Pada edisi lalu, telah dijelaskan tahapan awal yang mesti dilakukan seorang suami ketika dihadapkan pada ‘kebengkokan’ istrinya. Selanjutnya kita akan menapaki tahapan berikutnya.
Cara nasihat sudah ditempuh tapi si istri belum juga kembali pada kelurusannya. Maka syariat mengajarkan agar dijalani tahapan kedua, hajr, sebagaimana dalam ayat:
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, hajrlah mereka di tempat tidur….” (an-Nisa: 34)
Kata hajr mungkin lebih mudahnya kita artikan memboikot. Sebagian ulama berkata, “Yang dimaksudkan dengan hajr di sini adalah hajrul jima’, maknanya si suami tetap seranjang dengan istrinya namun ia tidak menggaulinya bahkan memunggunginya.” Yang lainnya mengatakan bahwa hajr di sini adalah tidak mengajaknya bicara dalam artian mendiamkannya. Adapula yang mengatakan, si suami meninggalkan tempat tidurnya, tidak tidur sekamar dengan istrinya yang berbuat nusyuz tersebut. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaukan dengan hajr di sini adalah tidak masuk ke tempat si istri dan tidak tinggal di sisinya menurut dzahir ayat. (Fathul Bari, 9/374)
Ada beberapa hadits yang menyinggung tentang hajr ini, sebagiannya akan kita sebutkan dalam pembahasan kali ini.
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan:
أَنَّ النَّبِيَّ حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا، فَلَمَّا مَضَى تِسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ يَوْمًا غَدَا عَلَيْهِمْ– أَوْ رَاحَ –فَقِيْلَ لَهُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، حَلَفْتَ أَنْ لاَ تَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا. قَالَ: إِنَّ الشَّهْرَ يَكُوْنُ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah tidak akan masuk menemui sebagian istrinya selama sebulan. Tatkala berlalu 29 hari, beliau berpagi hari[1] –atau di sore harinya– menuju ke tempat istri-istrinya. Maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai Nabiyullah, engkau telah bersumpah untuk tidak masuk menemui mereka selama sebulan (sementara baru berlalu 29 hari, –pent.).” Beliau menjelaskan, “Bulan saat ini lamanya memang hanya 29 hari[2].” (HR. Al-Bukhari no. 5202 dan Muslim no. 2519)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
آلىَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، وَقَعَدَ فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِيْنَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ آلَيْتَ شَهْرًا. قَالَ: إِنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah tidak akan masuk menemui istri-istrinya selama satu bulan, beliau tinggal di masyrabah[3] milik beliau. Setelah lewat 29 hari, beliau turun (menemui istri-istrinya, -pent.) Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah bersumpah tidak akan masuk menemui istri-istrimu selama sebulan (sementara sekarang baru berjalan 29 hari, –pent.). Beliau menjawab, “Sesungguhnya bulan sekarang memang lamanya hanya 29 hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5201)
Adapula berita dari Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu, suatu ketika ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apa hak istri kami atas kami?” Beliau menjawab: “Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya[4], dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu di atas disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr istri-istrinya di luar rumah tapi dalam hadits Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu disebutkan larangan menghajr istri di luar rumah. Lalu bagaimana mendudukkan kedua hadits yang seakan bertentangan ini? Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan bahwa hadits Anas lebih shahih sanadnya daripada hadits Mu’awiyah bin Haidah, namun kedua hadits ini bisa dijama’ (dikumpulkan) dan diamalkan kedua-duanya.
