Mandi Janabah (2)

Melanjutkan pembahasan tentang mandi janabah edisi lalu, simak penjelasan berikut!

Seorang Wanita Tidak Harus Melepas Jalinan atau Kepangan Rambutnya

Tidak ada perbedaan cara mandi janabah antara laki-laki dan wanita1. Namun dalam hal ini, ada permasalahan yang berkaitan dengan rambut wanita. Bila si wanita sebelum mandi janabah menggelung atau menjalin rambutnya, apakah ia wajib melepas kepangan atau jalinannya ketika hendak mandi? Tentang ini, Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:

“Ya Rasulullah, aku adalah wanita yang sangat kuat kepangan/jalinan rambutku, apakah aku harus melepaskannya saat mandi janabah?” Beliau menjawab: “Tidak perlu, namun cukup bagimu untuk menuangkan air tiga tuangan ke atas kepalamu, kemudian engkau curahkan air ke tubuhmu, maka engkau suci.”2

‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga pernah mengingkari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma ketika sampai berita kepadanya bahwa Abdullah memerintahkan para wanita untuk melepaskan kepangan atau jalinan rambut mereka ketika mandi. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Alangkah mengherankan Ibnu ‘Amr itu. Ia memerintahkan para wanita apabila mereka mandi agar melepaskan kepangan atau jalinan rambut mereka. Mengapa ia tidak perintahkan saja mereka agar mencukur rambut-rambut mereka? Sungguh dulu aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari satu bejana, ketika mandi itu aku tidak menambah dari sekedar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan. (HR. Muslim no. 331)

Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, apakah wanita yang mandi janabah harus melepaskan jalinan atau kepangan rambutnya? Beliau menjawab, tidak wajib dengan dalil hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, masalah Wa Tanqudhul Mar`ah Sya’raha li Ghusliha minal Haidh wa Laisa ‘alaiha Naqdhuhu minal Janabah Idza Arwat Ushulaha)

Apakah Wajib Menggosok Anggota Tubuh ketika Mandi?

Menggosok anggota tubuh saat mandi diperselisihkan kewajibannya oleh ulama3. Dinukilkan wajibnya menggosok ini dari Al-Imam Malik4 dan mayoritas pengikutnya, Al-Muzani dari pengikut/murid Al-Imam Asy-Syafi’i.5 Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mandi janabah. Kemudian beliau berkata di akhir perintah beliau tersebut:

“Wahai ‘Aisyah, basuh bagian kepalamu yang tersisa, lalu gosoklah kulitmu, dan ratakanlah.”
Mereka juga berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah  radhiallahu ‘anhu:

“Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu ada janabah, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.”

Juga hadits yang berisi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita yang mandi haid untuk menggosok kepalanya dengan gosokan yang kuat, dengan membawa hadits ini kepada permasalahan menggosok tubuh saat mandi janabah.

Sementara pendapat kedua yang tidak mewajibkan penggosokan tubuh dipegangi oleh mayoritas ulama. Dan pendapat ini yang penulis kuatkan, wallahu ta’ala a’lamu bishshawab. Pendapat ini didasari dalil hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha tentang tidak dibukanya kepangan rambut, di mana beliau menyampaikan bahwa cukup untuk dituangkan air saja sebanyak tiga kali tuangan pada waktu mandi janabah.

Dan hadits ini merupakan dalil yang kuat dalam permasalahan ini.
Sementara dalil yang dibawakan oleh pihak yang mewajibkan, yakni hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha adalah hadits mursal, di mana pada sanadnya ada Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair. Dia tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Sedangkan hadits Abu Hurairah  radhiallahu ‘anhu pada sanadnya ada Al-Harits bin Wajih, dan dia ini dha’if. Adapun hadits tentang menggosok kepala bagi wanita yang mandi haid hanyalah berlaku untuk mandi haid saja. Dan mengkiaskan mandi janabah terhadap pembersihan najis adalah kias yang amat jauh, sebagaimana pengkiasan tersebut juga menjadi hujjah bagi mereka yang mewajibkannya.

