Dalam edisi yang lalu, telah dipaparkan tata cara wudhu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari niat hingga pembahasan madhmadhah, istinsyaq, dan istintsar. Dalam edisi ini, kita masih melanjutkan pembahasan yang lalu, yang dimulai dari mencuci wajah.
Mencuci Wajah
Mencuci wajah ketika berwudhu secara jelas disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 6 yang di dalamnya juga memuat anggota-anggota tubuh yang wajib, bahkan rukun, untuk dicuci (dibasuh) dan diusap (untuk bagian kepala).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan lengan-lengan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian hingga mata kaki….” (al-Maidah: 6)
Dengan demikian, sangat jelas hukum mencuci wajah ini, sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah-nya, “Ulama bersepakat tentang wajibnya mencuci wajah, kedua lengan, dan kedua kaki (di dalam berwudhu).” (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Batasan wajah yang harus dicuci adalah di bawah tempat tumbuhnya rambut kepala, (yang biasanya, red.) di bagian paling atas dahi sampai ke dagu, dan dari cuping/daun telinga kanan ke cuping telinga kiri, termasuk rahang. (al-Umm, 1/25, al-Muhalla, 2/49, asy-Syarhul Mumti’, 1/149, 171—172)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya membawakan bab “Mencuci wajah dengan dua tangan dari satu cidukan”, dengan hadits:
ثُمَّ أَخَذَ غُرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلىَ يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا وَجْهَهُ
“Kemudian Ibnu ‘Abbas (yang mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengambil satu cidukan air, lalu menggabungkan satu tangannya dengan tangannya yang lain, dan mengusap wajahnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 140)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil mencuci wajah dengan menggunakan dua tangan secara bersama-sama walau dengan satu cidukan. Karena satu tangan terkadang tidak menyempurnakan pencucian wajah.” (Fathul Bari, 1/04)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Disenangi untuk mengambil air dengan kedua telapak tangan ketika hendak mencuci wajah, karena hal tersebut lebih mudah dan lebih dekat untuk membaguskan wudhu.” (Syarah Shahih Muslim, 3/122)
Menyela-nyela Jenggot
Saat mencuci wajah, disenangi pula bagi yang memiliki jenggot untuk menyela-nyela jenggotnya. (al-Ausath, 1/386, al-Mughni, 1/74)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka berpandangan adanya menyela-nyela jenggot. Demikian pula yang dikatakan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, ‘Jika seseorang lupa menyela-nyela jenggotnya, maka hal tersebut tidak menjadi permasalahan’.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/24)
Di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan menyela-nyela jenggotnya adalah ‘Ali bin Abu Thalib, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan bin ‘Ali, Ibnu ‘Umar, dan Anas radhiallahu ‘anhum. (al-Ausath, 1/381)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Jenggot juga disela-sela ketika berwudhu. Telah datang berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau menyela-nyela jenggotnya, sekalipun al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam pengusapan jenggot ini. Namun mungkin yang beliau maksudkan adalah tidak ada hadits yang sahih bila dilihat secara masing-masingnya, namun tidaklah menolak kemungkinan hadits-hadits tersebut bila dikumpulkan jalan-jalannya pantas dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Mencuci Lengan
Adapun mencuci lengan dinyatakan dengan ayat:
وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ
“Dan (basuhlah) lengan-lengan kalian sampai siku.” (al-Maidah: 6)
Demikian pula hadits Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman radhiallahu ‘anhu, yang menyebutkan tentang pencucian lengan sampai ke siku. Sehingga dipahami dari ayat dan hadits ini bahwa mencuci lengan itu dimulai dari ujung jari hingga siku. Namun ada perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang batasan mencuci lengan ketika berwudhu ini, yakni apakah siku termasuk bagian yang dicuci atau tidak.
