Pengetahuan tentang najis amatlah penting bagi setiap muslim karena permasalahan tersebut sangat berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuan, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa malah dianggap najis dan sebaliknya, menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim. Sebab, ia berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Contoh yang paling mudah adalah ketika seseorang hendak menegakkan shalat. Dia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats ataupun najis.
Namun, sangat disayangkan, banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini. Padahal masalah ini telah sering dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan tentang jenis-jenisnya, secara rinci.
Terkadang, sesuatu yang najis akan disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Pada waktu lain, sesuatu yang sebetulnya bukan najis malah dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Baca juga: Perbedaan Hukum Bersuci dari Hadats & dari Najis
Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Beberapa dari najis tersebut ada yang disepakati oleh para ulama bahwa ia memanglah najis. Namun, tak sedikit pula yang diperselisihkan kenajisannya: apakah termasuk sesuatu yang najis atau bukan.
Oleh karena itu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, kita akan mengupasnya satu per satu. Kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa saja yang disepakati oleh para ulama sebagai najis—sebatas pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
Najis yang Disepakati Ulama
-
Kotoran (tinja) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia telah diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu. Beliau menceritakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal. Tiba-tiba, beliau shallallahu alaihi wa sallam melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau. Perbuatan ini lalu diikuti oleh para sahabat.
Selesai shalat, beliau shallallahu alaihi wa sallam mempertanyakan perbuatan para sahabatnya tersebut (mengapa ikut melepas sandal). Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga memberitahukan alasan beliau melepas sandalnya, yaitu Malaikat Jibril mengabarkan bahwa pada sandal beliau terdapat kotoran.
Kemudian, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا أَذًى، فَلْيُمِطْ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Jika ia melihat ada kotoran (tinja) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah, kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Ahmad. Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini dalam karya beliau, al-Jami’ ash-Shahih mimma Laisa fi ash-Shahihain juz 1, hlm. 526, “Ini adalah hadits sahih. Para periwayatnya ada dalam Shahih al-Bukhari.”)
Adapun najisnya kencing manusia telah dijelaskan pula dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang diriwayatkan dalam “Shahihain” (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Adapun salah satu dari keduanya (diazab karena) tidak menjaga diri dari kencingnya.” (HR. al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini, banyak ataupun sedikit, telah disepakati oleh para ulama.
Adapun Abu Hanifah, tentang kencing, beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, ini tidak masalah. Namun, sebagaimana yang diterangkan di atas, kencing manusia, banyak ataupun sedikit, tetaplah najis. Dalilnya sudah jelas. Najisnya juga merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana yang disebutkan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim. Maka dari itu, pendapat Abu Hanifah adalah tertolak.
Kencing Bayi Laki-Laki
Berbeda halnya dengan kencing bayi laki-laki yang masih menyusu dan belum memakan makanan tambahan selain kurma untuk tahnik[1] dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing bayi laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan juga najis, sebagaimana pernyataan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim. Akan tetapi, najisnya ringan.
Dalilnya adalah karena cara membersihkannya yang juga ringan, seperti disebutkan dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan berikut ini.
أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
“Ummu Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Tiba-tiba, anak itu kencing di baju beliau. Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya.
Dalam lafaz lain, “Lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287)
Walaupun najis tersebut ringan, ia masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air pada tempat yang terkena, sesuai dengan hadits di atas.
Kotoran dan Kencing Hewan
Adapun kotoran dan kencing hewan, hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan—baik yang dagingnya boleh dimakan maupun tidak—adalah najis. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam asy-Syafi’i.
Sebagian ulama yang lain berpendapat, yang najis hanyalah kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya (haram).
Pendapat yang lain dari para ulama dan—wallahu a’lam bish-shawab—ini adalah pendapat yang kuat: pada asalnya, semua kotoran hewan adalah suci, kecuali jika ada nas yang mengatakan bahwa ia najis, barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir.
Imam an-Nawawi menukilkan pendapat ini dalam Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-Nakha’i, dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Imam asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan ad-Darari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang wujudnya kotor adalah najis; hingga ada nas yang menerangkan kenajisannya.
Misalnya, kotoran cicak. Karena tidak ada nas yang menunjukkan kenajisannya, itu bukan najis. Namun, apabila ia dikatakan sebagai kotoran (sesuatu yang kotor), tahi cicak memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti yang kita ketahui, kencing unta memang kotoran, tetapi ia bukan najis. Bahkan, ada riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk meminum air kencing unta.
