Air yang Menyucikan

Di negeri kita, alhamdulillah, air mudah dijumpai. Salah satu manfaat terbesar dari air adalah untuk bersuci. Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita untuk memahami mana air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.

Air merupakan salah satu nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar nilainya bagi kehidupan. Hampir seluruh makhluk di muka bumi membutuhkan air untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga sering kita mendengar orang mengatakan air adalah sumber kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah berfirman:

وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ

“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (al-Anbiya’: 30)

Yakni segala sesuatu yang hidup baik manusia, hewan, maupun tumbuhan, membutuhkan air demi kehidupan dan pertumbuhannya serta tidak dapat lepas darinya, sehingga tidak ada kehidupan di muka bumi tanpa air. (Ruhul Ma’ani, 17/36)

Sementara di dalam syariat yang mulia ini air juga digunakan sebagai alat bersuci, untuk mandi, berwudhu, dan yang selainnya. Air juga merupakan asal yang digunakan dalam thaharah (bersuci).

Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ لِّيُطَهِّرَكُم

“Dia menurunkan bagi kalian air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya….” (al-Anfal: 11)

وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ طَهُورٗا ٤٨

“Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai penyuci.” (al-Furqan: 48)

Dua ayat yang mulia ini menerangkan bahwasanya air yang turun dari langit itu suci dan dapat menyucikan najis serta dapat menghilangkan hadats baik hadats besar terlebih lagi hadats kecil. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/28, Tafsir Ibnu Katsir, 2/304, Syarhul ‘Umdah, hlm. 60—61)

Air yang menyucikan ini tidak sebatas air yang turun dari langit, tetapi juga air yang keluar dari permukaan bumi seperti air sungai, air sumur, dan sebagainya. (al-Ausath, 1/246)

Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya, “Air yang turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat menyucikan sekalipun berbeda-beda warna, rasa, dan baunya….” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/29)

Demikian pula air laut, suci dan dapat menyucikan, bisa digunakan untuk wudhu dan mandi (al-Muhalla, 1/220, al-Mughni, 1/23, Tuhfatul Ahwadzi, 1/188, ‘Aunul Ma’bud, 1/107). Walaupun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi, namun telah datang berita yang pasti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh para sahabatnya tentang berwudhu dengan air laut, beliau bersabda:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu airnya suci dapat menyucikan dan halal bangkainya.”[1]

Demikian dinyatakan oleh al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah. (al-Ausath, 1/247)

Kata الطَّهُوْرُ dalam hadits di atas bila ditinjau secara bahasa Arab diambil dari wazan (timbangan) فَعُولٌ yang merupakan sighah mubalaghah (bentuk kata dalam bahasa Arab untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu) dari kata طَاهِرٌ dan maksudnya adalah kesucian air laut itu melampaui dirinya, yakni ia dapat menyucikan yang selainnya (Syarhul Bulughul Maram, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)

Pada satu keadaan, terkadang kita dapatkan air yang semula suci tercampur dengan sesuatu yang najis. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana keberadaan air tersebut? Apakah tetap suci dan dapat menyucikan atau air itu menjadi najis?

Ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan air yang tercampur dengan najis tidaklah menjadi najis melainkan jika berubah sifatnya secara mutlak, warna, bau, ataupun rasanya, baik air itu banyak maupun sedikit. (Sailul Jarrar, 1/54)

Dalil dari pendapat ini antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya.” (HR. Ahmad 3/16, 31, an-Nasa’i no. 324, Abu Dawud no. 60, dan at-Tirmidzi no. 66. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 315, Shahih Abu Dawud no. 60, dan Shahih at-Tirmidzi no. 56)

Maksud hadits di atas, selama air tersebut belum berubah salah satu sifatnya karena bercampur/kemasukan benda yang najis maka ia tetap dalam kesuciannya. Adapun bila mengalami perubahan maka air tersebut bisa menjadi najis. (Majmu’ Fatawa, 21/32—33, al-Ikhtiyarat hlm. 298, al-Ausath, 1/260, Nailul Authar, 1/56, al-Mughni, 1/30, al-Majmu’, 1/163)

Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma dari kalangan sahabat, serta pendapat al-Hasan al-Bashri, Ibnul Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri, an-Nakha’i, Jabir bin Zaid, Malik, dan yang lainnya rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/56)

Dengan keterangan di atas, kita dapatkan dua macam air:

  1. Air yang suci menyucikan
  2. Air yang najis

Pendapat ini merupakan mazhab Zhahiriyah dan sekelompok ahlul hadits, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Syarhul Bulughul Maram, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh).

