Kisah Ulama yang Fajir dan Abid yang Jahil

Siapa saja yang telah mengenal al-haq, tetapi tidak mengamalkannya dan justru menyelisihinya, maka dia serupa dengan Yahudi. Adapun siapa saja yang menghendaki kebaikan dan ibadah, tetapi tidak didasari ilmu, dia serupa dengan Nasrani.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,

مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالْيَهُوْدِ، وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عُبَّادِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالنَّصَارَى

Orang yang rusak di antara ulama kita, dia serupa dengan Yahudi. Adapun orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, dia serupa dengan Nasrani.”

Sebab, orang-orang Yahudi melakukan penyelisihan (penyimpangan) sesudah ilmu dan keterangan itu dijelaskan kepada mereka. Mereka sudah mengetahui al-haq (kebenaran), tetapi tidak mengamalkannya. Adapun orang-orang Nasrani, mereka tersesat karena kebodohannya. Mereka beramal tanpa ilmu.

Di antara bentuk kerusakan ulama adalah berakhlak dengan akhlak orang-orang Yahudi, seperti:

  • men-tahrif (mengubah) ayat/hadits dari makna yang sebenarnya;
  • menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apabila di dalamnya terdapat sesuatu yang bisa menghalangi ambisi/tujuan mereka;
  • dengki kepada orang yang diberi karunia oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan ingin membunuhnya;
  • membunuh orang-orang yang selalu mengajak manusia untuk bersikap adil serta mengajak mereka untuk kembali kepada Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mereka;
  • melakukan tipu muslihat (hilah) untuk meraih sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai cara;
  • mencampuradukkan al-haq dengan kebatilan, dan lain-lain.

Adapun kerusakan ahli ibadah—seperti orang-orang Nasrani—ialah dengan:

  • beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hawa nafsunya, bukan dengan sesuatu yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam;
  • melampaui batas (ghuluw) terhadap para guru (masyaikh) sehingga menempatkan mereka pada posisi rububiyah (memiliki sifat-sifat dan kemampuan layaknya Allah subhanahu wa ta’ala), seperti mengetahui perkara gaib, memberikan keselamatan, karunia, dan sebagainya, -pen.).

Baca juga:

Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan

Walhasil, apabila orang yang berilmu melakukan penyelewengan atau penyimpangan berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya, berarti dia telah mengenal al-haq, tetapi menentangnya. Bisa jadi, karena mengikuti hawa nafsu, mencari dunia, atau karena mengkhawatirkan dirinya sendiri.

Adapun para ahli ibadah yang tersesat, mereka itu tidaklah mengenal al-haq. Mereka justru mengadakan bid’ah, lalu menambah dan mengurangi sebagian ajaran Allah subhanahu wa ta’ala.

Tentang Bal’am bin Ba’ura

Memang, kisah ini bersumber dari cerita-cerita Israiliyat, yang kita tidak bisa menerima dan mendustakannya secara mutlak. Akan tetapi, watak yang disebutkan dalam kisah ini sering kita jumpai di sekitar kita. Apa lagi setelah kita mengenal berbagai bentuk kesesatan orang-orang Yahudi pada uraian sebelumnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦

“Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat.

Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, dijulurkan lidahnya; dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (al-A’raf: 175—176)

Baca juga:

Godaan Hawa Nafsu

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk menceritakan sebuah kisah kepada ahli kitab, tentang seseorang yang keluar dengan kekafirannya, seperti lepasnya ular dari kulitnya. Dia dikenal dalam kitab-kitab tafsir dengan nama Bal’am bin Ba’ura, salah seorang ulama Bani Israil pada zaman Nabi Musa alaihis salam. Dia termasuk salah seorang yang diberi ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Di majelisnya terdapat 12.000 tinta yang digunakan untuk menulis uraian-uraian yang disampaikannya.

Malik bin Dinar rahimahullah mengatakan, bahwa dia (Bal’am) termasuk orang yang doanya mustajab. Mereka (Bani Israil) biasa mengajukannya (meminta didoakan) setiap kali ditimpa kesulitan. Suatu ketika, dia diutus oleh Nabi Musa alaihis salam untuk mengajak salah seorang penguasa Madyan agar kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ternyata, Raja itu memberinya harta. Dia pun meninggalkan ajaran Musa alaihis salam dan mengikuti agama Raja tersebut.

