Meraih Ridha Allah dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya. Sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.”

Takhrij Hadits

Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh

  • Imam at-Tirmidzi dalam as-Sunan, “Kitab al-Birr wash Shilah”, “Bab Ma Ja`a fi Haqqil Jiwar” (1/353) no. 1944,
  • ad-Darimi dalam as-Sunan (2/215) no. 2441,
  • Ibnu Hibban dalam ash-Shahih 518 dan 519,
  • al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/101) dan (4/164),
  • Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad (2/167—168),
  • al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, “Bab Khairul Jiran”, no. 115,
  • al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 9541,
  • dan Ibnu Bisyran dalam al-‘Amali (1/143).

Hadits di atas berasal dari jalan Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahiah, keduanya dari Syurahbil bin Syarik, dari Abu Abdurrahman al-Hubuli, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma[1], dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Melalui dua perawi ini (Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahiah) semua meriwayatkan hadits Ibnu Amr radhiallahu anhuma, kecuali at-Tirmidzi, al-Bukhari, Ibnu Hiban, dan al-Hakim. Mereka hanya menyebutkan Haiwah bin Syuraih tanpa menyertakan Ibnu Lahiah.

Hadits ini sahih, wallahu a’lam. Adapun kelemahan pada Ibnu Lahiah, tidak membahayakan karena dia meriwayatkan bersama Haiwah bin Syuraih at-Tamimi al-Mishri[2]. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Demikian pula Ibnu Bisyran menilainya sahih. Adapun at-Tirmidzi menilainya hasan.

Baca juga:

Istilah Hadits

Al-Hakim an-Naisaburi berkata, “Shahih ‘ala syarthi Syaikhain (Hadits ini sahih sesuai syarat dua syaikh, yakni al-Bukhari dan Muslim).”[3]

At-Tirmidzi berkata, “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).”

Ibnu Bisyran[4] berkata, “Haditsun shahihun wa isnaduhu kulluhum tsiqat (Hadits ini sahih dan sanadnya semuanya perawi-perawi tepercaya).”

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam ash-Shahihah (1/211) no. 103.

Islam Mengatur Adab Bertetangga

Sebagai makhluk sosial, mustahil bagi kita hidup menyendiri tanpa tetangga atau orang lain. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita saling membantu di atas kebaikan dan takwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ 

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)

Hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma yang ada di hadapan kita, adalah sekian dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mengajari seorang muslim dalam berakhlak dan bermuamalah dengan tetangganya.[5]

Tetangga adalah orang terdekat dalam kehidupan. Tidaklah seseorang keluar dari rumah melainkan dia melewati tetangganya. Saat dirinya membutuhkan bantuan, tetanggalah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan, saat dia meninggal, bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, melainkan tetanggalah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan jenazahnya.

Baca juga:

Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh

Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ًٔاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (an-Nisa: 36)

Cukuplah ayat ini sebagai hujah atas manusia untuk mereka selalu berbuat baik dan berakhlak mulia kepada tetangga.

Pembaca rahimakumullah… Sejenak kita simak beberapa faedah dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada tetangga dengan segala bentuk kebaikan.

Sabda ini juga memberikan faedah bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam berbuat baik kepada tetangga. Semakin baik seseorang kepada tetangga, semakin mulia dan tinggi pula derajatnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam hadits ini ada isyarat yang sangat lembut untuk berlomba dalam berbuat baik kepada tetangga agar menjadi yang terbaik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah dunia, di atas kefanaannya, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan dia sebagai ladang beramal dan berlomba meraih kedekatan di sisi-Nya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al-Maidah: 35)

Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik kepada Tetangga?

Pertanyaan yang penting ini tidaklah terjawab kecuali dengan menapaki perjalanan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, teladan terbaik dalam segala sisi kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

Ayat ini adalah kaidah dalam mengarungi samudra kehidupan, termasuk dalam hidup bertetangga.

Baca juga:

Adab Diri pada Lisan, Tetangga, dan Tamu

Pembaca rahimakumullah, seorang dikatakan berbuat baik dan memiliki adab mulia kepada tetangga jika dia wujudkan dua pokok penting. Keduanya ditunjukkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

  1. Menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan hal yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.

