Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan

Berlebih-lebihan dalam segala hal tentu tak membawa manfaat apa pun. Demikian juga dengan berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan agama ini. Meski dilandasi dengan niat yang baik sekalipun, sikap ghuluw tak lain hanya akan membawa kita menuju kesesatan.

Manusia dengan tabiatnya memang suka tampil beda (eksklusif). Untuk mencapai keinginannya ini, biasanya ia akan berusaha mencari segala cara, tanpa memerhatikan apakah hal itu benar atau salah. Sehingga teramat wajar kalau manusia cenderung suka untuk dikatakan sebagai yang paling bagus, paling hebat, paling alim, dan berbagai macam kata yang memakai kata “paling”. Tabiat seperti inilah yang sering menjebak mereka sehingga terjatuh ke dalam sikap berlebih-lebihan (ghuluw) di satu sisi dan sikap meremehkan (tafrith) di sisi lain.
Ketika mereka bersikap demikian, terbukalah jalan menuju kesesatan, kekufuran, dan kesyirikan. Inilah awal penyebab kesyirikan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yaitu berlebih-lebihan dalam memosisikan seseorang yang menurut mereka memiliki kedudukan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Sikap berlebihan atau ghuluw seringkali menjadi alasan untuk menolak sebuah kebenaran. Bahkan tidak hanya sekadar menolak, namun menentang kebenaran tersebut. Ghuluw terkadang dijadikan batu loncatan untuk mencapai sebuah kedudukan dan pamor. Seringkali ghuluw dijadikan sebagai jerat pengikat hati antara sang guru dan murid untuk kemudian dijadikan jaring yang secara laten merusak keyakinan dan agamanya. Sang murid menjadi orang yang tunduk di hadapannya, atau tunduk di hadapan sebuah pohon, batu, makam-makam, tempat-tempat keramat, dan lainnya. Inilah bentuk ghuluw di dalam akidah.

Dari masjid, mushalla, atau tempat-tempat berkumpulnya kaum muslimin lainnya, kita dapat menyaksikan dan mendengar bentuk ibadah yang bermacam-macam. Juga zikir dengan suara dan nada yang beraneka ragam, seakan-akan masjid dan langgar-langgar tersebut sarat dengan ibadah. Namun bila kita memerhatikan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata berbagai corak ibadah tersebut tidak dikenal atau tidak pernah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dari mana asal semua itu? Inilah bentuk ghuluw dalam ibadah. Begitulah seterusnya, tidak ada satu pun dari sendi-sendi agama kecuali dimasuki oleh sikap ghuluw ini. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan di dalam sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ

“Berhati-hatilah kalian dari sifat berlebih-lebihan di dalam agama.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)

Ghuluw dalam Pandangan Agama

Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut. Apakah sebenarnya ghuluw itu? Bagaimanakah dampak negatifnya dalam kehidupan?

Ghuluw secara bahasa artinya melampaui batas. Sedangkan menurut syariat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim, 1/289) mendefinisikannya: “Melampaui batas dalam memuji dan mencerca, dengan cara menambahkan apa yang tidak sepantasnya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (al-Qaulul Mufid, 1/466) memberikan definisi yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan). (Syarah Masail al-Jahiliah, hlm. 85)

Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada dua tempat:

Pertama, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ

“Wahai sekalian ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian dan janganlah kalian mengucapkan atas nama Allah melainkan yang benar.” (an-Nisa’: 171)

Kedua, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas di dalam agama kalian dengan cara tidak benar’.” (al-Maidah: 77)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam syarahnya terhadap Kitab at-Tauhid mengatakan, “Sekalipun yang diajak berbicara oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah ahli kitab, namun arahannya umum untuk setiap umat sebagai suatu bentuk peringatan dari sifat ghuluw, sebagaimana perbuatan Nasrani terhadap Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dan perbuatan orang Yahudi terhadap ‘Uzair.” (Fathul Majid, 1/371)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala melarang ahli kitab dari ghuluw dan kultus individu. Hal ini banyak terjadi di kalangan Nasrani yang melampaui batas terhadap diri ‘Isa ‘alaihissalam, sehingga mereka mengangkatnya lebih dari martabat yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada diri beliau. Mereka memosisikan beliau dari kedudukannya sebagai seorang nabi menjadi sesembahan yang mereka sembah selain Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, mereka juga berlebih-lebihan dalam menyikapi para pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam (di antaranya para pendeta) yang mereka meyakini pada diri para pengikut tersebut, kesucian dari dosa. Mereka mengikuti setiap apa yang dipetuahkan oleh (para pendetanya), baik itu benar ataupun salah, kesesatan ataupun petunjuk, benar ataupun dusta. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, ‘Mereka menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta tersebut sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah’.” [an-Nisa: 171] (Tafsir Ibnu Katsir, 1/603)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 179) mengatakan hal yang semakna dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata, “Barang siapa dari umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nasrani, serta dia berlebih-lebihan di dalam agama baik dengan cara menambah maupun mengurangi, maka dia telah sama seperti mereka.” (Minhaj as-Sunnah, 1/28, Majmu’ Fatawa, 3/370—394)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah juga mengatakan, “Barang siapa berlebih-lebihan dalam menyikapi seorang makhluk sehingga menjadikannya memiliki kekuasaan tunggal dalam mengatur dan sebagainya, maka sesungguhnya dia telah menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. Hal itu termasuk sebesar-besar dosa syirik, karena hak-hak itu ada tiga:

