(Bagian ke-1)
Keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan ‘usrah (kesulitan) beberapa malam di Tabuk tanpa ada upaya pihak Romawi melakukan penyerangan walau sekecil apa pun, telah menaikkan pamor kaum muslimin di mata bangsa Arab ketika itu. Bagi bangsa Arab, hal ini merupakan puncak kekuatan kaum muslimin, karena berani menyambut tantangan bangsa “adidaya” Romawi yang sebelumnya mengancam hendak menyerang Madinah.
Akhirnya, satu per satu kabilah Arab yang menjadi jajahan Romawi mulai melepaskan diri atau diam-diam mengikat perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di antara mereka ada yang terang-terangan memeluk Islam. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mulailah berdatangan beberapa utusan kabilah Arab untuk menyatakan keislaman mereka dan membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejumlah ahli sejarah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai kira-kira enam puluh utusan. Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan di antaranya adalah utusan dari Bani Tamim, ‘Abdul Qais, Bani Hanifah, orang-orang Najran yang tidak masuk Islam tapi rela menyerahkan upeti, kaum Asy’ariyin, penduduk Yaman, suku Daus, dan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i, serta lainnya.
Inilah sebagian kisah mereka agar kita dapat memetik hikmahnya.
Utusan Bani ‘Amir
Beberapa tokoh Bani ‘Amir, seperti ‘Amir bin Thufail, Arbad bin Qais, dan Jabbar bin Salma datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum itu, orang-orang Bani ‘Amir mengingatkan agar ‘Amir bin Thufail masuk Islam, tetapi dia berkata dengan pongahnya, “Sungguh, aku pernah bersumpah, tidak akan berhenti sampai bangsa Arab mengikutiku.”
Kemudian, dia berkata kepada Arbad bin Qais, “Kalau kita sudah berjumpa dengannya, aku akan membuatnya sibuk dan lupa denganmu. Kalau dia sudah lengah, tebaslah dia dengan pedangmu.”
Mereka pun tiba di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Amir berkata, “Hai Muhammad, biarkan aku berbicara denganmu berdua.”
Beliau menjawab, “Tidak. Demi Allah, sampai engkau beriman kepada Allah satu-satunya.”
‘Amir mengulangi permintaannya dan dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Tidak). Sampai engkau beriman kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menolak, dia berkata kepada beliau, “Demi Allah, pasti aku akan mengirimkan pasukan berkuda dan berjalan kaki menyerangmu.”
Setelah dia pergi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari ‘Amir bin Thufail.”
Setelah mereka meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amir berkata kepada Arbad, “Sial kau, hai Arbad! Bagaimana kamu dengan apa yang aku menyuruhmu tadi? Demi Allah, tidak ada yang aku takuti di muka bumi ini terhadap diriku, selain kamu. Demi Allah, sesudah hari ini, aku tidak takut lagi kepadamu.”
Kata Arbad, “Matilah ayahmu, jangan terburu nafsu. Demi Allah, aku bukan tidak ingin melakukan apa yang kamu perintahkan tadi, namun karena tiba-tiba aku melihatmu berada di antara aku dan dia (Muhammad, red.). Lantas apakah aku harus menebas lehermu dengan pedang ini?”
Akhirnya, mereka pun meninggalkan kota Madinah pulang ke negeri mereka. Di tengah perjalanan, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan penyakit tha’un kepada ‘Amir yang mengantarkan pada kematiannya di rumah seorang wanita Bani Salul.
Begitu tiba di kampung halamannya, penduduk bani ‘Amir menanyakan berita yang mereka bawa. Kata Arbad, “Dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengajakku beribadah kepada sesuatu (Allah subhanahu wa ta’ala). Kalau saja dia ada di dekatku, pasti aku panah sampai mati.”
