Titian Tuk Menundukkan Wajahku didepanMu

Pada pembahasan kali ini kita akan membahas perkara-perkara yang bersangkutan dengan wudhu. Di antaranya adalah sebagai berikut.

 

Jumlah Pencucian (Pengusapan) Anggota Wudhu

Dalam permasalahan ini, kami tidak akan membahas berapa kali mencuci kepala karena masalah ini telah dibahas dalam edisi yang telah lalu. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa yang wajib adalah anggota wudhu masing-masing dicuci sebanyak satu kali,[1] dan beliau sendiri pernah berwudhu dengan mencuci anggota wudhunya masing-masing dua kali,[2] pernah pula tiga kali-tiga kali[3] dan tidak lebih dari itu.” (Shahih al-Bukhari bersama Fathul Bari, 1/293)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dikecualikan dalam hal ini apabila ia mengetahui ada bagian dari anggota wudhunya yang tidak terkena air setelah pencucian beberapa kali, maka boleh baginya mencuci sebatas bagian yang tidak terkena air tersebut. Adapun orang yang ragu setelah selesai berwudhu maka tidak boleh ia mencucinya agar tidak mengantarkan dia kepada sifat waswas yang tercela.” (Fathul Bari, 1/295)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa yang wajib dalam mencuci anggota wudhu adalah masing-masing satu kali, sedangkan mencuci sebanyak tiga kali hukumnya sunnah.

Beliau juga menyatakan dibolehkan berbeda-beda jumlah pencucian anggota wudhu, mungkin ada yang sekali, ada yang dua kali, dan ada pula yang tiga kali, karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits sahih yang berbicara tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 3/106, 123). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci anggota wudhunya tidak lebih dari tiga kali. (al-Majmu’, 1/490, Zadul Ma’ad, 1/48,49, Subulus Salam, 1/73)

 

Bersiwak

Siwak secara bahasa mengandung dua makna, bisa yang dimaksud adalah perbuatan (fi’il) bersiwak dan bisa pula yang dimaksud adalah alat berupa kayu (miswak) yang digunakan untuk membersihkan gigi. (Fathul Bari, 1/443, Subulus Salam, 1/63)

Dalam pandangan syariat, siwak berarti menggunakan kayu dan semisalnya untuk menghilangkan bau mulut, warna kuning (kotoran), dan semisalnya, dari gigi. (al-Majmu’, Nailul Authar, 1/152)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak disunnahkan dalam seluruh waktu dan lebih ditekankan lagi pada lima waktu:

Pertama, ketika hendak shalat, sama saja baik dia bersuci dengan air (wudhu) atau dengan debu (tayammum), ataupun tidak bersuci sama sekali karena tidak mendapatkan air dan debu.

Kedua, ketika berwudhu.

Ketiga, ketika hendak membaca al-Qur’an.

Keempat, ketika bangun tidur.

Kelima, ketika bau mulut berubah, bisa karena tidak makan dan minum, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap, diam dalam waktu lama, ataupun karena banyak berbicara. (Syarah Shahih Muslim, 3/142143)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ الصَّلاَةِ

“Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” (HR . al-Bukhari no. 887 dan Muslim no. 252) Dalam riwayat Malik (no. 22), Ahmad (6/50), an-Nasai (no. 7), dan al-Bukhari secara mu‘allaq disebutkan dengan lafadz,

عِنْدَ كُلِّ الوُضُوْءِ

“Setiap kali wudhu.”

Dari hadits di atas, semakin jelas bagi kita sunnahnya bersiwak ketika berwudhu.