  1. Hak yang hanya khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam hak ini. Itulah hak peribadatan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat, takut, berharap dsb.
  2. Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan hak-hak mereka, dan sebagainya.
  3. Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan beriman kepada rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta kepada Allah  subhanahu wa ta’ala dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 73)

Dari dua ayat di atas, jelaslah bahwa ghuluw dalam beragama, menyikapi sesuatu atau seorang yang alim dengan cara berlebihan sehingga meletakkannya pada martabat lebih dari kedudukannya sebagai manusia, merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)

Makna dari hadits ini: “Janganlah kalian memujiku sehingga kalian berlebih-lebihan terhadapku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa ‘alaihissalam yang pada akhirnya mereka mengakui adanya hak peribadatan bagi ‘Isa bin Maryam. Aku ini tidak lebih dari seorang hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Maka sifatilah diriku sebagaimana Rabb-ku mensifatiku. Katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”

Namun orang-orang musyrik (di masa kita ini) enggan dan selalu menyelisihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal-hal yang dilarangnya. Mereka menentang beliau dengan penyelisihan yang besar. Mereka menyerupai orang Nasrani dalam sifat ghuluw mereka berikut kesyirikannya. Mereka terjatuh pada perkara yang jelas-jelas dilarang. Mereka menampakkan sikap ghuluw terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menampakkan kesyirikannya, seperti dalam lantunan bait-bait syair mereka.

Siapa yang tidak mengenal al-Bushiri dan ucapan kufurnya dalam qashidah-nya al-Burdah ketika (dia seolah) mengajak berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Wahai semulia-mulia makhluk       

Siapa lagi tempat aku berlindung selainmu

Ketika terjadinya malapetaka yang menyeluruh

Jika engkau tidak menyelamatkan tanganku pada hari kiamat

Sebagai keutamaan darimu maka katakanlah, wahai orang yang tergelincir kakinya

sesungguhnya termasuk dari kedermawananmu adalah dunia dan akhirat

Dan termasuk ilmumu adalah ilmu al-Lauh (catatan takdir) dan al-Qalam (pena penulis takdir)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap berlebih-lebihan mereka melebihi orang Nasrani. Orang Nasrani mengatakan, ‘Isa adalah anak Allah’ dan ‘Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga dari yang tiga’.” (al-Qaulul Mufid, 1/81)

Demikianlah setan menampakkan kesyirikan yang besar di hadapan mereka sebagai bentuk cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)

Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i dalam al-Mujtaba, 5/268, Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 98, dan selain mereka. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Zhilalul Jannah, hlm. 63 hadits no. 98, beliau mengatakan, “Telah disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah.” Beliau juga mensahihkannya dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1283)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna) hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad (keyakinan) maupun amalan-amalan.”

Beliau menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang sebelum kita adalah agar tidak terjatuh pada perkara yang menyebabkan kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.

Macam-Macam Ghuluw

Sikap ghuluw kaitannya dengan perbuatan-perbuatan hamba, dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

Pertama, ghuluw i’tiqadi. Ghuluw dalam i’tiqad ini dilakukan oleh orang Nasrani terhadap ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Seperti juga ghuluw Syi’ah Rafidhah terhadap ‘Ali radhiallahu ‘anhu atau terhadap imam yang 12. Termasuk juga ghuluw Khawarij dalam mengafirkan orang-orang Islam hanya karena melakukan kemaksiatan-kemaksiatan atau dosa-dosa besar.

Kedua, ghuluw amali. Yaitu ghuluw yang terkait dengan amalan-amalan, baik amalan lisan maupun amalan anggota badan yang tidak terkait dengan i’tiqad. Contohnya, melempar jumrah dengan batu besar, melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus), atau bangun malam untuk shalat semalam suntuk.

