Seorang wanita di kalangan bangsawan Quraisy. Dia sambut ajakan anak saudaranya tatkala menyeru manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala. Dengan keimanannya dia berhijrah, serta menjalani kemuliaan.
Dia bernama Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Hasyimiyah radhiallahu ‘anha.
Ibunya bernama Halah bintu Wahb bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Dia saudari kandung Hamzah bin ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu.
Semasa jahiliah, Shafiyyah radhiallahu ‘anha menikah dengan Al-Harits bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay. Namun al-Harits meninggal.
Sepeninggal al-Harits, Shafiyyah menikah dengan al-‘Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay. Dari pernikahan ini, lahir az-Zubair bin al-‘Awwam radhiallahu ‘anhu, as-Sa’ib, dan Abdul Ka’bah.
Ketika cahaya Islam mulai menyebar, Shafiyyah pun menyatakan ketundukannya. Dia pun berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta turut berhijrah ke negeri Madinah. Kisah-kisah kehidupannya mengesankan bahwa dia adalah seorang wanita yang tabah. Pertengahan Syawwal, tahun ketiga setelah hijrah, pada Sabtu pagi, peperangan Uhud mulai berkobar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama 700 orang pasukan kaum muslimin, 50 di antaranya pasukan berkuda, menghadapi 3.000 orang pasukan musyrikin.
Dengan ilmu dan hikmah-Nya, Allah ‘azza wa jalla menentukan hari itu sebagai saat datangnya ujian bagi kaum muslimin. Pada hari itu, Allah tampakkan orang-orang munafik dan Allah muliakan orang-orang yang mendambakan kemuliaan sebagai syuhada.
Di antara sahabat yang gugur di medan Uhud adalah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu. Kematian Hamzah menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Air mata beliau berlinang saat mendengar berita kematiannya.
Usai peperangan, seorang wanita berjalan mendekati jasad-jasad kaum muslimin yang gugur di kancah pertempuran. Tatkala melihatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin wanita itu melihat kaum muslimin yang terbunuh.
“Cegah wanita itu!” kata beliau. Az-Zubair bin Al-Awwam radhiallahu ‘anhu mengenali, wanita itu adalah ibunya. Segera dia mendekati sebelum sang ibu sampai di tempat para syuhada. Namun sang ibu mengusirnya, “Tinggalkan aku! Tidak ada tempat bagimu!”
Wanita itu, Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anha pun berhenti dan berdiri di dekat jasad saudaranya, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu. Dikeluarkannya dua helai kain yang dibawanya, sembari berkata, “Ini dua helai kain yang kubawa untuk saudaraku, Hamzah. Aku telah mendengar berita kematiannya. Kafanilah dia dengannya.”
Di sebelah jasad Hamzah radhiallahu ‘anhu terbujur pula jasad seorang Anshar. Dia tidak memiliki kafan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk membagi dua kafan Hamzah, sehelai untuk Hamzah, sehelai untuk orang Anshar itu.
Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anha dikaruniai usia yang panjang. Dia wafat pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu dalam usia tujuh puluh tiga tahun dan dimakamkan di pekuburan Baqi’. Kehidupan dirinya adalah gambaran ketabahan jiwanya.
Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anha, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
- Al-Ishabah, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (7/743—744)
- Al-Isti’ab, karya al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1873)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya al-Imam Ibnu Sa’ad (3/15, 8/41)
- Ats-Tsiqat, karya al-Imam Ibnu Hibban (3/197)
- Mukhtashar Siratir Rasul, karya asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hlm. 161—168, 172)
- Shahihus Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim al-‘Ali (hlm. 210—211)
- Siyar A’lamin Nubala’, karya al-Imam adz-Dzahabi (2/521—522)