  2. Berbuat baik dan menempuh segala sebab yang sesuai dengan syariat yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu al-Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hlm. 62—63)

Meninggalkan Segala Bentuk Kezaliman dan Hal yang Memudaratkan Tetangga

Pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita. Pokok pertama ini ditunjukkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia sakiti tetangganya.” (HR. al-Bukhari no. 4787)

Jeleknya hubungan bertetangga sering kita saksikan, terlebih pada akhir zaman, di tengah-tengah rusaknya agama dan tatanan kehidupan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal tersebut adalah satu dari sekian banyak tanda dekatnya hari kiamat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَسُوْءُ الْمُجَاوَرَةِ

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-perbuatan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”[6]

Baca juga:

Ruwaibidhah: Fenomena Akhir Zaman

Apa yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kabarkan benar-benar menjadi kenyataan. Perzinaan mewabah, bahkan dilegalkan. Manusia berlomba saling menjatuhkan dan memutus tali kekerabatan. Rusaknya hubungan bertetangga dan jeleknya muamalah di antara mereka pun terwujud dan tampak nyata.

Seseorang tidak lagi mengenal tetangga yang hanya berbatas tembok. Jangankan untuk memperhatikan kebutuhan dan keadaannya, mengucapkan salam dan bertegur sapa pun menjadi hal yang sulit dijumpai.

Kezaliman pada tetangga dengan berbagai ragamnya sangat banyak terjadi. Bahkan, membunuh tetangga sering kita dengar di sejumlah berita. Allahu akbar! Benarlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam empat belas abad silam,

لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتُلَ الرَّجُلُ جَارَهُ وَأَخَاهُ وَأَبَاهُ

“Hari kiamat tidak akan dibangkitkan hingga seseorang membunuh tetangga, saudara, dan bapaknya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, “Bab al-Jar as-Su`” dari hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu)

Zalim kepada Tetangga Lebih Berat di Sisi Allah

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan segala bentuk kezaliman atas hamba-Nya. Akan tetapi, kezaliman kepada tetangga jauh lebih berat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada kezaliman kepada selain mereka.

Miqdad bin al-Aswad radhiallahu anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, menuturkan,

سَأَلَ رَسُولُ أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَى، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang zina. Mereka mengatakan, ‘Zina itu haram, telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.’

Kemudian beliau bersabda, ‘Sungguh, seseorang berzina dengan sepuluh wanita lebih ringan baginya daripada berzina dengan istri tetangganya.’

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa pendapat kalian tentang mencuri?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, mencuri adalah haram.’

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan atasnya daripada mencuri dari rumah tetangganya’.” (Sahih, HR. Ahmad dalam al-Musnad [6/8], al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [no. 103] dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/605])

Baca juga:

Status Anak Zina

Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata,

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

Dikatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada kebaikan pada dirinya. Dia termasuk penghuni neraka.” (Sahih, HR. Ahmad dalam al-Musnad [2/440] dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 119)

Bahkan, dalam sabda yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraih radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!”

Rasul ditanya, “Siapa wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. al-Bukhari dalam ash-Shahih no. 6016 dan Ahmad dalam al-Musnad [4/31 dan 6/385])

Baca juga:

Jagalah Lisanmu

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini terdapat dalil akan haramnya berbuat zalim kepada tetangga, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Di antara kezaliman dalam bentuk perkataan adalah memperdengarkan kepada tetangga suara yang mengganggu, seperti radio, televisi, atau suara sejenis yang mengganggu. Sesungguhnya, hal ini tidaklah halal, meskipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Qur’an. (Selama hal itu) mengganggu tetangga, berarti dia telah berbuat zalim. Tidak halal baginya untuk melakukannya.[7]

“Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, contohnya membuang sampah di sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau hal semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini adalah jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga, ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/178)

Meninggalkan kezaliman terhadap tetangga adalah pokok yang sangat penting dalam bermuamalah dengan tetangga. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selamatkan kita dari segala bentuk kezaliman yang pada hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat. Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (Muttafaqun alaih dari hadits Umar bin al-Khaththab)