Hajr dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah dengan melihat keadaan. Bila memang dibutuhkan hajr di luar rumah maka dilaksanakan, tapi bila tidak perlu maka cukup di dalam rumah. Bisa jadi hajr di dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa perasaan si istri daripada hajr di luar rumah. Namun bisa jadi pula sebaliknya. Akan tetapi yang dominan hajr di luar rumah lebih menyiksa jiwa, khususnya bila yang menghadapinya kaum wanita karena lemahnya jiwa mereka.” (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata berkenaan dengan kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr istri-istrinya, “Suami berhak menghajr istrinya dan memisahkan dirinya dari si istri ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber dari sang istri.” (Al-Minhaj, 10/334)
Mungkin tersisa pertanyaan di benak anda, apa yang menjadi penyebab sumpahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak mendatangi istri-istrinya? Jawabannya terdapat dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang panjang dari kisahnya Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu. Di antaranya Umar berkata:
فَاعْتَزَلَ النَّبِيُّ نِسَاءَهُ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ الْحَدِيْثِ حِيْنَ أَفْشَتْهُ حَفْصَةُ إِلَى عَائِشَةَ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً، وَكَانَ قَالَ: مَا أَنَا بِدَاخِلٍ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا. مِنْ شِدَّةِ مَوْجِدَتِهِ عَلَيْهِنَّ حِيْنَ عَاتَبَهُ اللهُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama 29 malam disebabkan pembicaraan (rahasia) yang disebarkan oleh Hafshah kepada Aisyah. Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan.” Hal ini beliau lakukan karena kemarahan beliau yang sangat kepada mereka di mana Allah k sampai menegur beliau dikarenakan perkara dengan mereka….” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam penjelasannya terhadap hadits di atas menyatakan bahwa dalam jalan hadits ini tidak diterangkan pembicaraan apa yang disebarkan oleh Hafshah. Adapun teguran yang dimaksudkan adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَۖ تَبۡتَغِي مَرۡضَاتَ أَزۡوَٰجِكَۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, dikarenakan engkau mencari keridhaan (kesenangan hati) istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Tahrim: 1)
Ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang apa gerangan yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri beliau hingga Allah subhanahu wa ta’ala menegurnya, sebagaimana diperselisihkan kenapa beliau sampai bersumpah tidak akan masuk menemui istri-istrinya. Ada yang mengatakan beliau mengharamkan madu untuk dirinya dan pendapat lain mengatakan beliau mengharamkan Mariyah, budak perempuannya.
Dalam riwayat Yazid bin Ruman dari Aisyah radhiallahu ‘anha yang dibawakan Ibnu Mardawaih disebutkan kedua-duanya, yakni beliau mengharamkan madu dan juga Mariyah, budak beliau.
Istri beliau Hafshah radhiallahu ‘anha yang mendapat hadiah madu, biasa menahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya agar beliau minum madu tersebut. Mengetahui hal itu, Aisyah radhiallahu ‘anha mengajak istri-istri Rasul yang lain agar sepakat bila beliau masuk menemui mereka, semuanya mengatakan mulut beliau berbau maghafir, sementara beliau tidak suka baunya. Ketika disampaikan hal tersebut kepada beliau, berkatalah beliau:
هُوَ عَسَلاً، وَاللهِ لاَ أَطْعمُهُ أَبَدًا
“Yang tadi aku minum adalah madu. Kalau begitu demi Allah, aku tidak akan minum madu lagi selama-lamanya.”
Saat giliran Hafshah, ia minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menemui ayahnya. Rasulullah pun mengizinkannya. Sepulangnya dari tempat sang ayah, Hafshah mendapati pintu rumahnya tertutup dan ternyata Rasulullah sedang bersama Mariyah, budaknya. Hafshah pun menangis, maka Rasulullah berkata menghiburnya, “Aku persaksikan di hadapanmu, Mariyah haram bagiku. Jangan engkau beritahu kepada siapapun tentang hal ini, ini amanah bagimu.” Namun tenyata Hafshah menyampaikan rahasia tersebut kepada Aisyah, hingga turunlah ayat dalam surat At-Tahrim. (Fathul Bari, 9/359-360)
Dalam hadits yang dikeluarkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma disebutkan sebab lain kenapa beliau memisahkan diri dari istri-istrinya. Jabir mengisahkan:
دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ فَوَجَدَ النَّاسَ جُلُوْسًا بِبَابِهِ، لَـمْ يُؤْذَنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ. قَالَ: فَأُذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَاسْتَأْذَنَ، فَأُذِنَ لَهُ، فَوَجَدَ النَّبِـيَّ جَالِسًا، حَوْلَهُ نِسَاؤُهُ، وَاجِمًا سَاكِتًا
Abu Bakr masuk minta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dapatkan orang-orang sedang duduk di depan pintu rumah beliau, tidak ada seorang pun dari mereka yang diizinkan masuk. Jabir berkata, “Abu Bakr diizinkan maka ia pun masuk. Kemudian datang Umar meminta izin, ia pun diizinkan masuk. Umar mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam keadaan sedih terdiam, di sekitar beliau ada istri-istrinya.”