Dari kedua jenis ghuluw ini, yang paling berbahaya dan besar adalah ghuluw i’tiqadi. (Bida’il I’tiqad wa Akhtharuha, hlm. 94)

Dalam memerangi sikap ghuluw ini, Islam sebagai agama wasathan (pertengahan) menyeru kepada keadilan sikap dan sifat. Islam mendudukkan setiap perkara sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai agama keadilan, Islam mencintai sikap yang adil dan tidak berlebih-lebihan. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan umat pilihan, agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul itu (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (al-Baqarah: 143)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ghuluw memiliki banyak macam. Di antaranya ghuluw dalam akidah, ghuluw dalam ibadah, ghuluw dalam muamalah (pergaulan), dan ghuluw di dalam adat.

Contoh ghuluw dalam akidah adalah ghuluw ahli kalam (filsafat) yang mereka menyelami (ilmu tersebut) begitu dalamnya, sehingga terjatuh ke dalam kebinasaan yang pasti. Adapun ghuluw dalam ibadah (contohnya) seperti ghuluw Khawarij dan Mu’tazilah yang berpendapat (bahwa seseorang) keluar dari Islam apabila ibadahnya ternodai.

Adapun ghuluw dalam muamalah contohnya mengharamkan perkara-perkara yang jelas halal dan melarang seseorang menambah lebih dari kewajiban-kewajibannya yang harus (dilaksanakan). Inilah bentuk ghuluw Sufi yang mengatakan bahwa barang siapa yang menyibukkan diri dengan dunia berarti bukan orang yang menginginkan akhirat. Mereka mengatakan, ‘Engkau tidak boleh membeli sesuatu lebih dari kebutuhanmu yang sangat.’

Adapun ghuluw dalam adat kebiasaan, contohnya engkau berpegang dengan sebuah adat kebiasaan yang dengannya engkau terhalang untuk beralih kepada adat baru yang lebih baik dari adat semula, maka hal yang seperti ini adalah ghuluw yang terlarang.” (al-Qaulul Mufid, 1/482, secara ringkas)

Bahaya Sifat Ghuluw

Sebagaimana pembahasan di atas, ghuluw dalam agama merupakan perkara yang sangat dibenci karena akan mengakibatkan kerusakan agama, diri, dan masyarakat. Di antara bahaya dan kerusakan dari sifat ghuluw ini adalah:

Pertama, melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana larangan Allah subhanahu wa ta’ala yang ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani, namun pada hakikatnya larangan tersebut untuk seluruh umat. Sebagaimana firman-Nya:

يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ

“Wahai sekalian ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian dan janganlah kalian mengucapkan atas nama Allah melainkan yang benar.” (an-Nisa’: 171)

 قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ ٧٧

“Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum kalian dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (al-Maidah: 77)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, 1/215 dan 437, an-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani sebagaimana di atas)

Kedua, ghuluw telah membinasakan umat-umat terdahulu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana telah disebutkan di atas:

فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Maka sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan ghuluw di dalam agama.”

Ketiga, ghuluw merupakan jembatan menuju kekufuran dan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, di dalam kitabnya at-Tauhid, menulis sebuah judul “Di Antara Sebab-Sebab Kekufuran Bani Adam dan Sikap Meninggalkan Agama oleh Mereka, adalah Berlebih-lebihan dalam Menyikapi Orang-Orang Saleh.” Di dalam Masa’il al-Jahiliah beliau juga menyebutkan, “Masalah ketiga belas (sebagai ciri kehidupan jahiliah): berlebih-lebihan dalam menyikapi ulama dan orang-orang saleh.”

Keempat, ghuluw merupakan asas tunggal kesyirikan orang-orang musyrik jahiliah serta kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani berikut kesesatan firqah-firqah yang ada di tengah-tengah kaum muslimin.

Kelima, ghuluw akan mengangkat orang yang dikultuskan hingga mencapai martabat yang sangat tinggi atau menghinakannya hingga ke martabat yang sangat rendah.

Keenam, ghuluw akan mengantarkan kepada penyembahan yang dipuja-puja.

Ketujuh, ghuluw akan menghalangi (seseorang) untuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedelapan, ghuluw akan menimbulkan keangkuhan dan kesombongan orang yang dikultuskan. (lihat sebagian faedah dalam al-Qaulul Mufid, 1/469)

Seruan

Melihat bahaya yang ditimbulkan oleh ghuluw yang banyak terjadi di masyarakat, maka wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkannya, dan tampil untuk memerangi sikap ghuluw ini sebagaimana para nabi dan rasul diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memerangi kemungkaran yang besar ini. Kita harus kembali kepada prinsip-pinsip agama yang menginginkan kemudahan bagi setiap penganutnya serta keringanan dalam menjalankan ajaran-ajarannya.

Berpeganglah dengan agama yang adil (pertengahan), niscaya umat ini akan menjadi umat yang adil dan lurus baik dalam perkataan, perbuatan, maupun dalam keyakinan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

ekstrem dalam beragamaghuluw