Perselisihan mereka timbul karena perbedaan memaknakan huruf jar dalam firman Allah , apakah huruf jar tersebut bermakna الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ (akhir/sampai) atau bermakna مَعَ (bersama/beserta). (al-Muhalla, 2/51, al-Ausath, 1/390, Fathul Bari, 1/366)
Mazhab Dzahiriyyah, sebagian pengikut al-Imam Malik rahimahullah[1], serta selainnya memaknakan dengan الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ. Sehingga mereka menyatakan bahwa siku tidak wajib disertakan dalam pencucian karena yang wajib dicuci hanyalah lengan sampai batas siku (dan siku tidak termasuk di dalamnya). Hal ini sama dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari.” (al-Baqarah: 187)
Sementara jumhur ulama termasuk imam yang empat memaknakan إِلَى dengan مَعَ. Dengan demikian, siku pun ikut dicuci saat berwudhu. Sehingga huruf jar tersebut maknanya seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ
“Dan janganlah kalian memakan harta mereka bersama dengan harta kalian.” (an-Nisa’: 2) [Fathul Bari, 1/366, al-Ausath, 1/391, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Jumhur ulama sepakat tentang wajibnya mencuci mata kaki dan siku. Sementara Zufar dan Dawud adz-Dzahiri bersendirian dalam pendapat keduanya dengan menyatakan tidak wajib. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 3/107, al-Majmu’, 1/430)
Demikian pula yang dikatakan asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (1/207).
Namun dari kedua pendapat yang ada, pendapat kedua (yang menyatakan siku ikut dicuci) inilah yang kuat dari sisi dalil, seperti ditunjukkan dalam riwayat Muslim rahimahullah dari hadits Nu’aim bin Mujmir rahimahullah yang pernah melihat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berwudhu dengan mencuci lengannya hingga melewati sikunya[2]. Di akhir hadits tersebut Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” (HR. Muslim no. 246) [al-Majmu’, 1/430, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, asy-Syarhul Mumti’, 1/150, Ijabatus Sa’il, hlm. 29]
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, إِلَى dalam ayat bisa dimungkinkan bermakna الْغَايَةُ dan bisa pula bermakna مَعَ, tetapi As-Sunnah menjelaskan bahwa huruf tersebut bermakna مَعَ.” (Fathul Bari, 1/366, Subulus Salam, 1/65)
Mengusap Kepala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ
“Dan usaplah kepala-kepala kalian.” (al-Maidah: 6)
Ayat di atas menunjukkan kepala tidaklah dibasuh sebagaimana anggota wudhu lainnya tetapi hanya diusap. Namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batasan yang wajib diusap. (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Perbedaan tersebut timbul karena adanya perbedaan dalam memaknakan huruf ba dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas (Fathul Bari, 1/366). Pendapat yang ada:
- Cukup mengusap sebagian kepala, sebagaimana pendapat al-Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikut al-Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza’i rahimahumullah. Mereka kemudian berbeda pendapat lagi tentang seberapa batasan sebagian kepala tersebut. Ada yang mengatakan setengahnya, ada yang dua pertiganya, ada yang mengatakan bila diusap ubun-ubun maka sudah mencukupi, dan ada pula yang mengatakan sehelai pun sudah cukup.