Lalu Jabir melanjutkan haditsnya, di antaranya disebutkan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هُنَّ حَوْلِي كَمَا تَرَى، يَسْأَلْنَنِي النَّفَقَةَ. فَقَامَ أَبُوْ بَكْرٍ إِلَى عَائِشَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، فَقَامَ عُمَرُ إِلَى حَفْصَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، كِلاَهُمَا يَقُوْلُ: تَسْأَلْنَ رَسُوْلَ اللهِ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ؟ فَقُلْنَ: وَاللهِ، لاَ نَسْأَلُ رَسُوْلَ اللهِ شَيْئًا أَبَدًا لَيْسَ عِنْدَهُ. ثُمَّ اعْتَزَلَـهُنَّ شَهْرًا أَوْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ يَوْمًا
“Mereka (istri-istri beliau) ada di sekelilingku sebagaimana yang engkau lihat, mereka meminta nafkah kepadaku.” Mendengar hal itu bangkitlah Abu Bakr menuju putrinya Aisyah lalu memukul lehernya. Bangkit pula Umar ke arah putrinya Hafshah lalu memukul lehernya. Abu Bakr dan Umar berkata, “Apakah kalian meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada pada beliau?” Para istri Rasulullah menjawab, “Demi Allah, kami selama-lamanya tidak akan lagi meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian beliau memisahkan diri dari mereka selama sebulan atau selama 29 hari.” (HR. Muslim no. 3674)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa bisa saja semua perkara yang telah disebutkan di atas menjadi sebab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tizal (memisahkan diri) dari istri-istrinya. Hal ini bersesuaian sekali dengan kemuliaan akhlak beliau, lapangnya dada beliau dan banyaknya beliau memberikan pemaafan, di mana beliau tidak melakukan i’tizal tersebut sampai terjadi berulang-ulang permasalahan yang mengharuskan para istri beliau mendapatkan hukuman demikian. Pada akhirnya Al-Hafizh menyebutkan hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktu sebulan untuk i’tizal dari istri-istrinya, yaitu hajr yang disyariatkan lamanya tiga hari[5], sementara jumlah istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu ada sembilan orang, bila masing-masingnya dihajr selama tiga hari pada hari gilirannya berarti seluruhnya ada 27 hari, tersisa dua hari untuk Mariyah karena statusnya sebagai budak maka ia mendapat hitungan yang kurang bila dibandingkan dengan orang merdeka. (Fathul Bari, 9/360)
Lantas bolehkah menghajr istri lebih dari tiga hari karena adanya hadits dalam Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِـمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثةِ أَيَّامٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”
Al-Khaththabi rahimahullah menyebutkan bahwa hajrnya ayah terhadap anaknya, suami terhadap istrinya dan semisalnya tidaklah dibatasi waktu tiga hari, berdalil dengan hajr yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap istri-istri beliau selama sebulan. (Fathul Bari, 10/610)
Mendiamkan seseorang karena permasalahan agama juga dibolehkan lebih dari tiga hari. Misalnya ada seorang ahlul bid’ah yang sudah diperingatkan tentang kebid’ahan namun tetap melakukannya, maka boleh mendiamkannya, tidak mengajaknya bicara walaupun lebih dari tiga hari. Dalam hal ini kita berdalil dengan hadits Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu yang panjang, dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, tentang kisah tidak ikut sertanya Ka’b bersama dua temannya dalam perang Tabuk tanpa ada udzur. Sebagai hukuman untuk ketiganya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta kaum muslimin mendiamkan mereka selama 50 malam. Sampai akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu-Nya dari atas langit memberi taubat kepada ketiganya[6], g. Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut kepada ketiga sahabatnya ini melainkan karena khawatir mereka terkena penyakit nifak. (Bahjatun Nazhirin, 1/75)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Apabila terjadi nusyuz istri berkenaan dengan hak suaminya dan sang suami telah menasihatinya namun tidak juga menarik diri dari perbuatannya, maka suami punya hak untuk memboikotnya di tempat tidur. Maksudnya, suami tetap tidur bersama istrinya namun tidak mengajaknya bicara (mendiamkannya) serta memalingkan wajahnya dari istrinya sampai si istri mau bertaubat. Dan ini tidaklah bertentangan dengan keharaman memboikot saudara lebih dari tiga hari, karena hajr yang dilakukan seorang suami dibatasi dengan pemboikotan di tempat tidur, adapun yang terlarang adalah hajr secara mutlak. Atau dikatakan, yang terlarang adalah hajr tanpa adanya sebab maksiat, sementara nusyuz istri teranggap maksiat sehingga boleh menghajrnya.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/679)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
[1] Pagi hari dari hari yang ke-30.
[2] Di antara bulan hijriyah ada yang lamanya 29 hari dan ada yang 30 hari.
[3] Kamar yang tinggi, untuk naik ke atasnya harus memakai tangga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dari cerita Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu kepadanya:
فَإِذَا رَسُولُ اللهِ فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ يَرْقَى عَلَيْهَا بِعَجَلَةٍ.
“Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masyrabahnya, beliau naik ke atasnya dengan menggunakan tangga dari pelepah kurma.” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
[4] Maksudnya: mengucapkan pada istri ucapan yang buruk, mencaci-makinya atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
[5] Sebagaimana hadits dalam Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِـمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثةِ أَيَّامٍ
“Tidak halal bagi seorang musim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”
[6] Lihat surah At-Taubah: 117-119