Sebagian mufasir mencantumkan kisah ini dalam kitab-kitab tafsir mereka. Ada yang hanya memberikan gambaran atau contoh mengenai makna yang dimaksud dalam ayat, sebagaimana yang diterangkan Qatadah rahimahullah, yang dinukil oleh ath-Thabari rahimahullah. Ada pula yang menjadikannya sekaligus sebagai sebab turunnya ayat tersebut.

Baca juga:

Metode Tafsir Al-Qur’an

Ketika menerangkan ayat ini (al-A’raf: 175—176), Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, bahwa dia adalah seorang laki-laki dari Bani Israil yang bernama Bal’am bin Abar. Demikian riwayat Syu’bah dan ulama lain yang tidak hanya satu orang, dari Manshur, dengan sanad ini.

Adapun menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Mujahid, dia adalah Bal’am bin Ba’ura.

Beliau menukilkan pula adanya riwayat lain dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma, melalui jalur yang sahih sampai kepada beliau, bahwa yang dimaksud adalah Umayyah bin Abi ash-Shilt. Seolah-olah beliau hendak menunjukkan bahwa Umayyah menyerupai Bal’am karena dia (Umayyah) mempunyai ilmu tentang syariat umat terdahulu dan mendapati zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tetapi semua itu tidak berguna baginya.

Selanjutnya, Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa yang masyhur tentang sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ayat ini menceritakan seorang laki-laki yang hidup di sebuah kota yang dipimpin oleh seorang penguasa yang bengis. Laki-laki tersebut bernama Bal’am.

Melalui jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau mengisahkan,

Ketika Nabi Musa alaihis salam datang bersama para pengikutnya ke wilayah kekuasaan seorang penguasa yang bengis, para kerabat dan anak paman Bal’am datang menemui Bal’am. Mereka berkata, “Musa adalah orang yang keras. Dia juga mempunyai pasukan yang besar. Kalau dia menang, dia pasti akan membinasakan kami. Maka dari itu, berdoalah kepada Allah agar Dia menjauhkan Musa beserta pasukannya.”

Baca juga:

Kisah Khidir Bersama Nabi Musa

Bal’am menjawab, “Sungguh, jika aku berdoa kepada Allah agar Dia menghalau Musa dan para pengikutnya, dunia dan akhiratku pasti akan hancur.”

Namun, mereka terus-menerus membujuknya hingga dia pun menuruti permintaan mereka. Dikisahkan, setiap kali dia mendoakan kejelekan untuk Nabi Musa dan pasukannya, doa itu justru menimpa Bal’am dan orang-orang yang membujuknya. Begitu seterusnya, wallahu a’lam.

Ketika menyadari hal tersebut, mereka menegurnya; mengapa dia justru mendoakan kejelekan untuk mereka?

“Begitulah, setiap kali aku mendoakan kejelekan bagi mereka (Musa dan kaumnya), doaku tidak dikabulkan. Akan tetapi, aku akan memberi tahu kalian satu hal yang semoga saja dapat menjadi sebab kebinasaan mereka. Sesungguhnya Allah membenci perzinaan; dan kalau mereka jatuh dalam perbuatan zina, niscaya mereka pasti binasa. Dengan sebab itu aku berharap Allah menghancurkan mereka. Maka dari itu, keluarkanlah para wanita untuk menemui mereka karena mereka adalah musafir. Mudah-mudahan mereka terjerumus dalam perzinaan, lalu binasa.”

Setelah sebagian besar mereka terjerumus dalam perbuatan zina, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan wabah tha’un yang menewaskan 70.000 orang dari mereka. Wallahu a’lam

Ketakwaan Seorang Alim dan Zuhudnya terhadap Dunia, Pangkal Diterimanya Fatwa

Setiap orang—dari kalangan ahli ilmu—yang lebih mementingkan dunia dan mencintainya, niscaya dia akan mengatakan sesuatu atas nama Allah subhanahu wa ta’ala tanpa dasar al-haq dalam fatwanya, keputusannya mengenai suatu berita, dan konsekuensinya. Sebab, sebagian besar hukum Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan dalam bentuk yang menyelisihi ambisi/tujuan manusia, terlebih lagi para pemegang kepemimpinan dan orang-orang yang selalu mengikuti syubhat. Bagi golongan ini, ambisi mereka hanya bisa diwujudkan dengan sempurna ketika mereka menyelisihi dan menolak al-haq.