Namun kita dapati ada ulama yang membagi air menjadi tiga macam:

  1. Air suci yang dapat menyucikan
  2. Air yang suci namun tidak dapat menyucikan[2]
  3. Air yang najis

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Namun, wallahu ta‘ala a‘lam, yang menenangkan hati dalam permasalahan ini adalah pendapat yang membagi air hanya dua macam. Karena menetapkan adanya air suci namun tidak menyucikan perlu mendatangkan dalil, sementara tidak ada dalil dalam hal ini.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar air itu terbagi dua saja, suci menyucikan dan najis. Sedangkan air yang suci namun tidak menyucikan tidak ada wujudnya dalam syariat ini. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalilnya adalah karena tidak adanya dalil dalam masalah ini. Kalau air jenis ini ada dalam syariat niscaya urusannya akan diketahui serta dipahami dan terdapat hadits-hadits yang jelas serta gamblang menyebutkannya. Karena urusan ini bukanlah permasalahan yang remeh, namun berkaitan dengan pilihan apakah seseorang harus shalat dengan berwudhu menggunakan air atau ia harus tayammum karena tidak mendapatkan air yang dapat menyucikannya (wudhu).” (asy-Syarhul Mumti’, 1/44)

Lalu bagaimana dengan air yang dicampur dengan teh, susu, sirup, ataupun benda-benda suci lainnya, apakah bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi? Bila tidak bisa, berarti ada air suci namun tidak bisa menyucikan?

Air yang suci itu bisa digunakan untuk bersuci sekalipun kemasukan atau bercampur dengan benda yang suci selama masih melekat padanya nama air, belum berganti kepada nama lain, dan benda yang mencampurinya itu tidak mendominasi air tersebut. (Majmu’ Fatawa, 21/25, al-Muhalla, 1/199, al-Mughni, 1/22, Sailul Jarrar, 1/58)

Air bila telah bercampur dengan teh telah berubah namanya menjadi teh bukan lagi air mutlak. Begitu pula jika bercampur dengan susu ataupun sirup (tidak lagi disebut air). Dengan demikian, air (yang keluar dari kemutlakannya) ini tidak bisa digunakan untuk bersuci. (al-Muhalla, 1/202)

Adapun pembahasan air yang kita bawakan di sini adalah air mutlak, bukan air yang telah berubah namanya karena adanya benda suci yang bercampur atau dimasukkan ke dalamnya. Air mutlak inilah yang bisa digunakan untuk menghilangkan hadats, sedangkan benda cair lainnya tidak bisa menghilangkan hadats (tidak bisa digunakan untuk bersuci, wudhu, dan mandi). (Syarhul ‘Umdah, 1/61—62)

Ini merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud, dan selain mereka. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh al-Hasan, ‘Atha ibnu Abi Rabah, Sufyan ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, dan selain mereka rahimahumullah. (al-Muhalla, 1/202, 220)

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا

“Lalu jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menggunakan tanah (tayammum) bila tidak mendapatkan air untuk wudhu atau mandi janabah/haid, sekalipun kita masih bisa mendapatkan benda cair atau benda yang mengalir lainnya. (asy-Syarhul Mumti’, 1/22, 38)

 

Air Musta’mal

Air musta’mal adalah air yang telah dibasuhkan pada anggota badan kemudian berjatuhan atau bertetesan dari anggota badan tersebut, bukan air yang telah diciduk ataupun sisanya. Misalnya engkau mencuci wajahmu, maka air yang bertetesan dari wajahmu itu adalah air musta’mal. (asy-Syarhul Mumti’, 1/28)

Hukum air yang musta’mal ini diperselisihkan oleh ulama, suci atau tidaknya. Namun yang rajih adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama, yaitu air musta’mal ini suci, kecuali bila berubah salah satu dari tiga sifatnya karena benda najis. Adapun dalil jumhur sebagai berikut.

  1. Perbuatan para sahabat yang mengambil air yang berjatuhan dari air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka mengusapkannya ke badan mereka (Sahih, al-Bukhari no. 187).

Seandainya air tersebut najis niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membiarkan perbuatan tersebut.

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mandi janabah bersama istrinya dalam satu bejana, sebagaimana disampaikan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْتَرِفُ جَمِيْعًا

“Aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari satu bejana, kami menciduk air dari bejana tersebut secara bersama-sama” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 273 dan Muslim no. 321)

Sementara diketahui bila seseorang mandi pasti ada air dari tubuhnya yang jatuh kembali ke tempat penampungan air (bak ataupun bejana). Bila air tersebut najis niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menggunakan air tersebut untuk mandi.

  1. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

“Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)

Bila seorang muslim itu tidak najis, maka air yang bertetesan dari tubuhnya atau sekadar disentuhnya tidak mungkin menjadi najis.