Kebanyakan hadits yang menyebutkan masalah siwak menyebutkan bahwa bersiwak itu dengan menggunakan alat (kayu) yang khusus. Seperti dalam hadits Abu Musa al-Asy‘ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan kayu siwak yang masih basah sementara ujung siwak berada di atas lidah beliau, terdengar beliau bersuara seperti suara orang yang akan muntah (karena sungguh-sungguhnya beliau dalam bersiwak).” (HR . al-Bukhari no. 244 dan Muslim no. 254)

Namun bila kita kembali kepada pengertian yang ada, maka bisa digunakan segala alat (sarana) yang bisa menghilangkan bau mulut seperti kain perca yang kasar, jari yang kasar dan sikat gigi. Namun tentunya yang paling bagus adalah menggunakan kayu arak yang tidak terlalu kering yang bisa melukai gusi, dan tidak pula terlalu basah sehingga tidak bisa menghilangkan kotoran dan semisalnya. (Subulus Salam, 1/64)

 

Menggerak-gerakkan Cincin

Ulama berbeda pendapat tentang menggerak-gerakkan cincin ketika berwudhu. Di antara yang berpendapat menggerakkannya adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr, Muhammad bin Sirin, ‘Amr bin Dinar, ‘Urwah bin Zubair, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, al-Hasan, Ibnu ‘Uyainah, dan Abu Tsaur. Sementara al-Imam Malik dan al-Auza’i berpendapat tidak disyariatkan menggerak-gerakkan cincin ini, dan diriwayatkan bahwa Salim bin Abdullah pernah berwudhu tanpa menggerakkan cincinnya. Ada juga di kalangan ahli ilmu yang berpendapat dengan merinci, apabila cincin itu sempit, maka digerak-gerakkan. Namun bila longgar, maka tidak perlu digerakkan. Pendapat ini dipegangi Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah, al-Imam Ahmad bin Hambal, dan Ibnul Mundzir. (al-Ausath, 1/388389)

Tentang menggerakkan cincin ini disebutkan dari jalan Ma’mar bin Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari kakeknya dari buyutnya (Abu Rafi’),

أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ حَرَّكَ خَاتَمَهُ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau menggerak-gerakkan cincinnya.” (HR . Ibnu Majah no. 449)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini dha’if (lemah) karena Ma’mar dan bapaknya adalah dua perawi yang lemah. Demikian juga disebutkan oleh al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah.” (Zadul Ma’ad, 1/50)

Dengan demikian, tidak disunnahkan menggerakkan cincin ketika berwudhu kecuali bila cincin itu sangat sempit sehingga menghalangi sampainya air ke jari tangan tersebut, maka disenangi untuk menggerak-gerakkannya sebagaimana pendapat yang merinci yang telah disebutkan di atas. Inilah pendapat yang dipegangi oleh penulis, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

 

Mengusap Leher

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada satu pun hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah pengusapan leher (tengkuk).” (Zadul Ma’ad, 1/49)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Dalam masalah mengusap leher tidak ada satu hadits pun yang kokoh yang bisa disifati dengan shahih ataupun hasan.” (Sailul Jarrar, 1/242)

 

Berurutan

Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama, sebagian ulama mewajibkan[4] dan sebagiannya lagi tidak mewajibkan.[5] Mereka yang berpendapat wajib berdalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)

Sisi pendalilan ayat ini adalah diselipkannya penyebutan anggota wudhu yang diusap (kepala) di antara anggota-anggota wudhu yang dicuci (tangan, wajah, dan kaki). Hal ini bila ditinjau dari ilmu balaghah, maka keluar dari kaidah yang ada. Sementara itu, al-Qur’an adalah ucapan yang paling mendalam (dari perkataan-perkataan yang ada). Kita tidak mengetahui satu faedah pun keluarnya ayat ini dari kaidah balaghah kecuali karena ingin menunjukkan wajibnya masalah berurutan ini. (asy-Syarhul Mumti’, 1/154)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah ketika menjelaskan hadits Humran maula ‘Utsman yang mencontohkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Ketahuilah, hadits ini memberi faedah adanya ketentuan (kewajiban) berurutan ketika mencuci anggota wudhu yang disebutkan dengan kata penghubung ( ثُمَّkemudian’).” (Subulus Salam, 1/66)

