Tiada dakwah yang tidak membuat musuh gerah. Tiada seruan kebaikan kecuali ada yang melawan. Begitu pun mencegah sesuatu yang mungkar, niscaya akan ada yang ingkar.
Sudah menjadi watak dasarnya, manusia tidak suka disalahkan, lebih-lebih upaya mencegah kemungkaran dilakukan secara terang-terangan, dengan menjelek-jelekkan, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan. Alih-alih membuat objeknya sadar, bisa-bisa membuat pelaku kemungkaran justru emosinya terbakar. Lebih-lebih dia melakoni kemaksiatan yang sudah menjadi mata pencaharian.
Islam sejatinya penuh adab dan kelembutan. Memadamkan api tentu tidak bisa dengan minyak, tetapi dengan air yang menyejukkan. Bagaimana adab melawan kemungkaran, semua telah dituntunkan. Yang pertama dan utama adalah bertindak dengan ilmu.
Jadi, melawan kemungkaran tidak asal atau semata bermodal semangat. Membasmi kemungkaran harus penuh pertimbangan, menakar dampaknya, serta jeli melihat objek atau pelaku kemungkaran, apakah dia orang awam yang sekadar numpang cari penghasilan di sekitar tempat-tempat kemaksiatan, orang yang terpaksa atau hanya ikut-ikutan, atau memang dedengkot kemaksiatan. Yang tak kalah penting, kita harus menakar diri, benarkah kita adalah pihak yang memang berwenang untuk membasmi kemungkaran tersebut?
Baca juga: Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Kala seorang penyeru amar makruf nahi mungkar tiada memiliki ilmu, yang dikhawatirkan justru memperluas kerusakan. Agama pun terseret untuk dipertaruhkan. Kemaksiatan tak padam, para pelaku, bahkan bisa jadi aparat yang diambil kewenangannya, justru kian curiga atau antipati terhadap Islam.
Yang dimaukan dari amar makruf nahi mungkar adalah tumbuhnya kesadaran pelaku atau setidaknya muncul iktikad untuk meminimalkan/membatasi tindak kemungkarannya. Jika tujuan itu tidak tercapai, tetapi justru menyulut ketegangan yang lebih luas, berarti ada yang salah dengan amar makruf nahi mungkar kita.
Sudah banyak contoh, ketika amar makruf nahi mungkar dilakukan secara hikmah, tak hanya kemungkarannya yang tenggelam, tetapi dedengkot kemaksiatannya juga mendapat hidayah untuk mendalami Islam.
Intinya adalah bijak saat bertindak. Menentang perkara mungkar harus dengan cara yang benar, tidak dengan cara barbar, melawan kebatilan tidak bisa dengan kemaksiatan, serta menasihati pendosa tidak harus dengan cara mencelanya. Kita tetap dituntut menutup aib saudara-saudara kita yang masih muslim. Ini mencirikan nasihat yang tulus dan ikhlas, benar-benar yang dikehendaki adalah semata-mata kebaikan.
Baca juga: Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Dakwah perlu bijak, tetapi di satu sisi juga bukan sok bijak. Banyak orang yang bergaya sok bijak ketika aparat keamanan atau pemerintah daerah hendak menutup tempat hiburan malam, lokalisasi, dan yang semacamnya. Alasannya klise, bagaimana nasib pekerjanya pasca-penutupan? Betapa naïf mereka, kerusakan moral yang diproduksi oleh tempat-tempat kemaksiatan hendak dibandingkan dengan nilai rupiah penghasilan para pekerja “hiburan”.
Sesempit itukah rezeki Allah subhanahu wa ta’ala sehingga tidak ada pekerjaan selain berhubungan dengan kemaksiatan? Sudahkah mereka memperhitungkan biaya sosial yang timbul, seperti perceraian rumah tangga, rusaknya generasi muda kita, dan sebagainya?
Kemaksiatan apa pun bentuknya harus diberantas. Namun, tetap mengedepankan sikap bijak dan cerdas. Kita sebagai anggota masyarakat bisa terus mendukung tugas aparat keamanan, selama dalam batas syariat.