Sementara Abu Hanifah rahimahullah menyelisihi pendapat jumhur ini dalam satu riwayat darinya. Demikian pula Abu Yusuf muridnya. Mereka berpendapat najisnya air musta’mal ini dengan bersandarkan dalil yang lemah. (Majmu’ Fatawa, 1/204, Nailul Authar, 1/43, 46)

Ibnu Hazm rahimahullah di dalam al-Muhalla (1/186) membantah keras pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang mengatakan najisnya air musta’mal.

Jumhur ulama kemudian berselisih, apakah air musta’mal yang suci itu dapat menyucikan atau tidak?

Kelompok pertama berpendapat air musta’mal itu suci tapi tidak menyucikan, sebagaimana dinukilkan satu riwayat dari Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, serta merupakan pendapat al-Laits, al-Auza‘i, dan selain mereka.

Kelompok kedua sebagaimana pendapat al-Hasan, ‘Atha, an-Nakha’i, az-Zuhri, Makhul, ahlu zhahir, juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syafi’i serta Malik, mengatakan bahwasanya air musta’mal itu suci dan menyucikan.

Pendapat kedua inilah yang rajih dengan dalil antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang bisa menajisinya.” (al-Mughni, 1/28, Nailul Authar, 1/47—48)

Adapun pendapat kelompok pertama dijawab dengan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُوْنَةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan sisa air (istrinya) Maimunah radhiallahu ‘anha.” (Sahih, HR. Muslim no. 323)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Bolehnya berwudhu dan mandi junub dengan air musta’mal dan kebolehannya di sini adalah sama saja baik didapatkan air lain yang bukan air musta’mal maupun tidak didapatkan.” (al-Muhalla, 1/183)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا

“Apabila kalian sakit, sedang safar (bepergian jauh), atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar atau kalian menyentuh wanita (jima’) lalu kalian tidak mendapatkan air untuk bersuci maka bertayammumlah dengan menggunakan debu yang bersih/suci.” (al-Ma’idah: 6)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan air secara umum, tidak mengkhususkannya.” (al-Muhalla, 1/184)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan larangan untuk bersuci dengan menggunakan air yang diistilahkan dengan air musta’mal. Karena air tersebut tidaklah keluar dari air mutlak hanya karena telah digunakan oleh orang lain. Sehingga kesimpulannya air itu suci dan menyucikan. Oleh karena itu, siapa yang menyatakan air tersebut telah keluar dari kesuciannya atau tidak dapat menyucikan lagi maka pernyataannya itu tidak bisa diterima kecuali bila ia bisa mendatangkan dalil terhadap permasalahan ini….” (Sailul Jarrar, 1/57)

 

Apakah Air yang Najis Bisa Disucikan?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa air yang najis bisa menjadi air yang suci dan menyucikan bila telah hilang kenajisan yang mencampuri dan mengubah air tersebut dengan menggunakan cara apa pun, sama saja baik airnya sedikit maupun banyak. Ketika najis hilang pada air tersebut maka airnya menjadi suci. (asy-Syarhul Mumti’, 1/47)

 

Keyakinan Tidak Dapat Tergeser oleh Keraguan

Bila kita ragu terhadap air, apakah ia suci atau najis, maka kita kembali kepada hukum asal bahwa air itu suci. Adapun keraguan yang timbul setelah adanya keyakinan, apakah airnya ternajisi atau tidak, maka tidak perlu dihiraukan karena hukum air tersebut tetap suci. (Syarhul ‘Umdah, 1/83, al-Furu’, 1/61, Sailul Jarrar, 1/59—60)

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (al-Mughni, 1/43).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan di dalam al-Majmu’ (1/224) bahwa dalil dalam hal ini adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu tentang seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia mendapatkan angin yang berputar di dalam perutnya ketika sedang shalat. Namun ia bingung, apakah angin itu keluar dari duburnya ataukah tidak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

لا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

“Jangan ia berpaling dari shalatnya (membatalkannya) hingga ia mendengar suara (kentutnya) atau mencium baunya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk membangun keyakinannya di atas hukum asal yaitu asalnya dia dalam keadaan suci (berwudhu). Adapun ia kentut atau tidak maka itu adalah keraguan yang muncul belakangan. Hukum asal thaharah-nya itu baru hilang bila ia yakin akan keluarnya angin dari duburnya, baik dengan mendengar suaranya maupun mencium baunya.

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari


[1] HR. Abu Dawud no. 76, at-Tirmidzi no. 69, Ibnu Majah no. 380, 3237, an-Nasa’i no. 330, 4275, dan selain mereka. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil no. 9 dan Silsilah ash-Shahihah no. 480.

[2] Yaitu air suci yang bercampur dengan benda yang suci sehingga berubah salah satu sifatnya. Air semacam ini tetap suci namun tidak dapat menyucikan, menurut pendapat ini.

air musta'malair sucibersucithaharah