Adapun dalil yang dipakai oleh mereka yang tidak mewajibkan adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu maka beliau mencuci wajahnya dan kedua tangannya, kemudian mencuci kedua kakinya, lalu mengusap kepalanya dengan sisa air wudhunya.” Al-Imam ash-Shan’ani berkata tentangnya, “Hadits ini tidak diketahui dari jalan yang sahih sekalipun yang suatu pendalilan bisa menjadi sempurna dengannya.” (Subulus Salam, 1/80)

 

Hemat dalam Memakai Air

Disunnahkan ketika berwudhu untuk hemat dalam menggunakan dan menuangkan air (al-Majmu’, 1/490, Fathul Bari, 1/382), karena demikian yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengabarkan,

        كاَنَ رَسُولُ الله صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ باِلصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud[6] dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud.” ( HR . al-Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325)

Hadits ini memberi bimbingan untuk sederhana dalam menggunakan air dan mencukupkan diri dengan air yang sedikit. (Subulus Salam, 1/85)

Sebaliknya, dimakruhkan berlebih-lebihan dalam menggunakan air. (al- Muhalla, 2/72)

 

Menyeka Anggota Wudhu Setelah Berwudhu

Ummul Mukminin Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha ketika menceritakan tata cara mandi janabah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyebutkan,

فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا, فَجَعَلَ يَنْقُضُ الْمَاءَ يِبَدَيْهِ

“Aku mendatangkan untuk beliau secarik kain (guna menyeka tubuhnya) namun beliau tidak menginginkannya. Beliau mencukupkan dengan menghilangkan air dengan kedua tangannya.” (HR . al-Bukhari no. 274 dan Muslim no. 317)

Dalam masalah menyeka anggota wudhu ini (baik dengan handuk, kain ataupun sapu tangan), ulama berbeda pendapat tentang boleh ataukah dibenci. Para sahabat dan selain mereka dalam permasalahan ini terbagi dalam tiga pendapat:

Pertama, tidak apa-apa melakukannya baik setelah wudhu ataupun mandi dan ini merupakan pendapat Anas bin Malik dan ats-Tsauri.

Kedua, makruh setelah wudhu dan mandi, demikian pendapat Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abi Laila.

Ketiga, makruh dalam wudhu saja sementara setelah mandi dibolehkan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas. (Syarah Shahih Muslim, 3/231)

Sementara itu, al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Shahih Muslim tentang perselisihan ulama mazhab asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini menjadi lima pendapat:

  1. Disenangi meninggalkannya namun tidak dikatakan makruh bila melakukannya, dan pendapat ini yang paling masyhur.
  2. Perbuatan ini makruh.
  3. Mubah (boleh) sama saja antara dikerjakan atau ditinggalkan
  4. Disenangi melakukannya karena ada kehati-hatian dari kotoran.
  5. Makruh di musim panas dan tidak makruh di musim dingin.

Yang rajih dalam masalah ini adalah hukumnya mubah. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Apa yang disebutkan dalam hadits ini (hadits Maimunah) tidaklah menunjukkan larangan dari perkara tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarangnya, karena beliau sendiri terkadang meninggalkan sesuatu yang sebenarnya mubah bagi umat beliau.” (al-Ausath, 1/419)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat mubah inilah yang kami pilih karena untuk menetapkan dilarang dan disunnahkan butuh dalil yang jelas.” (Syarah Shahih Muslim, 3/231)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim


[1] Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. (HR. al-Bukhari no. 157)

[2] Hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 158)

[3] Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 159 dan Muslim no. 230)

[4] Seperti asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Qatadah, dan mazhab azh-Zhahiriyah.

[5] Seperti Malik, ats-Tsauri, diriwayatkan pula hal ini dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Atha bin Rabah, an-Nakha’i, al-Hasan, Makhul, az-Zuhri, dan al-Auza’i (al-Ausath, 1/422—423).

[6] Satu mud adalah ukuran yang memenuhi dua telapak tangan orang dewasa yang didekatkan/dirapatkan, tidak terlalu dibentangkan dan tidak pula digenggam, sementara itu 1 sha’ = 4 mud.

berwuducara berwudhuhukum wudhu