Setelah mengucapkan kata-kata yang buruk ini, Arbad pergi sehari atau dua hari dengan seekor unta. Tiba-tiba, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan halilintar menyambarnya hingga membakarnya sampai mati.[1]
Utusan ‘Abdul Qais
Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia mengatakan:
إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسٍ أَتَوْا النَّبِيَّ فَقَالَ: مَنِ الْوَفْدُ أَوْ – مَنِ الْقَوْمُ؟ قَالُوا: رَبِيعَةُ. فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالْقَوْمِ – أَوْ بِالْوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى. قَالُوا: إِنَّا نَأْتِيكَ مِنْ شُقَّةٍ بَعِيدَةٍ وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ كُفَّارٍ مُضَرَ وَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَأْتِيَكَ إِلَّا فِي شَهْرٍ حَرَامٍ فَمُرْنَا بِأَمْرٍ نُخْبِرُ بِهِ مَنْ وَرَاءَنَا نَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ. فَأَمَرَهُمْ بِأَرْبَعٍ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ، أَمَرَهُمْ بِالإِيْمَانِ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْدَهُ. قَالَ: هَلْ تَدْرُونَ مَا الإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ، وَتُعْطُوا الْخُمُسَ مِنَ الْمَغْنَمِ. وَنَهَاهُمْ عَنْ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالْمُزَفَّتِ – قَالَ شُعْبَةُ: رُبَّمَا قَالَ: النَّقِيرِ وَ رُبَّمَا قَالَ: الْمُقَيِّرِ– قَالَ: احْفَظُوهُ وَ أَخْبِرُوهُ مَنْ وَرَاءَكُمْ
Sesungguhnya utusan ‘Abdul Qais datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Siapa rombongan ini?”
“Dari Rabi’ah,” jawab mereka.
Beliau berkata pula, “Selamat datang para utusan, tanpa rasa rendah dan penyesalan.”
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sebetulnya, antara kami dengan Anda ada orang-orang kafir dari Mudhar, sedangkan kami tidak mungkin sampai kepada Anda kecuali di bulan haram. Berikanlah suatu ajaran untuk kami, yang akan kami pedomani dan kami perintahkan kepada orang-orang di belakang kami, sehingga dengan (mengamalkan) ajaran itu kami masuk surga.”
Nabi memerintahkan empat hal kepada mereka dan melarang dari empat hal pula. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya. Beliau bertanya, “Tahukah kalian apakah beriman kepada Allah itu?”
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau melanjutkan, “(Yaitu) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari ganimah (rampasan perang).”
Beliau melarang mereka dari empat hal: dubba’, hantam, naqir, dan muzaffat.[2] –Syu’bah mengatakan, “Mungkin beliau mengatakan, ‘naqir’ atau ‘muqayyar’.”– Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Jagalah semuanya dan ajaklah kepadanya orang-orang di belakang kamu semua.”
Ibnu Ishaq menceritakan bahwa dalam utusan itu terdapat al-Jarud bin Bisyr bin al-Mu’alla yang beragama Nasrani.
Dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, saya memeluk satu agama dan akan meninggalkannya demi agama Anda. Apakah Anda akan menjamin untuk saya dengan apa yang ada di dalamnya?”
Kata beliau, “Ya, saya menjaminnya. Sesungguhnya apa yang saya sampaikan kepadamu lebih baik daripada yang engkau anut.”
Dia pun memeluk Islam diikuti oleh teman-temannya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, bebankanlah sesuatu atas kami!”
“Demi Allah, saya tidak mempunyai sesuatu untuk membebanimu,” jawab beliau.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara kami dan negeri kami ada barang-barang tercecer milik orang. Apakah boleh kami jadikan bekal?” tanya mereka.
“Tidak, itu adalah nyala api neraka.”3
Dalam kisah utusan ini terdapat beberapa faedah. Di antaranya:
- Iman adalah kumpulan seluruh sikap yang disebutkan dalam hadits itu, baik ucapan maupun perbuatan, sebagaimana dijalani oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka.
- Tidak boleh memanfaatkan harta tercecer milik orang lain, seperti unta, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang al-Jarud menaiki unta temuan.
- Dalam riwayat Muslim ada tambahan, antara lain pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asyaj ‘Abdul Qais, “Sesungguhnya pada dirimu ada dua perilaku yang disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu santun (hilm) dan tenang (tidak terburu-buru).”
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwatkan pula tambahan lain, adanya pertanyaan Asyaj kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kedua perilaku itu karena saya usahakan atau memang sudah diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala untuk saya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bahkan diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untukmu.”
Dari riwayat-riwayat inilah para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah menyatakan bahwa manusia itu adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, zat maupun sifat-sifat mereka. Namun demikian, seseorang dapat mengusahakan sifat yang baik pada dirinya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itu, keyakinan bahwa perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan seseorang adalah usahanya sendiri tanpa campur tangan Allah subhanahu wa ta’ala, merupakan keyakinan yang sesat.