Dengan demikian, apabila seorang yang berilmu atau pengambil keputusan (hakim), sama-sama mencintai kedudukan dan mengikuti syahwat, ambisinya tidak akan bisa diraih, kecuali dengan menjauhkan segala sesuatu yang menjadi lawannya—yakni kebenaran.

Terlebih jika dia mempunyai syubhat, bertemulah syubhat dan syahwat tersebut. Hawa nafsu mulai bermain. Kebenaran kian tersamarkan, bahkan menjadi suram. Meskipun kebenaran itu sudah amat jelas, tidak samar, dan tidak pula mengandung syubhat; dia tetap melangkah, menentangnya, bahkan berkata, “Saya punya jalan keluar (yaitu) tobat.”

Mengenai golongan inilah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا

Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya.” (Maryam: 59)

Baca juga:

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman tentang mereka,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ وَرِثُواْ ٱلۡكِتَٰبَ يَأۡخُذُونَ عَرَضَ هَٰذَا ٱلۡأَدۡنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغۡفَرُ لَنَا وَإِن يَأۡتِهِمۡ عَرَضٌ مِّثۡلُهُۥ يَأۡخُذُوهُۚ أَلَمۡ يُؤۡخَذۡ عَلَيۡهِم مِّيثَٰقُ ٱلۡكِتَٰبِ أَن لَّا يَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّ وَدَرَسُواْ مَا فِيهِۗ وَٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

“Maka setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini. Lalu mereka berkata, ‘Kami akan diberi ampun.’ Dan kelak jika harta benda dunia datang kepada mereka sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah mereka sudah terikat perjanjian dalam Kitab (Taurat) bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?” (al-A’raf: 169)

Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa mereka mengambil harta benda yang rendah ini, padahal mereka mengetahui keharamannya. Bahkan, mereka berani mengatakan, “Kami akan diberi ampun.”

Jika didatangkan kepada mereka harta benda lainnya, niscaya mereka juga akan tetap dalam keadaan demikian. Itulah yang menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatakan sesuatu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala tanpa dasar al-haq. Mereka akan berani berkata, “Inilah hukum, syariat, dan agama-Nya,” dalam keadaan mereka mengetahui bahwa agama, syariat, dan hukum-Nya bertentangan dari apa yang mereka ucapkan.

Baca juga:

Bahaya Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu

Atau memang mereka tidak tahu bahwa itu adalah agama, syariat, dan hukum-Nya sehingga terkadang mereka mengatakan atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, sesuatu yang tidak mereka ketahui. Terkadang pula mereka mengucapkan atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, sesuatu yang sudah mereka ketahui kebatilannya.

Adapun orang yang bertakwa, mereka mengerti bahwa kampung akhirat itu lebih baik daripada dunia sehingga syahwat ataupun kedudukan sebagai pemimpin tidak akan bisa merayu mereka untuk lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat.

Cara meraihnya adalah dengan berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; meminta tolong (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) dengan kesabaran dan shalat; merenungi keadaan dunia, kehancuran dan kerendahannya; serta merenungi akhirat yang pasti tiba dan abadi.

Mereka ini (golongan yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat), mau tidak mau akan mengadakan kebid’ahan dalam urusan agama, disertai dengan kejahatan dalam beramal. Dengan demikian, bertumpuklah dua perkara ini pada mereka. Mengikuti hawa nafsu akan membuat buta mata hati sehingga dia tidak mampu membedakan antara sunnah dan bid’ah. Bisa juga membuatnya terjungkir balik; melihat bid’ah sebagai sunnah, dan melihat sunnah sebagai bid’ah.