- Wajib mengusap seluruh kepala. Demikian pendapat al-Imam Malik dan Ahmad rahimahumallah, dan inilah pendapat yang rajih. (Majmu’ Fatawa, 21/122—123, 124, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, Taisirul ‘Allam, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam telah bersepakat bahwasanya yang dicontohkan dalam As-Sunnah adalah mengusap seluruh kepala sebagaimana hal ini telah pasti dalam hadits-hadits yang sahih dan hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak satu pun perawi (sahabat) yang menukilkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwasanya Nabi mencukupkan mengusap sebagian kepalanya.” (Majmu’ Fatawa, 21/122)
Ditegaskan lagi oleh beliau bahwa pendapat yang benar dalam pengusapan kepala adalah mengusap seluruhnya, karena yang demikian ini ditunjukkan oleh dzahir (teks) Al-Qur’an. (lihat Majmu Fatawa, 21/123, 125)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak didapati satu hadits sahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mencukupkan mengusap sebagian kepala. Akan tetapi bila beliau mengusap ghurrah (rambut bagian depan)nya, beliau sempurnakan dengan mengusap di atas imamah (sorban)nya.” (Zaadul Ma’ad, 1/49)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Lafadz ayat (wudhu) yang datang itu secara global. Oleh karena itu, bisa jadi yang diinginkan dalam mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala dengan pernyataan huruf ba yang ada dalam ayat adalah huruf zaidah (tambahan), atau bisa pula mengusap sebagian kepala dengan memaknakan huruf ba yang ada sebagai tab’idhiyyah (bermakna sebagian). Akan tetapi bila ditinjau dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka akan diketahui dengan jelas bahwa yang dimaukan adalah yang awal (mengusap seluruh kepala). Tidak pula didapatkan penukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau mengusap sebagian kepala, kecuali dalam hadits al-Mughirah yang mengabarkan beliau mengusap ghurrah dan imamahnya….” (Fathul Bari, 1/363)
Sementara asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya seseorang hanya mengusap jambulnya tanpa mengusap bagian kepala lainnya maka hal tersebut tidaklah mencukupinya. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Usaplah kepala-kepala kalian”, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mengatakan, “Usaplah sebagian kepala-kepala kalian.” Huruf ba dalam bahasa Arab tidaklah datang dengan makna tab’idh sama sekali. Ibnu Burhan berkata, “Siapa yang menganggap huruf ba dalam bahasa Arab datang dengan makna tab’idh maka sungguh ia telah salah dan keliru.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/151)
Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu ketika mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya:
فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
“Lalu beliau mengedepankan kedua tangannya tersebut dan membelakangkannya. Beliau memulai dari depan kepalanya kemudian menjalankan kedua tangannya sampai tengkuknya kemudian beliau mengembalikan keduanya ke posisi awal ia mengusap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235)
Dalam hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu di atas didapati bahwa beliau mengusap kepalanya dari depan kepala dengan kedua tangannya, kemudian beliau mengarahkannya ke belakang kepalanya, lalu mengembalikan ke arah depan. Juga didapatkan faedah bahwasanya beliau mengusap kepalanya hanya sekali. Demikian pula yang disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu:
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap kepalanya sekali.” (HR. Abu Dawud no. 99, at-Tirmidzi no. 48, dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih, 1/508)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan dalam Sunan-nya, “Pengusapan kepala dengan hanya sekali inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka. Demikian pendapat yang dipegangi Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah. Mereka semua meriwayatkan pengusapan kepala hanya sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/26)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan dalam As-Sunnah dalam pengusapan kepala adalah mengusapnya hanya sekali.” (Nailul Authar, 1/228)
Demikian pula yang dikatakan al-Mubarakfuri rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi, 1/135).
Adapun hadits yang menunjukkan pengusapan kepala sebanyak tiga kali[3] diperselisihkan ulama tentang keshahihannya. Namun yang rajih (kuat), hadits tersebut dha’if (lemah). Lihat pembahasan dha’ifnya hadits tersebut dalam Nailul Authar (1/228—300).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengulang pengusapan kepala (yakni beliau hanya mengusapnya sekali), bahkan sekalipun beliau mengulang pencucian anggota wudhu lainnya. Adapun untuk kepala, beliau hanya mengusapnya sekali. Demikianlah keterangan yang datang dari beliau secara jelas. Tidak ada kabar/berita yang sahih sama sekali dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi hal tersebut. Bahkan kabar yang selain ini periwayatannya bisa jadi shahih namun tidak sharih (tidak jelas menunjukkan pengulangan dalam mengusap kepala), ataupun periwayatannya itu sharih namun tidak sahih.” (Zadul Ma’ad, 1/49)
Abu Dawud rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ‘Utsman radhiallahu ‘anhu yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali.” (Zadul Ma’ad, 1/49, Nailul Authar, 1/230)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (21/126).
