Mempersaksikan Talak dan Rujuk

Mempersaksikan Talak

Ketika seseorang telah menyatakan talak terhadap istrinya, dia harus mempersaksikan talaknya tersebut kepada dua orang lelaki yang adil dan istiqamah (tidak fasik). Dalilnya adalah hadits Imran bin Hushain radhiallahu anhu,

أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ, ثُمَّ يَقَعُ بِهَا وَلَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَلاَ عَلَى رَجْعَتِهَا. فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَرَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، أَشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَعَلَى رَجْعَتِهَا وَلَا تَعُدْ

Imran bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak istrinya, kemudian menggaulinya (merujuknya) dalam keadaan tidak mempersaksikan talak dan rujuknya.

Imran pun berkata, Kamu telah menalak dan merujuk tanpa mengikuti As-Sunnah. Persaksikanlah talak dan rujukmu (sekarang), dan janganlah kamu ulangi hal ini!” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Sanadnya dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)[1]

Baca juga: Definisi dan Hukum Talak

Pada hadits ini, Imran bin Hushain radhiallahu anhu menyatakan bahwa talak dan rujuk yang disertai dengan persaksian, adalah sebuah sunnah (ajaran). Maksudnya adalah Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan selainnya. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٍ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ

“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, serta persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (ath-Thalaq: 2)

Hal ini (persaksian) berlaku apabila perintah Allah subhanahu wa ta’ala “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil” dianggap tertuju pada talak dan rujuk, sebagaimana tafsir yang dipilih oleh as-Sa’di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman.

Menurut tafsir lainnya, perintah tersebut hanya tertuju pada rujuk sehingga ayat ini bukan dalil untuk persaksian pada talak. Tafsir inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Alasan mereka, perintah tersebut (mendatangkan saksi) disebutkan setelah perintah untuk melakukan rujuk dengan baik.

Ada dua pendapat mengenai hukum hal ini:

  1. Mempersaksikan talak hukumnya adalah wajib.

Ini berdasarkan perintah yang ada pada dua dalil tersebut karena perintah itu bersifat wajib.

  1. Jumhur berpendapat sunnah, tidak wajib.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma tentang kasus perceraiannya dengan istrinya yang dijatuhkannya saat haid. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah mempertanyakan talaknya; apakah dia mempersaksikannya atau tidak?

Adapun hadits Imran radhiallahu anhu, yang hukumnya marfu’ (dinyatakan sebagai Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam), adalah mempersaksikan talak dan rujuk yang boleh jadi hukumnya wajib atau sunnah. Perintah yang ada pada hadits itu adalah ucapan Imran sendiri, yang bisa jadi itu adalah hasil ijtihadnya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Yang jelas, mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak itu jatuh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Imran bin Hushain radhiallahu anhu.

Mempersaksikan Rujuk

Disyariatkan pula untuk mengumumkan dan mempersaksikan rujuk kepada dua orang saksi laki-laki yang adil (istiqamah), berdasarkan hadits Imran bin Hushain dan ayat di atas.

Ada dua pendapat mengenai hukum hal ini:

  1. Ada yang berpendapat wajib

Ini berdasarkan perintah yang ada pada dua dalil tersebut karena perintah itu bersifat wajib.

  1. Jumhur ulama berpendapat sunnah

Alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut.

  • Rujuk adalah hak suami untuk menggenggam kembali apa yang menjadi miliknya—yakni istrinya, tanpa perlu kerelaan dari sang istri. Dengan demikian, ia (suami) tidak wajib mempersaksikannya.
  • Pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Umar,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا

“Perintahkan dia agar merujuk istrinya.” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan

Di sini Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintah Ibnu Umar agar merujuk istrinya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mempersaksikan rujuknya itu.

  • Rujuk adalah pasangan talak; dan mempersaksikan talak hukumnya hanya sunnah, tidak wajib. Demikian pula hukum mempersaksikan rujuk, ia hanya sunnah.

Adapun hadits Imran, yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam) telah dijawab di atas.

Baca juga: Fatwa Seputar Talak

As-Sa’di dan Ibnu Utsaimin dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram, menguatkan pendapat jumhur. Namun, dalam asy-Syarh al-Mumti’, Ibnu Utsaimin memberikan rincian:

  • Jika suaminya merujuk istrinya di hadapannya langsung, ia tidak wajib mempersaksikannya.
  • Jika ia merujuknya tanpa kehadirannya (istri), ia wajib mempersaksikannya. Sebab, dikhawatirkan ia baru mengabari istrinya mengenai hal tersebut setelah habis masa idahnya, dan ternyata sang istri mengingkari hal tersebut sehingga hal ini menjadi sebuah Inilah pendapat yang rajih (kuat), insya Allah.
Baca juga: Jangan Mudah Minta Cerai!

Yang jelas, mempersaksikan rujuk dapat dilakukan saat rujuk atau disusulkan setelah rujuk terjadi, sebagaimana pada hadits Imran bin Hushain radhiallahu anhu. Mempersaksikan rujuk tidak mesti dilakukan saat rujuk karena jatuhnya rujuk tidak bergantung pada adanya saksi. Jika ia merujuknya dengan bersenggama disertai niat rujuk, tidak mungkin ia mempersaksikannya saat rujuk.

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:

[1] Lihat kitab Bulughul Maram (“Kitab an-Nikah”, “Bab ar-Raj’ah”) dan al-Irwa’ (no. 2078).

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

 

bimbingan rumah tanggaceraihukum talakperceraianproblem rumah tanggarujuktalaktalak raj'i