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Inilah kerusakan para ulama apabila mereka lebih mengutamakan urusan dunia, serta mengikuti kedudukan dan syahwat. Ayat-ayat ini pantas buat mereka, sampai pun pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas,

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦

“Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat.

Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, dijulurkan lidahnya; dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (al-A’raf: 175—176)

Inilah perumpamaan bagi orang alim yang buruk, yang melakukan sesuatu yang menyelisihi ilmunya.

Perhatikanlah kandungan ayat ini, betapa tercelanya dia:

  1. Dia tersesat sesudah dia memiliki ilmu.

Dia memilih kekafiran daripada keimanan dengan sengaja, bukan karena jahil (tidak tahu).

  1. Dia memisahkan diri dari keimanan dengan perpisahan yang tidak mungkin kembali selama-lamanya.

Sebab, dia telah lepas dari ayat-ayat itu secara total, seperti lepasnya ular dari kulitnya. Andaikan pada dirinya masih tersisa secuil keimanan, niscaya dia tidak akan lepas darinya.

  1. Setan berhasil mendapatkannya, menyusulnya, menguasai, dan memangsanya.

Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,

فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ

“Lalu dia diikuti oleh setan.” Allah tidak mengatakan تَبِعَهُ (setan mengikutinya).

Sebab, pada kata أَتْبَعَهُ terkandung makna adrakahu (mendapatkannya) dan lahiqahu (menyusulnya), yang lebih sempurna daripada lafaz tabi’ahu (mengikuti), baik dari segi lafaz maupun makna.

  1. Dia telah menyimpang, padahal sebelumnya dalam keadaan lurus.

Al-Ghay adalah ‘kesesatan dalam hal ilmu dan tujuan (niat)’. Ini lebih khusus berkaitan dengan kerusakan niat dan amal, sebagaimana kesesatan itu lebih khusus berkaitan dengan kerusakan ilmu dan iktikad. Jadi, jika dipisahkan salah satunya, definisi keduanya menjadi sama; dan jika keduanya digandengkan, definisi keduanya menjadi berbeda.

  1. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan rendahnya keinginannya, yang lebih memilih sesuatu yang bernilai rendah daripada sesuatu yang tinggi nilainya.

  2. Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berkehendak mengangkat derajatnya dengan ilmu sehingga hal itu menjadi sebab kebinasaannya.

Sebab, ilmu tersebut tidak membuat derajatnya terangkat. Akhirnya, justru ilmu itu menjadi bencana baginya. Maka dari itu, seandainya dia bukan seorang yang berilmu, tentu itu lebih baik bagi dia dan azabnya pun menjadi lebih ringan.

  1. Dia memilih sesuatu yang rendah, bukan karena lintasan pikiran dan bisikan jiwanya, melainkan karena kecenderungannya kepada dunia secara total.

Asal kata ikhlaad (dalam ayat), maknanya adalah ‘terus dan selalu’. Seolah-olah dikatakan bahwa dia lebih cenderung kepada dunia. Diungkapkan kecenderungan itu dengan kata ardh (bumi) karena dunia itu adalah bumi; semua yang ada padanya dan semua yang dikeluarkan olehnya, berupa perhiasan ataupun harta benda.

  1. Dia tidak menghendaki hidayah-Nya.

Dia justru lebih suka mengikuti hawa nafsunya, lalu menjadikan hawa nafsunya sebagai imam yang dipatuhi dan diikuti.

  1. Dia diserupakan dengan seekor anjing.

Anjing merupakan hewan yang paling rendah keinginannya, paling rendah nilainya, paling bakhil, dan paling parah kalab (kerakusan)nya, sehingga dinamakan kalb (anjing).

  1. Diserupakan juluran lidahnya terhadap dunia, ketidaksabaran dan keluhannya jika kehilangan dunia, dan ambisinya memperoleh dunia, sebagaimana juluran lidah anjing dalam dua keadaannya; dibiarkan atau dihalau dengan usiran, dan seterusnya.

Orang semacam ini, jika dibiarkan, dia akan menjulurkan lidahnya untuk mendapatkan dunia. Kalau diberi peringatan atau teguran, dia juga tetap seperti itu, tetap menjulurkan lidah. Jadi, perbuatannya menjulurkan lidah ini, tidak dia tinggalkan dalam segala keadaan, seperti halnya seekor anjing.

