Tak sedikit masyarakat kita yang sangat mengultuskan sang guru atau kiainya. Kiai bagi mereka seolah-olah pribadi yang maksum, bahkan diyakini dapat memberikan berkah tersendiri. Tak heran kalau ada yang rela berdesak-desakan untuk dapat sekedar bersalaman dengannya, mendapatkan atribut yang dikenakannya, hingga puntung rokoknya sekali pun.
Orang alim memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan di hadapan makhluk-Nya. Semua ini adalah pemberian dan karunia-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam al-Qur’an,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ
“Katakanlah, ‘Hai Rabb yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan’.” (Ali ‘Imran: 26)
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri dan mengangkat kita semua di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Tanpa berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wa ta’ala seseorang memang pantas diangkat kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
As-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Persoalannya bukan hanya keinginan-keinginan ahli kitab (seseorang diangkat atau tidak) dan selain mereka. Akan tetapi, urusannya adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya Dialah yang mengaturnya. Tidak ada seorang pun yang sanggup menentang atau membantu-Nya dalam hal pengaturan ini.
Seandainya semua makhluk dari kalangan jin dan manusia, dahulu dan sekarang, bahu-membahu memuji untuk mengangkatmu, maka mereka tidak akan sanggup kecuali memang yang telah dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kehendak Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah sama dengan kehendak makhluk-Nya. Demikian juga, jika seluruh makhluk bersatu padu, mereka tidak akan sanggup selain dengan kehendak-Nya.
Sebaliknya, bisa jadi, dalam pandangan makhluk, seseorang pantas untuk diangkat kedudukannya. Akan tetapi, karena dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala tidak demikian, maka kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah Dzat tunggal yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.”
لَا يُسَۡٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسَۡٔلُونَ ٢٣
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (apa yang mereka perbuat).” (al-Anbiya: 23)
فَعَّالٞ لِّمَا يُرِيدُ ١٦
“(Allah) Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Buruj: 16)
Berkah Datang dari Allah subhanahu wa ta’ala
Berkah (dalam bahasa Arab: barakah) secara bahasa artinya “kebaikan yang banyak dan tetap”. Diambil dari kata “birkah” yang artinya kumpulan air. Adapun menurut syariat, berkah adalah kebaikan yang banyak yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada siapa yang dikehendaki.
Dari definisi keduanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa berkah itu datang dari Allah subhanahu wa ta’ala sebagai satu bentuk karunia yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam al-Qur’an,
بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ
“Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali ‘Imran: 26)
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ
“Allah menganugerahkan kepahaman (al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak.” (al-Baqarah: 269)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ
“Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Sahih, HR. Muslim no. 771 dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Tabarruk dalam Agama
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari berkah. Mencari berkah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari berkah dengan perkara yang telah disyariatkan, seperti al-Qur’an.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang hal ini,
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ
“Al-Qur’an yang telah Kami turunkan kepadamu akan dapat memberikan berkah.” (Shad: 29)
Di antara bentuk berkah al-Qur’an adalah siapa yang mengambil apa yang ada di dalamnya, baik perintah maupun larangan, niscaya akan mendapatkan kemenangan. Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menyelamatkan umat-umat dengan al-Qur’an ini. Termasuk berkah al-Qur’an adalah bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah subhanahu wa ta’ala bersabda tentang hal ini,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat suatu kaum dengan al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Sahih, HR. Muslim no. 817 dari sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu)
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang dapat dirasakan, seperti bertabarruk (mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa, dan sebagainya (misalnya: bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan).
Tentu hal ini adalah wujud berkah karena kita mendapatkan kebaikan yang banyak darinya. (al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya berkah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat yang setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Berkah tidak hanya didapati oleh murid guru tertentu, kelompok, atau pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang al-Qur’an,
اقْرَؤُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفَيْعاً لِأَصْحَابِهِ
“ Bacalah al-Qur’an karena sesungguhnya al-Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.” (Sahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang makan berjamaah,
اجْتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيِهِ يُبَارِكَ لَكُمْ فِيْهِ
“Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 664 dari sahabat Wahsyi radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang masjid Quba,
مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ وَصَلىَّ فِيْهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
“Barang siapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah, dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam kitabnya, Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liq ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang itsmid (celak mata),
عَلَيْكُمْ بِاْلإِثْمِدِ فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ لِلشَّعْرِ مُذْهِبَةٌ لِلْقَذَرِ مُصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
“Hendaklah kalian memakai itsmid karena itsmid itu dapat menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotoran, dan membersihkan penglihatan.” (HR. al-Bukhari dalam at-Tarikh, 4/2/412, dan ath-Thabarani, 1/12/1, dan Abu Nua’im di dalam al-Hilyah, 3/178, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, 2/270 no. 665, dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. Hal itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya berkah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut.
Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku)
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktikkan akan mewujudkan kebaikan dan berkah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya adalah zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan membaca al-Qur’an.
