Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan,
“Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya.”
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan,
“Haram bagi siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Sebab, sesungguhnya kami adalah manusia. Perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan).”
Imam Malik rahimahullah mengatakan,
“Saya hanyalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin benar. Maka dari itu, perhatikanlah pendapat saya. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah. Apabila tidak sesuai dengan keduanya, tinggalkanlah.”
Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati.”
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
“Janganlah kalian taklid kepada saya. Jangan pula taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, ataupun (Sufyan) ats-Tsauri. Akan tetapi, ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya.”
(al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaid wal Ahkam, hlm. 75-76, karya Syaikh al-Albani)