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,

“Segala sesuatu yang menjulurkan lidahnya adalah karena dia haus atau keletihan, kecuali seekor anjing. Anjing menjulurkan lidahnya dalam keadaan tenang dan istirahat, saat kehausan ataupun tidak. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala membuat perumpamaan ini bagi orang-orang kafir.

(Seolah-olah) Allah subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Kalau engkau menasihatinya, dia akan tetap sesat. Kalau engkau biarkan dia, dia juga akan tetap sesat. Layaknya seekor anjing; kalau engkau mengusirnya, dia menjulurkan lidahnya; dan kalau engkau membiarkannya, dia juga akan tetap menjulurkan lidahnya.’”

Perumpamaan ini tidak mutlak untuk semua anjing, tetapi hanya anjing yang selalu menjulurkan lidah. Hal itu merupakan keadaan yang paling rendah dan paling buruk.

Dalam kitabnya yang lain (Tafsir Ibnul Qayyim), Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan tafsir ayat ini,

Allah subhanahu wa ta’ala menyerupakan orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan diajari ilmu yang orang lain tidak dikehendaki-Nya untuk memahaminya. Akan tetapi, dia (orang yang telah memiliki ilmu ini) tidak mengamalkannya. Dia justru mengikuti hawa nafsunya, lebih memilih kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala daripada keridhaan-Nya, lebih mementingkan dunia daripada akhirat, dan lebih mengedepankan makhluk daripada Penciptanya. Dia bagaikan seekor anjing.

Baca juga:

Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf

Padahal, amat jelas bahwa anjing adalah seburuk-buruk binatang, bahkan yang paling rendah derajat dan nilainya. Hewan yang keinginannya tidaklah lebih dari sekadar memenuhi perutnya, dan yang paling parah kejahatan serta ketamakannya.

Di antara bentuk ketamakan anjing adalah ia berjalan dengan moncong yang senantiasa mendekati tanah, mencium, dan menghirupnya. Dia selalu mencium duburnya sendiri, bukan bagian tubuhnya lain. Jika kamu melemparkan batu ke arahnya, niscaya dia akan mengejar batu itu untuk menggigitnya karena rakusnya yang keterlaluan. Binatang yang paling hina, yang paling rela menerima dunia.

Bangkai kotor yang busuk lebih disukainya daripada daging segar. Najis dan kotoran lebih dia senangi daripada manisan. Kalau dia menemukan bangkai yang cukup untuk seratus ekor anjing, dia tidak akan membiarkan anjing lain mendekatinya. Dia akan mengusirnya karena ketamakan dan kekikirannya.

Kalau dia melihat orang yang berpakaian dekil dan buruk, niscaya dia akan menggonggongnya dan mengusirnya, seolah-olah orang itu hendak menyainginya dan merebut kekuasaannya. Akan tetapi, kalau dia melihat orang yang berbaju indah, rapi, dan berkedudukan, dia akan menundukkan moncongnya ke tanah, merunduk, dan tidak berani mengangkat kepalanya ke arah orang tersebut.

Waspadailah Kejahatan Orang Alim yang Fajir dan Abid yang Jahil

Demikianlah keadaan orang alim yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat. Adapun abid (ahli ibadah) yang jahil (bodoh terhadap urusan agama), kerusakannya ialah berupa sikapnya yang menjauh dari ilmu dan hukum-hukumnya, khayalan dan perasaan yang menguasai dirinya, serta hawa nafsu yang selalu dia ikuti.

Oleh sebab itulah Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengatakan,

“Jauhilah fitnah (keburukan) orang alim yang fajir (jahat), dan fitnah abid yang jahil. Sebab, keburukan keduanya adalah keburukan bagi semua orang. Yang pertama (abid), dengan kejahilannya, dia menghalangi manusia dari ilmu dan konsekuensinya; dan yang kedua (alim), dengan kesesatannya, dia mengajak manusia pada perbuatan-perbuatan keji.”