Mengusap Telinga
Telinga diusap bersamaan dengan mengusap kepala karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” (HR. Abu Dawud no. 115, at-Tirmidzi no. 37, dan Ibnu Majah no. 438, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 36)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits di atas, “Dengan banyaknya jalan-jalannya, hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Maksud dari hadits ini adalah dibolehkan mengusap dua telinga bersamaan mengusap kepala dengan menggunakan air yang sama (tidak mengambil air baru). Demikian pendapat al-Imam Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah.” (‘Aunul Ma’bud, 1/154)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan dua telinga itu merupakan bagian dari kepala, maka keduanya diusap bersama dengan mengusap kepala dan ini merupakan pendapat jumhur.” (Nailul Authar, 1/231)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka adalah dua telinga tersebut bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dipegangi Sufyan, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/28)
Demikian pula pendapat ‘Atha, Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, an-Nakha’i, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, Malik bin Anas, Qatadah, an-Nu’man, dan pengikutnya, rahimahumullah. (al-Ausath, 1/402)
Yang diusap dari telinga ini adalah bagian luar dan dalamnya[4], tanpa mengambil air baru namun cukup air sisa mengusap kepala. (Zadul Ma‘ad, 1/49, al-Ausath, 1/404, Subulus Salam, 1/75)
Adapun hukum mengusap telinga itu sendiri diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok sahabat dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum mengusap kepala, dengan dalil hadits yang telah disebutkan di atas, “Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” Inilah pendapat yang rajih (kuat).
Sementara jumhur ulama berpendapat mengusap telinga hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. (al-Ausath, 1/400—403)
Mengusap Kepala dengan Air Baru
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya membawakan bab “Keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air baru untuk mengusap kepalanya”, dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيُّ تَوَضَّأَ، وَأَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ
“Ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan air sisa yang ada pada kedua tangannya.”
Kemudian al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah menyatakan, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hadits ini, mereka berpandangan untuk mengambil air baru ketika mengusap kepala.” (Sunan Tirmidzi, 1/26—27)
Inilah pendapat yang rajih dari kalangan ahlul ilmi, insya Allah.
Adapun pendapat yang membolehkan mengusap kepala dengan air sisa yang ada pada kedua lengan dengan berpegang dengan hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha —bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada pada kedua lengannya–, merupakan pendapat yang lemah. Karena, hadits yang dijadikan dalil tersebut pada matannya ada kegoncangan (idhthirab), di mana periwayatan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 384) dari Syarik, dari Ibnu ‘Aqil, dari ar-Rubayyi’ radhiallahu ‘anha, menyelisihi matan yang ada dengan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air baru kemudian beliau mengusap kepalanya. Juga di dalam sanad hadits ini ada Ibnu ‘Aqil yang dia itu dibicarakan oleh para imam seperti al-Imam Ahmad rahimahullah. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Ibnu ‘Aqil ini munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya).” Bisa kita lihat pembicaraan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud (1/150—151) dan Tuhfatul Ahwadzi (1/115—117).
Ibnul Mundzir rahimahullah setelah membawakan perselisihan yang ada, menyatakan, “Yang aku senangi bila seseorang ingin mengusap kepalanya, hendaklah ia mengambil air baru. Namun bila hal itu tidak ia lakukan dan ia mengusap kepalanya dengan air yang masih ada di tangannya dari sisa mencuci lengan, maka aku berharap hal tersebut mencukupinya.” (al-Ausath, 1/392)
Wallahu ta’ala a’lam.
(bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Adapun al-Imam Malik sendiri berpendapat siku wajib disertakan dalam pencucian. (al-Umm, 1/25)
[2] Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan apa yang diterangkan dalam hadits (Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) ini hanyalah ingin menunjukkan bahwasanya siku dan mata kaki ikut dicuci ketika berwudhu, bukan menunjukkan masalah (disenanginya) memanjangkan (melebihkan) pencucian anggota wudhu dari yang semestinya. (Zaadul Ma’ad, 1/49)
[3] Pendapat yang demikian ini dipegangi oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan orang-orang yang mengikuti beliau. (Syarah Shahih Muslim, 3/106—107)
[4] Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dan kedua telinganya, bagian luarnya dan bagian dalamnya. (HR. at-Tirmidzi no. 36, dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/512)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hal ini. Mereka memandang yang diusap adalah bagian luar dan dalam kedua telinga.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/27)