Berbuat Baik kepada Tetangga dan Menempuh Segala Sebab yang Mendatangkan Kebaikan Baginya

Dalil bagi pokok kedua adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 102)

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk berbuat baik dan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)

Berbuat baik tidak terbatas pada manusia, bahkan kepada hewan, syariat Islam pun memerintahkannya.[8]

Baca juga:

Berbuat Baik kepada Sesama

Di samping perintah yang bersifat umum, secara khusus Islam memerintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan bahwa ihsan kepada mereka termasuk dari iman dan syarat kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Hadits ini menunjukkan wajibnya memuliakan tetangga, berdasar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’.

“Memuliakan dalam hadits ini bersifat mutlak (mencakup segala bentuk pemuliaan). Jadi, (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam, dan bertamu kepada mereka. Bisa jadi pula dengan cara memberinya hadiah-hadiah. Masalah ini dikembalikan kepada ‘urf.” (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 201—203)

Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sangat berharga dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat. Adat masyarakat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat seharusnya diperhatikan dalam mewujudkan keharmonisan hidup bertetangga. Terlebih, jika adat tersebut memberi nilai positif bagi dakwah tauhid.

Sebagai misal, dalam adat masyarakat Jawa, dikenal adanya bahasa halus yang digunakan sebagai bentuk penghormatan yaitu “krama inggil”. Biasanya bahasa ini digunakan untuk mengajak bicara orang yang lebih tua atau dihormati. Karena itu, termasuk ikram (memuliakan) kepada tetangga—allahu a’lam—adalah mengajak bicara mereka dengan bahasa “krama”, sebagai bentuk penghormatan. Apalagi kepada tetangga yang sudah berumur.

Baca juga:

Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Demikian pula adat-adat lain. Selama adat tersebut tidak menyelisihi syariat dan termasuk perbuatan baik, adat tersebut masuk dalam bentuk pemuliaan yang disebut secara mutlak dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Pembaca rahimakumullah, di pengujung pembahasan pokok kedua ini, perlu kiranya kita menengok beberapa bentuk pemuliaan yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia. Di antara bentuk pemuliaan adalah,

1. Membantu kebutuhan pokok tetangga yang membutuhkan jika dia memiliki kelebihan.

Membantu kebutuhan pokok tetangga, seperti makan jika mereka kelaparan atau pakaian jika mereka telanjang, hukumnya wajib; apabila dia memiliki kelebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

“Tidaklah beriman seorang yang kenyang, sementara tetangganya lapar di sisinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 112, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [1/278] hadits no. 149)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang haramnya orang kaya membiarkan tetangga-tetangganya dalam keadaan lapar. Oleh karena itu, wajib atasnya menyuguhi mereka sesuatu yang bisa menghilangkan lapar. Demikian pula memberikan pakaian jika mereka telanjang dan kebutuhan pokok semisalnya.

Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwasanya ada kewajiban lain pada harta selain zakat. Karena itu, janganlah orang-orang kaya menyangka telah terbebas dari kewajiban hanya dengan mengeluarkan zakat setiap tahunnya.

Baca juga:

Adab Pembayaran Zakat

Ada kewajiban-kewajiban lain atas mereka dalam situasi dan kondisi tertentu yang wajib mereka tunaikan. Jika tidak, mereka akan masuk dalam ancaman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٣٤ يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ ٣٥

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 34—35) (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 1/280—281)

2. Mempersilakan tetangga memasang kayu pada temboknya selama tidak merugikan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبةً فِيْ جِدَارِهِ

“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menghalangi tetangganya untuk memasang kayu di temboknya.” (HR. al-Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 1609 dalam Shahih keduanya)

Makna hadits ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,

“Jika tetanggamu hendak mengatapi rumahnya dan (dia perlu) meletakkan kayu pada tembokmu, tidak boleh bagimu melarangnya. Sebab, (keberadaan) kayu tersebut tidak membahayakan, bahkan akan memperkuat (tembok) dan mencegah aliran air dengannya. Terlebih (konstruksi) bangunan tempo dahulu, rumah-rumah dibangun dengan tanah yang dipadatkan. Keberadaan kayu justru akan mencegah mengalirnya air hujan pada tembok….”[9]

Permasalahan memasang kayu serupa dengan keputusan Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu ketika terjadi sengketa antara Muhammad bin Maslamah radhiallahu anhu dan tetangganya.

