alaihissalam mengangkut dalam bahteranya setiap binatang sepasang, serta keluarga beliau. Allah ‘azza wa jalla menjanjikan akan menyelamatkan keluarga beliau.
Dan Nuh menyeru Rabbnya sembari berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadiladilnya.” (Hud: 45)
Nabi Nuh ‘alaihissalam menyangka, janji itu berlaku untuk seluruh keluarga beliau. Karena itulah, beliau berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla dengan permohonan seperti itu. Namun, di sisi lain, Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap mengembalikan urusan ini sepenuhnya kepada hikmah Allah ‘azza wa jalla yang Mahasempurna. Kemudian Allah ‘azza wa jalla menerangkan bahwa anak Nabi Nuh termasuk orang-orang yang ingkar, enggan beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, sehingga tidak layak untuk diselamatkan. Allah ‘azza wa jalla menegur Nabi Nuh ‘alaihissalam pula agar tidak memohon kepada-Nya sesuatu yang tidak beliau ketahui kesudahannya, apakah kebaikan atau keburukan.
Allah berfirman, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Karena itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (kesudahan)nya. Sesungguhnya Aku memberikan peringatan kepadamu agar kamu tidak termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 46)
Nabi Nuh ‘alaihissalam amat menyesali perbuatannya itu. Beliau pun memohon ampun kepada Rabbnya.
Nuh berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (kesudahan)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampunan kepadaku, serta tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hud: 47)
Kisah kesabaran beliau yang diabadikan di dalam al-Qur’an ini membuahkan sebuah keteladanan betapa beliau sangat bersemangat memberikan bimbingan dan arahan kepada anaknya. Semoga Allah ‘azza wa jalla mudahkan kita untuk mengambil pelajaran dari ini semua.
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Sumber Bacaan:
Al-Huda an-Nabawi fi Tarbiyatil Aulad, asy-Syaikh Dr. Sa ’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 6—7