Wajib Menerima Sunnah Nabi  dalam Hal Akidah, Ibadah dan Muamalah

Dalil untuk hal ini sangat banyak. Di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dia. Apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)

Kata ma ( ما ), yang berarti ‘apa saja’, dalam ushul fiqih termasuk lafadz yang umum sehingga mencakup segala yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.

Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Yang dimaksud “perintah rasul,” yakni jalan, manhaj, cara, sunnah, dan syariatnya.”[1]

Jadi, ayat di atas mencakup perintah dalam hal-hal yang disebut terdahulu.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa: 59)

Kata fi syai’in ( فِي شَيۡءٖ ), yang bermakna ‘tentang suatu perkara’, bersifat umum mencakup semua itu.

Di antara yang menegaskan bahwa bab muamalah juga harus mengikutin sunnah Nabi adalah semua ayat dan hadits dalam bab muamalah. Sebagai contoh, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang pengharaman riba,

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الَأصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, al-bur dengan al-bur (gandum), sya’ir dengan sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam dengan jenis yang sama, ukuran yang sama, dan kontan. Jika jenisnya berlainan, juallah sekehendak kalian jika kontan.”[2]

Demikian pula sababun nuzul (sebab turunnya) surat an-Nisa ayat 65,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)

Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu berkata, “Az-Zubair berselisih dengan seorang Anshar dalam hal saluran air di al-Harrah (tanah yang tinggi dan berbatu hitam). Nabi kemudian berkata kepada az-Zubair, “Aliri (kebunmu) wahai az-Zubair, lalu alirkan ke tetanggamu.” Orang Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah karena dia anak bibimu?”

Berubahlah wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena marah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Aliri wahai az-Zubair, lalu tahanlah air itu sampai ke pangkal-pangkal pohon kurma. Lalu alirkan air itu ke tetanggamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi hak az-Zubair menurut hukum yang jelas—ketika dibuat marah oleh orang Anshar tersebut, yang sebelumnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah mengarahkan keduanya kepada solusi yang lebih longgar bagi keduanya.

Az-Zubair berkata, “Tidak kusangka ayat-ayat ini turun kecuali atas kejadian itu …”[3]

Kejadian ini menunjukkan bahwa keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal muamalah juga harus diikuti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,

Dalil berikutnya dari hadits ialah yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتْم أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual-beli dengan ‘inah dan kalian mengikuti ekor-ekor sapi, kalian terlena dengan kebun kalian, lalu kalian tinggalkan jihad; niscaya Allah timpakan kehinaan pada kalian. Allah tidak akan cabut (kehinaan tersebut) sehingga kalian kembali kepada agama kalian.”[4]

Hadits ini memperingatkan dari muamalah yang menyelisihi Islam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam bagi yang melakukannya dengan kehinaan. Bukankah hal ini menunjukkan wajibnya mengikuti sunnah Nabi, termasuk dalam hal muamalah? Bukankah kita tahu pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir al-Qur’an dengan rekomendasi dari Allah subhanahu wa ta’ala? Orang yang tidak menerima tafsir Nabi terhadap al-Qur’an berarti ia mencela al-Qur’an, sekaligus mencela perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala yang memilih Nabi-Nya sebagai penafsir al-Qur’an.

Al-Auza’i berkata kepada Abu Muhammad Makhlad bin Husain, “Wahai Abu Muhammad, jika sampai kepadamu hadits dari Rasulullah, jangan ada dalam benakmu selainnya, jangan pula berpendapat dengan selainnya. Sebab, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan dari Rabb-Nya.”[5]

Az-Zuhri berkata, “Dari Allahlah risalah, kewajiban Rasul ialah menyampaikan, sedangkan kewajiban kita ialah menerima.”

Asy-Syafi’i berkata, “Semua hukum Nabi adalah hasil dari apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pahami dari al-Qur’an.”[6]

Atas dasar itu, sesatlah orang yang menerima hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dalam hal akidah namun tidak dalam hal hukum atau hanya dalam hal hukum dan praktik ibadah tetapi tidak dalam hal akidah.

Sesatlah orang yang tidak menerima hadits Nabi dalam hal muamalah seperti orang JIL, terutama Ulil Abshar Abdalla yang berkata, “Mengikuti Nabi tidak secara harfiah, yang harus diikuti prinsipnya.”[7]

Bahkan tanpa kikuk dia katakan, “Tidak ada hukum Tuhan, terutama dalam hal muamalah.”

Padahal kewajiban kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,

Taat pada apa yang ia perintah

Menjauhi apa yang ia larang

Percaya pada beritanya

Tidak beribadah kecuali dengan syariatnya.

 

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi

 


[1] Tafsir Ibnu Katsir

[2]  Sahih, HR. Muslim

[3] Sahih, HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitabut Tafsir”.

[4] Gambaran jual beli ‘inah adalah si A berkata kepada si B, “Aku beli motormu ini dengan harga 7 juta, tetapi uangnya sebulan lagi.” Lalu si A berkata lagi kepada si B saat itu, “Sekarang juga, kamu beli motor ini dariku dengan harga 6 juta kontan.” Ini hanya akal-akalan untuk riba karena hakikatnya sama dengan si A pinjam uang dari si B 6 juta nanti si A ganti 7 juta, satu bulan lagi.

[5] Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dinukil dari al-Adhwa’ al-Atsariyyah, 155

[6] Tafsir Ibnu Katsir

[7] Wawancara Ulil Abshar dengan Jawa Pos pada hari Ahad, 22 Desember 2002 M

bahaya JILpengingkar sunnahsunnah nabisunnah rasul