“Sekelompok orang dari Bani Akl (Bani Urainah) datang menemui Nabi. Akan tetapi, mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya. Beliau menyuruh mereka untuk meminum air kencing dan susunya. Mereka pun melakukannya.
Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan meminum susu ternak itu. Kemudian datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang. Rasulullah lantas memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya, mereka didatangkan ke hadapan Nabi. Beliau lalu memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, matanya dicungkil, dan mereka dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta minum, tetapi tidak diberi minum.” (Shahih al-Bukhari no. 233 dan Shahih Muslim no. 1671)
-
Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan air mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa. Ia keluar ketika syahwat seseorang sedang bergejolak. Madzi bisa keluar sebelum dia berjimak dengan istrinya, bisa juga di luar jimak.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi adalah najis. Demikian yang dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.
Dalil lain yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits Ali radhiallahu anhu. Ali radhiallahu anhu menyuruh seorang sahabat, Miqdad bin al-Aswad, untuk menanyakan perihal madzi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun menjawab,
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ihkam, “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan seseorang yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi bisa menimpa laki-laki dan wanita. Namun, ia lebih sering dan mayoritasnya terjadi pada wanita, seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
-
Wadi
Wadi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hukum wadi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis.
Imam an-Nawawi rahimahullah, di dalam kitab al-Majmu’, menukilkan ijmak (kesepakatan ulama) bahwa wadi adalah najis. Beliau mengatakan, “Umat ini telah bersepakat tentang najisnya madzi dan wadi.”
-
Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita. Akan tetapi, masih ada di antara mereka yang belum mengetahui apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan. Padahal perkara ini sangat penting bagi mereka. Dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid adalah hadits Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahu anha. Beliau menceritakan,
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ، كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, jika pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus ia lakukan?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya. Kemudian ia (bisa) shalat memakai pakaian tersebut.” (HR. Imam al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no. 110)
Imam ash-Shan‘ani rahimahullah, di dalam Subulus Salam—setelah menyebutkan hadits di atas—berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis berdasarkan nas yang ada. Bahkan, Imam an-Nawawi telah menukilkan adanya ijmak dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
-
Bangkai
Para ulama juga telah bersepakat tentang kenajisan bangkai. Demikian yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid dan Imam an-Nawawi dalam al–Majmu’.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit telah disamak, hal itu sudah menyucikannya.” (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) adalah najis. Apabila ingin disucikan, harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis, tentu bangkainya lebih pantas lagi untuk dihukumi najis.
Akan tetapi, ada beberapa bangkai yang dikecualikan—yakni tidak najis:
a. Bangkai manusia
Dalilnya adalah keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
b. Bangkai hewan laut
Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ
“Dihalalkan bagi kalian, binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut … ” (al-Maidah: 96)
Imam ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma tentang tafsir dari ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan shaidul bahri (binatang buruan dari laut) adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup, sedangkan tha’amuhu (makanan dari hasil laut) adalah binatang itu diambil dalam keadaan sudah mati (telah menjadi bangkai).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang laut,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Ia suci airnya dan halal bangkainya.” (Sahih. HR. Ashabus Sunan dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab beliau, ash-Shahihah, 1/480)
c. Setiap hewan yang tidak memiliki darah
Maksudnya, hewan yang darahnya tidak mengalir ketika dibunuh atau terluka, seperti lalat, belalang, kalajengking, dan selainnya. Dalilnya adalah hadits berikut ini.
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ
“Apabila seekor lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang dari kalian, hendaknya ia celupkan lalat tersebut lalu buanglah.” (HR. al-Bukhari no. 3320)
Imam ash-Shan‘ani rahimahullah berkata, “Telah diketahui bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air atau makanan. Terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Oleh karena itu, jikalau lalat tersebut memang membuat suatu makanan menjadi najis, niscaya makanan tersebut rusak. Namun, Nabi shallallahu alaihi wa sallam justru memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusaknya.” (Subulus Salam)
Ketiga hal di atas sebenarnya ada perbedaan pendapat ulama tentang kenajisannya. Namun, pendapat yang kuat—berdasarkan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis. Wallahu a‘lam bis-shawab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui urusan-uran penting dalam agamanya, khususnya tentang benda-benda yang najis. Dengan demikian, ia tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Tahnik adalah mengunyah sesuatu—dalam hal ini kurma—sampai lumat, kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir.
(Ustadz Abu Ishaq Muslim)