Ketika itu (Muhammad bin Maslamah radhiallahu anhu) bermaksud mengalirkan air menuju kebunnya. Akan tetapi, terhalangi kebun tetangganya (sehingga air tidak mungkin dialirkan kecuali harus melewati kebun tersebut). Tetangga Muhammad bin Maslamah radhiallahu anhu (bersikeras) menghalanginya untuk membuat aliran di atas tanah kebun miliknya.

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Keduanya mengangkat permasalahan kepada Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Umar berkata, “Demi Allah, jika engkau menghalangi, aku akan mengalirkan air melalui perutmu, dan aku perintahkan dia untuk mengalirkan air.”

(Keputusan ini diambil) karena mengalirkan air melalui tanah kebun tidaklah merugikan. Bahkan, kebun yang dilaluinya akan mendapat manfaat dengan aliran tersebut. Terkecuali jika memang si pemilik kebun hendak membangun bangunan di atas tanahnya dan tidak memungkinkan untuk mengalirkan air di atasnya. Tidak mengapa dia melarangnya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/179—180)

3. Memberi hadiah kepada tetangga, seperti memperbanyak kuah ketika memasak.

Memberi hadiah atau bingkisan kepada tetangga termasuk kebaikan yang diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Saling memberi hadiah adalah salah satu sebab terwujudnya cinta dan kasih sayang. Sampai-sampai beliau shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu anhu,

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمَرَقَةِ وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ أَوِ اقْسِمْ فِي جِيرَانِكَ

“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak gulai, perbanyaklah kuahnya, perhatikan tetanggamu, dan bagilah untuk tetanggamu.” (Sahih, HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 114)

Demikian beberapa teladan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam berbuat baik kepada tetangga. Tiga contoh di atas bukanlah pembatasan karena banyaknya bentuk ihsan (berbuat baik). Oleh karena itu, seharusnya seorang muslim berusaha mewujudkan hal ini dengan berbagai bentuk kebaikan, baik ucapan atau perbuatan, seperti memenuhi undangan, memberikan nasihat, berdakwah, berkunjung, menjenguk di kala sakit, atau menutup aib-aib. Demikian juga segala bentuk kebaikan menurut adat yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Bersedekahlah

Pembaca rahimakumulah, ketahuilah bahwa berbuat baik kepada tetangga termasuk pokok dakwah yang diserukan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sadi rahimahullah berkata, “Di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah … mereka memerintahkan yang makruf dan melarang kemungkaran, sesuai dengan yang dituntunkan syariat. Mereka memerintahkan berbakti kepada orangtua, menyambung kekerabatan, dan berbuat baik kepada tetangga.” (Muqaddimah al-Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, hlm. 35)

Begitu besar hak tetangga hingga Jibril alaihis salam senantiasa mewasiatkan tentang tetangga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Senantiasa Jibril mewasiatiku tentang tetangga hingga aku menyangka bahwa tetangga akan mewarisi.” (HR. al-Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624 dalam Shahih keduanya dari Aisyah radhiallahu anha)

Akhlak Mulia adalah Keharusan dalam Dakwah

Akhlak mulia sangat dibutuhkan dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat, bahkan merupakan keharusan dalam dakwah. Dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dakwah yang dipenuhi kelembutan dan kasih sayang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat lembut dan dekat dengan umatnya. Bahkan, rumah beliau shallallahu alaihi wa sallam selalu terbuka tanpa penjaga pintu, tidak sebagaimana kebiasaan raja-raja dunia.

