Salah satu Asmaul Husna adalah الْحَكِيمُ (al-Hakim). Artinya, Yang memiliki hikmah yang tinggi dalam penciptaan-Nya dan perintah-perintah-Nya, Yang memperbagus seluruh makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمًا لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونٍ
“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (al-Maidah: 50)
Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia. Allah juga tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tiada manfaatnya.
Arti Nama Allah Al-Hakim
Di antara arti nama Allah al-Hakim ialah Yang memiliki hukum di dunia dan akhirat. Milik-Nyalah tiga macam hukum, tiada yang menyertai-Nya. Dialah yang menghukumi di antara hamba-Nya, dalam hal (1) syariat-Nya, (2) takdir-Nya, dan (3) pembalasan-Nya. Hikmah artinya ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 947)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَحۡكَمِ ٱلۡحَٰكِمِينَ
“Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (at-Tin: 8)
وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡحَٰكِمِينَ
“Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80)
Baca juga: Arti Nama Allah: Al-Aziz
Dalam hadits dari Mush’ab bin Saad, dari ayahnya, dia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ. قَالَ: قُلْ: لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ. قَالَ: فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
Seorang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia berkata, “Ajarkan kepadaku sebuah ucapan yang bisa aku amalkan.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah,
لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Tiada ilah yang benar selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Allah Mahabesar dengan sebesar-besarnya, Mahasuci Allah Rabb sekalian alam. Tiada daya untuk memindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Memiliki Hikmah.”
Arab badui itu mengatakan, “Ucapan-ucapan itu untuk Rabbku. Lantas apa yang untukku?”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Ucapkanlah,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
‘Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikan petunjuk kepadaku dan berikan rezeki kepadaku’.” (HR. Muslim, 4/2074)
Baca juga: Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam.
-
Hikmah dalam penciptaan-Nya.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan makhluk-Nya dengan benar dan mengandung kebenaran. Allah menciptakan seluruh makhluk dengan sebaik-baik aturan. Allah subhanahu wa ta’ala juga mengaturnya dengan aturan yang paling sempurna. Kepada setiap makhluk, Allah subhanahu wa ta’ala berikan pula postur yang sesuai dengannya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan bentuk masing-masing kepada setiap bagian dari makhluk itu dan setiap anggota tubuh dari makhluk itu. Jadi, semua orang tidak akan melihat ada kekurangan atau cacat pada ciptaan-Nya.
Seandainya seluruh makhluk, dari awal hingga akhir, bersatu padu untuk mengusulkan suatu bentuk penciptaan seperti ciptaan Allah atau yang mendekati ketetapan-Nya pada makhluk-Nya dalam hal keindahan dan keteraturan, mereka tidak akan mampu. Dari mana mereka akan mampu melakukannya meski sedikit saja?
Mengetahui banyak hal dari hikmah-hikmah Allah subhanahu wa ta’ala dan melihat sebagian keindahan dan ketelitian yang ada padanya, sudah cukup bagi para ahli hikmah atau para cendekiawan. Ini merupakan suatu hal yang sangat diketahui secara pasti, berdasarkan keagungan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang telah diketahui. Selain itu, menelusuri hikmah-hikmah-Nya dalam hal penciptaan dan perintah-perintah-Nya juga sudah mencukupi.
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menantang hamba-hamba-Nya untuk memperhatikan dan berulangkali melihat dan memperhatikan lagi: Apakah mereka mendapati ada kekurangan dan cacat pada makhluk-Nya? Allah menegaskan bahwa pandangan mereka tentu akan kembali dalam keadaan lemah untuk mengkritik sedikit saja dari makhluk-Nya.
-
Hikmah dalam syariat dan perintah-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala membuat syariat-syariat dan menurunkan kitab-kitab. Dia juga mengutus para rasul agar mereka memperkenalkan Allah kepada para hamba-Nya dan agar mereka beribadah kepada-Nya. Hikmah mana lagi yang lebih agung dari ini? Dan keutamaan serta kemuliaan apa yang lebih besar darinya?
Sesungguhnya, mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan beribadah kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya, mengikhlaskan amal untuk-Nya, memuji-Nya, bersyukur kepada-Nya, menyanjung-Nya, itu merupakan karunia-Nya yang terbesar kepada para hamba-Nya secara mutlak. Itu adalah keutamaan terbesar bagi orang yang Allah subhanahu wa ta’ala beri karunia. Sekaligus, itu adalah kebahagiaan yang sempurna bagi kalbu dan arwah. Selain itu, hal itu juga merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal.