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan perumpamaan bagi jenis kedua, dengan firman-Nya,

كَمَثَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ إِذۡ قَالَ لِلۡإِنسَٰنِ ٱكۡفُرۡ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيٓءٌ مِّنكَ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦ فَكَانَ عَٰقِبَتَهُمَآ أَنَّهُمَا فِي ٱلنَّارِ خَٰلِدَيۡنِ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٧

“(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu!’ Kemudian ketika manusia itu menjadi kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.’ Maka kesudahan bagi keduanya, bahwa keduanya masuk ke dalam neraka, kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang zalim.” (al-Hasyr: 16—17)

Kisah Setan, Rahib, dan Wanita

Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan,

Konon, pada zaman Bani Israil dahulu ada seorang rahib yang tekun beribadah selama enam puluh tahun. Berkali-kali setan menggodanya, tetapi selalu gagal. Akhirnya, setan mendatangi seorang wanita lantas membuatnya gila.

Wanita itu mempunyai beberapa saudara laki-laki. Setan kemudian membisikkan kepada saudara-saudaranya agar membawanya kepada rahib tersebut untuk diobati. Wanita itu pun diobati oleh si rahib dan ia tetap tinggal di sana.

Suatu hari, ternyata wanita itu memikat hati si rahib. Dia pun menggaulinya hingga wanita itu hamil. Ketika melihat kenyataan ini, si rahib takut namanya tercemar hingga dia pun membunuh wanita tersebut. Kemudian datanglah saudara-saudara wanita itu. Ternyata saudara mereka pun dibunuh oleh rahib itu.

Akhirnya, setan datang menemui si rahib dan berkata, “Aku adalah temanmu. Kamu selalu menyulitkanku. Akulah yang mengatur semua ini. Kalau kamu menaatiku, aku pasti akan menyelamatkanmu. Oleh karena itu, sujudlah kepadaku.”

Rahib itu pun sujud kepadanya. Setelah dia sujud, setan berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”

Demikianlah sepenggal kisahnya.

Jadi, pangkal kekafiran kaum Yahudi adalah karena mereka tidak mengamalkan ilmu yang sudah mereka miliki. Mereka telah mengetahui al-haq, tetapi tidak membuktikannya dalam bentuk amalan.

Adapun kekafiran kaum Nasrani tampak dari sisi amalan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka bersungguh-sungguh dalam berbagai jenis ibadah tanpa dasar syariat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, mereka mengatakan sesuatu atas nama Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu.

Baca juga:

Bertabarruk dengan Jejak dan Peninggalan Orang Saleh, Ghuluw dalam Agama

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Ibnul Mubarak rahimahullah yang mengatakan,

رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ  * وَقَدْ يُوْرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا

وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ * وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا

وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلاَّ الْمُلُوكُ * وَأَحْبَارُ سُوْءٍ وَرُهْبَانُهَا

Aku melihat bahwa dosa akan mematikan hati,

         terusmenerus berbuat dosa akan mewariskan kehinaan

Meninggalkan dosa adalah (sebab) hidupnya hati,

        menentangnya lebih baik bagi dirimu

Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali para raja,

       ulama jahat, dan para pendetanya

Maka dari itu, bersungguh-sungguhlah, wahai saudaraku, untuk menjadi ulama akhirat yang cerdas. Jauhilah kedunguan orang-orang yang dangkal pikirannya dan pendeknya akal ahli dunia yang bebal.

Alangkah indahnya ungkapan Imam asy-Syafi’i rahimahullah,

إِنَّ لِلهِ عِبَـاداً فُطَـنَا  * طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الْفِتَنَا

نَظَرُوا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا * أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا

جَعَلُوهَا لُجَّةً واتَّخَذُوا * صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيهَا سُفُنَا

Sungguh, Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,

        yang meninggalkan dunia karena takut keburukannya

Mereka mencermati dunia, dan setelah menyadarinya,

        nyatalah bahwa ia (dunia) bukanlah kehidupan abadi

Mereka menjadikan dunia layaknya gelombang,

       lalu menyiapkan amalan saleh sebagai perahu, dan menyeberanginya

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits

 

ahli ibadahahli ibadah yang jahilulamaulama jahat