Utusan Bani Hanifah
Suatu ketika datang pula utusan Bani Hanifah bersama Musailamah al-Kadzdzab. Mereka singgah di rumah seorang wanita Anshar dari Bani Najjar. Kemudian, mereka menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya sambil memegang sebatang tongkat dari pelepah kurma. Setelah sampai di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara.
Ketika giliran Musailamah berbicara dan dijawab oleh Rasulullah, beliau pun berkata kepadanya, “Seandainya engkau meminta tongkat ini pun tidak akan aku berikan.”
Ibnu Ishaq rahimahullah menceritakan bahwa Musailamah pernah menyurati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, isinya:
Dari Musailamah utusan Allah kepada Muhammad Rasulullah. Amma ba’du, sesungguhnya aku diikutkan bersamamu dalam urusan ini (kenabian). Kami separuh dan Quraisy separuhnya, sedangkan Quraisy bukan orang-orang yang adil.
Kemudian, datanglah utusannya membawa surat itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun membalasnya:
Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah Si Pendusta. Kesejahteraan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, sesungguhnya bumi ini milik Allah subhanahu wa ta’ala yang diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik hanya untuk orang-orang yang bertakwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, di dalam Shahihain (dua kitab Shahih), dari Nafi’ bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Musailamah pernah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Kemudian dia mengatakan, ‘Kalau Muhammad menyerahkan urusan ini kepadaku sepeninggalnya, pasti aku mengikutinya’.” Dia datang bersama rombongan kaumnya yang sangat banyak.
Tak lama, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut mereka sambil menggenggam sebatang pelepah kurma, bersama Tsabit bin Qais bin Syammas. Setelah berhadapan dengan rombongan Musailamah, beliau berkata, “Seandainya engkau meminta potongan pelepah ini pun, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu. Engkau tidak akan melampaui ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala atas dirimu. Seandainya engkau berbalik (murtad), pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan membinasakanmu. Aku mengira engkaulah yang aku lihat dalam mimpi. Tsabit bin Qais inilah yang akan menjawabmu.”
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Saya bertanya-tanya, apakah maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku mengira engkaulah yang aku lihat dalam mimpi?’.”
Kemudian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan kepada saya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita, “Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi melihat sepasang gelang emas di kedua lenganku. Kedua gelang itu merisaukanku. Lalu diwahyukan kepadaku agar meniup kedua gelang tersebut. Aku pun meniup kedua gelang itu hingga lenyap. Aku pun menakwilkannya, bahwa ada dua pendusta akan muncul sepeninggalku.”
Itulah mereka, dua nabi palsu: al-‘Ansi di Shan’a (Yaman) dan Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah (Bahrain).
Beberapa faedah yang dapat diambil dari kisah ini di antaranya ialah sebagai berikut.
- Seorang utusan, walaupun murtad tidak boleh dibunuh. Hal ini menjadi sebuah ketetapan (sunnah).
- Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup kedua gelang emas itu hingga lenyap, dan seakan-akan Abu Bakr-lah udara yang ditiupkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Seorang pemimpin boleh menyurati orang-orang murtad dan mengatakan, “Kesejahteraan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk.”
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Lihat Sirah Ibnu Hisyam 2/568—569, Zadul Ma’ad (3/604).
[2] Dubba’ artinya qara’ (sejemis labu) yang mengering yang dijadikan tempat air), hantam adalah guci/kendil hijau, naqir adalah batang pohon yang dilubangi tengahnya untuk dijadikan tempat penyimpanan (perasan kurma), muzaffat ialah wadah yang dicat/dipoles dengan ter. Yang dimaksud di sini ialah larangan membuat nabidz (minuman keras) dari tempat penyimpanan ini, karena sangat cepat fermentasinya menjadi alkohol. Setelah itu ada rukhshah (keringanan) tetapi tetap diharamkan meminum segala yang memabukkan. Lihat Shahih al-Bukhari (1/120,125) dan Shahih Muslim (17). 3 Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (5/80), at-Tirmidzi (1882) dari al-Jarud al-‘Abdi, sanadnya sahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2502) dari Abdullah bin asy-Syikhkhir, disahihkan oleh Ibnu Hibban (1171), lihat tahqiq Zadul Ma’ad (3/606).