Kalaulah tidak ada hikmah dalam hal syariat-Nya dan perintah-Nya selain hikmah yang agung ini (mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya), hal itu sudah cukup. Padahal, itu sejatinya merupakan asal-usul segala kebaikan dan kenikmatan yang paling sempurna. Untuk itulah makhluk diciptakan. Karena hal itu pula makhluk berhak mendapatkan balasan. (Bahkan, itu juga sebab) penciptaan surga dan neraka.
Baca juga: Surga dan Neraka Kekal
Demikianlah. Padahal syariat dan agama-Nya mencakup segala kebaikan. Berita-berita-Nya memenuhi kalbu dengan ilmu, yakin, dan iman. Dengan itulah kalbu menjadi istiqamah dan selamat dari penyelewengan. Selain itu, syariat dan agama-Nya juga membuahkan segala akhlak yang indah, amal saleh, petunjuk, dan bimbingan.
Perintah-perintah dan larangan-Nya mencakup hikmah, maslahat, dan perbaikan tertinggi di dunia dan akhirat. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah memerintahkan kecuali sesuatu yang maslahatnya murni (tidak mengandung mafsadat) atau lebih besar (dari mafsadatnya). Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang kecuali sesuatu yang mafsadat (kerusakan)nya murni atau lebih besar (dari maslahatnya).
Di antara hikmah syariat Islam—di samping sebagai maslahat terbesar bagi kalbu, akhlak, amal, serta istiqamah dalam jalan yang lurus—ia juga menjadi maslahat terbesar bagi (urusan) dunia. Urusan dunia tidak akan menjadi baik dengan kebaikan yang hakiki, kecuali dengan agama yang hak, yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ini bisa dirasakan dan disaksikan oleh setiap orang yang berakal.
Baca juga: Hikmah Allah dalam Halal dan Haram
Ketika umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menegakkan agama ini, baik dalam hal pokok maupun cabangnya, seluruh petunjuk dan bimbingannya, sungguh keadaan mereka akan sangat baik dan mapan. Akan tetapi, tatkala mereka melenceng dari agama, sering meninggalkan petunjuknya, dan tidak mengambil bimbingannya yang luhur, urusan dunia mereka menjadi kacau sebagaimana kacaunya agama mereka.
Lihatlah pula umat-umat lain yang kekuatan, kemajuan, dan peradabannya telah mencapai tingkat tinggi. Ketika mereka kosong dari roh agama, rahmat, dan keadilannya, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya. Kejelekannya lebih besar daripada kebaikannya. Ilmuwan dan politikus tidak mampu menghalau kejahatan yang muncul. Bahkan, mereka tidak akan mampu sama sekali, selama mereka tetap dalam keadaan semacam itu.
Oleh karena itu, di antara hikmah-Nya, agama dan Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah bukti terbesar atas kebenaran (kenabian)nya dan kebenaran syariat yang dibawanya. Sebab, (syariat agama beliau) tertata dan sempurna. Sebuah kebaikan tidak akan menjadi baik kecuali dengan agama beliau. (Syarh al-Qashidah an-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras, 2/84—86)
Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras juga menyebutkan makna lain, yaitu:
“Al-Hakiim bermakna al-Haakim, yang berarti Yang memiliki hukum. Maksudnya, yang menetapkan bahwa sesuatu itu harus demikian atau tidak demikian. Atau bermakna al-Muhkim, yakni Yang mengokohkan sesuatu.” (Syarh al-Qashidah an-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras, 2/81)
Buah Mengimani Nama Al-Hakim
Di antara buah mengimani nama ini adalah bahwa kita harus mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala karena Dia memberikan hidayah kepada kita untuk menjalankan agama ini. Sebab, ternyata seluruh ajarannya penuh dengan hikmah.
Selain itu, kita juga harus bersyukur dan bersabar terhadap semua ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, semua ketentuannya juga penuh dengan hikmah.
Mengimani nama Allah al-Hakim juga membuahkan ketundukan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, kita semua berada di bawah hukum-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Ustadz Qomar, Z.A., Lc.)