Di antara berkah zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah mendapatkan doa dari malaikat Allah subhanahu wa ta’ala, sanjungan di hadapan makhluk-Nya, dan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah. Di antara berkah al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia, serta pemberi syafaat kelak di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana dalam hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara berkahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Amalan lain adalah shalat secara berjamaah, yang berkahnya adalah terhapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya adalah makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilati jari, dan menakar makanan, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang sahih.
Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya mengandung banyak kebaikan (berkah) apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah masjid-masjid. Cara mencari berkahnya adalah dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya, dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukanlah dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau hal-hal lain yang dilarang oleh syariat.
Contoh lain, Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan berkah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid al-Aqsha. Mencari berkah pada tempat-tempat tersebut bukan dengan menciumnya, atau mengusap tanahnya, melainkan dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat mengandung kebaikan yang banyak (berkah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan menghapuskan dosa-dosa dan menambah rezeki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari berkah pada waktu-waktu tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal-hal yang disebutkan di atas dan yang belum disebutkan yang sudah jelas dalilnya, maka mencari berkahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (at-Tabarruk al-Masyru’, hlm. 33—50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
- Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat, dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
- Pergi ke kuburan dengan tujuan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim (hlm. 433) mengatakan, “Apabila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang saleh dengan tujuan untuk mencari berkah, ini adalah bentuk penentangan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan perbuatan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”
- Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim juga (hlm. 424—426), contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, pergi ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, pergi ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa di sana, atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, tempat tenda Ummu Ma’bad, atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara yang demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan sebagainya. Semua ini adalah jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
- Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai bentuk pengagungan, acara, dan ibadah. Misalnya, menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada harihari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
- Bertabarruk dengan orang-orang saleh dan peninggalan mereka, seperti tongkat, air ludah, rambut, keringat, pakaian, tempat tidurnya, dan sebagainya. (Ta’liq al-Qaul al-Mufid, 1/246—250)
Tabarruk Orang-Orang Jahiliah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ ٢٠
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik, menganggap) al-Lata, al-‘Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (an-Najm: 19—20)
Tiga sesembahan di atas adalah tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk. Lantas, apakah al-Lata, al-‘Uzza, dan Manat itu?
Al-Lata, menurut Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir beliau (4/253) adalah sebuah batu besar berwarna putih yang memiliki ukiran, di atasnya ada sebuah rumah. Ia memiliki kelambu dan juru kunci. Di sekelilingnya terdapat halaman.
Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi bani Tsaqif, penduduk Thaif. Mereka sangat berbangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakikat al-Lata, disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas, adalah seseorang yang mengadon tepung untuk para haji di masa jahiliah. Ketika meninggal, orang-orang beri’tikaf di kuburannya kemudian menyembahnya.
Adapun al-‘Uzza, menurut Ibnu Jarir rahimahullah, adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, sebuah tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang terletak di Musyallal, daerah antara Makkah dan Madinah. Suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah yang diceritakan oleh Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kafir (masuk Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath.
Kami kemudian melewati sebuah sidrah dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (kaum musyrikin) memiliki Dzatu Anwath.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini adalah jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’. (Musa) berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian)’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2181, dan beliau berkata hadits hasan sahih)
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf di tempat itu, lalu mengharapkan kebaikan darinya.
Tabarruk kepada Kiai, Benarkah?
Bagaimana dengan bertabarruk kiai/kanjeng guru? Apakah hal ini dibenarkan?
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabarruk yang diperbolehkan adalah apa yang telah dijelaskan kebolehannya oleh syariat. Adapun tabarruk kepada zat (diri) orang saleh atau peninggalan-peninggalannya, tidak ada syariatnya sama sekali. Jadi, hal tersebut termasuk bentuk tabarruk yang batil.
Lantas bagaimana dengan perbuatan para sahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka berebutan mengambil air ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah Kitab at-Tauhid, menjawab syubhat ini, “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang saleh, hal ini terlarang dari beberapa sisi.
- Generasi pertama umat ini, dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
- Apabila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
- Seutama-utama sahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali radhiallahu ‘anhum. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan bahwa mereka menjadi penghuni surga. Namun, tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh sahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
- Tidak boleh mengiaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang pun dari umat ini.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
- Melarang hal ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.
Seruan
Wahai saudaraku se-Islam, kembalilah kepada kemurnian agama ini, tinggalkan agama yang sekadar turun-temurun dan ikut-ikutan (membebek). Ketahuilah bahwa seorang kiai bukanlah agama, dan agama bukanlah kiai. Ucapan, perbuatan, dan keyakinan yang mereka yakini harus dicocokkan dengan agama, sesuai atau tidak?
Oleh karena itu, karena mereka bukan sebagai sumber kebenaran, melainkan manusia biasa tempat kekurangan dan kesalahan, maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk bertabarruk dengan air ludah, keringat, bekas minum mereka, dan sebagainya.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman