Telah diuraikan secara panjang lebar tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah. Kita sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba. Berikut ini saya sajikan tulisan kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.
Hukum Bekerja di Bank (Syariah)
Berikut ini fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.
“… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab, bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)
Disebutkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulisnya, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan,
هُمْ سَوَاءٌ
“(Dosa) mereka sama.”
Baca juga: Riba Mendatangkan Petaka
Gaji yang telah Anda terima halal bagi Anda apabila sebelumnya Anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syariatnya. Dasarnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥ يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (al-Baqarah: 275—276)
Baca juga: Harta dari Penghasilan Haram
Namun, apabila Anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, seyogianya gaji yang Anda terima disalurkan untuk proyek-proyek kebajikan dan menyantuni orang-orang fakir, disertai dengan tobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan tobat nasuha, Dia akan menerima tobatnya dan mengampuni kesalahannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (at-Tahrim: 8)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Dan bertobatlah kalian semua, wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (an-Nur: 31) (Fatawa Syaikh Ibnu Baz, “Kitab ad-Da’wah”, 2/195—196; lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hlm. 128—130)
Baca juga: Syarat Tobat Nasuha
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengeluarkan fatwa yang serupa. Bisa dilihat dalam Fatawa Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hlm. 128).
Demikian pula fatwa al-Lajnah ad-Daimah (13/344—345) yang diketuai oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Wakil Ketua: Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Mani’.
Demikian juga penjelasan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam kitabnya, Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan) dan berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Silakan lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hlm. 133).
Bahkan, hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi. Demikian fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Silakan lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hlm. 132—133).
Ancaman Keras bagi Pihak yang Terlibat Praktik Riba
-
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (al-Baqarah: 275)
-
Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 278—279)
-
Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi mendapatkan doa laknat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Jabir[1] radhiallahu anhu.
-
Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ-فَذَكَرَ مِنْهَا:-أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Dalam Kitabullah tidak ada sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hlm. 125)
Harta Riba Tidak Berkah dan Berujung pada Kehancuran
Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam firman-Nya,
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
-
Pemusnahan di dunia secara hakiki.
Hal ini terjadi dalam bentuk kehancuran harta tersebut atau hilang berkahnya. Dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidak ada seseorang yang memperbanyak riba kecuali akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah; Syaikh Muqbil menilainya sahih dalam ash-Shahihul Musnad, 2/16)
-
Pemusnahan di akhirat kelak secara maknawi.
Artinya, dia akan berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan sebagai orang yang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hlm. 126)
Takwa dan Tawakal, Kunci Rezeki yang Halal
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجًا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (ath-Thalaq: 2—3)
Lafadz مَخۡرَجًا dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah usul fikih, hal ini mengandung arti umum sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Hal ini juga memberikan isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu yang cepat.
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala, Yang Mahakuasa lagi Mahakaya, akan memberikan jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakal, lantas apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketenteraman hatilah yang semestinya dia rasakan.
Baca juga: Meraih Keberkahan Hidup dengan Tawakal
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung. Di pagi hari ia dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu; Syaikh Muqbil menilainya hasan dalam ash-Shahihul Musnad 2/110—111)
Anjuran Mencari Usaha yang Halal dan Keutamaan Qana’ah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
“Apabila shalat itu telah usai, menyebarlah kalian di atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Sungguh, Nabi Allah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. al-Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu anhu)
Sungguh, benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakal kepada Allah, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala. Alangkah tenteramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.
Baca juga: Merasa Cukup
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya materi (dunia). Namun, kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia, seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup, dan Allah menjadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tenteram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu; seolah-olah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menilainya hasan, dari Abdullah bin Mihshan al-Anshari radhiallahu anhu)
Baca juga: Kekayaan dan Kemiskinan yang Hakiki
Akhirulkalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut ini.
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barang siapa menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, Allah akan menceraiberaikan urusannya. Allah menjadikan kefakiran selalu di pelupuk kedua matanya. Dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Adapun barang siapa yang akhirat menjadi niatnya, Allah akan mengumpulkan urusannya, Allah menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu; Syaikh Muqbil menilainya sahih dalam ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki
[1] Jabir radhiallahu anhu mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ الله آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan (memakai) riba, memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya. Kata beliau, “Mereka ini sama.” (HR. Muslim no. 1598)