Allah subhanahu wa ta’ala memuji akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Baca juga:

Meneladani Akhlak Nabi

Dakwah akan diberkahi dengan tauhid dan akhlakul karimah. Janganlah akhlak yang buruk justru menjadi sebab manusia lari dari kebenaran. Sungguh menggembirakan kala kita mendengar banyak ma’had (pondok pesantren, -red.) Ahlus Sunnah berdiri.

Namun, perlu diingat bahwa perkembangan tersebut harus dihiasi dengan akhlak mulia. Jalinlah hubungan baik dengan masyarakat, terutama tetangga. Berkunjunglah kepada mereka dengan adab-adab Islam. Jangan menjadikan kaum muslimin yang awam agama sebagai musuh. Justru mereka merupakan lahan dakwah yang membutuhkan tetesan kasih sayang.

Baca juga:

Akhlak Seorang Dai

Pembaca rahimakumullah, kita akhiri majelis ini dengan sebuah wasiat bagi seluruh muslimin untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali menelaah serta meneladani akhlak Rasulullah shallallahu wa sallam. Inilah jalan kebahagiaan dan kejayaan. Inilah jalan kemenangan dan manhaj kehidupan, untuk menggapai ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan cinta-Nya.

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Beliau adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhu, bertemu nasabnya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada Ka’b bin Lu`ai. Beliau meninggal pada 65 H.

[2] Hadits ini juga datang dari jalan Abdulah bin Yazid al-Muqri, yang mendengar hadits Ibnu Lahiah sebelum kitab-kitabnya terbakar dan sebelum hafalannya berubah.

[3] Riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak ada dua kerancuan.

Pertama: Al-Hakim mengganti Syarahbil bin Syarik dengan rawi lain, yaitu Syarahbil bin Muslim.

Kedua: Perkataan al-Hakim, “Hadits ini sahih menurut syarat asy-Syaikhain,” tidaklah tepat. Sebab, meskipun Syarahbil bin Muslim adalah tsiqah, tetapi Muslim tidak mengeluarkan haditsnya dalam ash-Shahih. Adapun Syarahbil bin Syarik hanya dikeluarkan oleh Imam Muslim dan tidak dikeluarkan haditsnya oleh al-Bukhari. Lihat ash-Shahihah (1/212).

Al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib (3/360) menyebutkan bahwa al-Hakim menghukuminya sebagai hadits sahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Jadi, ada kemungkinan lain bahwa kesalahan bukan dari al-Hakim, tetapi dari percetakan atau dari nasikh. Allahu a’lam.

[4] Beliau adalah Abdul Malik bin Muhammad bin Abdillah bin Bisyran, meninggal pada 430 H.

[5] Al-Bukhari misalnya. Beliau mengumpulkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkaitan dengan hak-hak tetangga dalam 28 bab khusus dalam al-Adabul Mufrad, diawali dengan “al-Wushat bil Jar” (wasiat untuk berbuat baik kepada tetangga) dan diakhiri dengan “Bab Jar al-Yahudi” (Tetangga Yahudi).

[6] Sahih, HR. Ahmad dalam Musnad-nya (10/26—31) dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah. Beliau berkata, “Sanadnya shahih.” Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/75—76) dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhu.

[7] Terlebih jika tetangga dalam keadaan sakit, suara-suara keras termasuk bacaan Al-Qur’an membuatnya tidak bisa beristirahat. Lantas bagaimana jika yang diperdengarkan adalah suara-suara yang Allah haramkan, seperti musik dan sejenisnya? Sungguh, dosa di atas dosa!

[8] Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berlaku baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh, berlaku baiklah dalam membunuh. Apabila kalian menyembelih, berlaku baiklah dalam menyembelih. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Muslim dalam ash-Shahih [13/1955] dengan syarah an-Nawawi, dari hadits Syaddad bin Aus radhiallahu anhu)

[9] Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Mazhab Imam Ahmad bahwasanya seseorang harus mempersilakan tetangganya meletakkan kayu pada temboknya jika tetangga membutuhkan dan tidak membahayakan tembok, berdasar hadits yang sahih ini.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, 1/352)

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Rijal, Lc.

adab bertetanggaberbuat baikhak tetanggamuamalahtetangga