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: “Tidak wajib bagi orang yang mandi (janabah) untuk menggosok anggota tubuhnya. Ini merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ahmad bin Hanbal, Dawud, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i.” (Al-Muhalla, 1/276)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Ucapan ‘Aisyah: (kemudian beliau mencurahkan air), maknanya mengucurkan/mengalirkan/mencurahkan. Ini dijadikan dalil atas tidak wajibnya menggosok. Di samping memang istilah (ghusl/mandi) tidaklah masuk di dalamnya menggosok. Karena Maimunah menyatakannya dengan , sedangkan ‘Aisyah menyatakannya dengan , sedangkan maknanya satu. itu tidak masuk di dalamnya penggosokan, maka demikian pula …” (Subulus Salam, 1/141)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Madzhab kami menyatakan bahwa menggosok anggota badan saat mandi dan wudhu itu sunnah, tidak wajib. Seandainya seseorang menuangkan air ke atas tubuhnya hingga air itu sampai ke tubuhnya walaupun ia tidak menyentuh air dengan kedua tangannya, ia mencelupkan dirinya ke dalam air6 yang banyak, ia berdiri di bawah pancuran, atau di bawah curah hujan, dengan niat mandi janabah hingga air membasahi rambut dan kulitnya, maka hal itu mencukupi wudhu dan mandinya.

Demikian pendapat ulama seluruhnya kecuali Al-Imam Malik dan Al-Muzani. Karena keduanya mensyaratkan sahnya mandi dan wudhu bila disertai menggosok anggota tubuh yang dibasuh. Juga dengan alasan bahwa mandi itu adalah menjalan-kan tangan di atas tubuh sehingga orang yang berdiri di bawah curah hujan tidaklah ia dikatakan mandi. Al-Muzani berkata: “Karena dalam tayammum itu disyaratkan menjalankan tangan7, maka demikian pula dalam mandi dan wudhu.” (Al-Majmu’, 2/214)

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Tidaklah wajib menjalankan/mengedarkan tangan di atas tubuh ketika wudhu dan mandi, bila memang diyakini atau diduga kuat air sampai ke seluruh tubuh. Ini pendapat Al-Hasan, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Hammad, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur Ra`yi.” (Al-Mughni, kitab Ath-Tharahah, bab La Yajibu `alaihi Imraru Yadihi `ala Jasadihi fil Ghusl)

Hemat dalam Pemakaian Air

Umat sepakat bahwa tidak ada persyaratan kadar banyaknya air untuk wudhu dan mandi.8 Namun disenangi bagi seseorang untuk hemat dan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan air ketika wudhu dan mandinya. Anas bin Malik  radhiallahu ‘anhu berkata:

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud9 dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud.”10

Boleh Mandi Hanya Sekali Setelah Men-jima’i Beberapa Istri
Anas bin Malik  radhiallahu ‘anhu berkata:

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya (menjima’i mereka secara bergantian-pent.) dengan satu kali mandi.”11

Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan menukilkan adanya ijma’ tentang suami yang menjima’i seorang istrinya secara berulang-ulang, atau menjima’i beberapa istrinya, boleh baginya untuk mandi sekali saja. (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/99)

Namun berwudhu ketika akan mengulangi jima’ merupakan hal yang disenangi untuk diamalkan, sebagaimana telah dijelaskan pada edisi yang lalu. Dan demikian pula halnya mengulang mandi setelah menjima’i masing-masing istri, hal ini lebih baik dan lebih mensucikan. Sebagaimana ditunjukkan hadits Abu Rafi’ shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari mengelilingi istrinya (menggauli mereka satu persatu secara bergantian,-pent.), beliau mandi setelah menjima’i istri yang ini, dan mandi lagi setelah menjima’i istri yang satunya. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mencukupkan dengan satu kali mandi (setelah menjima’i semua istri-pent.)?” Beliau menjawab:

“Yang demikian ini lebih suci, lebih baik, dan lebih mensucikan.”12

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

—————————————————————————————————————————–

Catatan Kaki:

1 Al-Hawil Kabir 1/225, Al-Majmu’ 2/215

2 HR. Muslim no. 330

3 Al Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/99

4 Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/133, Adz-Dzakhirah 1/309

5 Bidayatul Mujtahid, hal. 41

6 Asy-Sya’bi, An-Nakha’i dan Al-Hasan berpendapat bila seseorang yang junub menyeburkan dirinya ke dalam air maka mencukupinya dari mandi janabah. (Al-Muhalla 1/277)

7 Namun pendapat yang benar, menjalankan tangan bukanlah syarat dalam tayammum (Al-Majmu’ 2/214).

8 Al-Majmu’ 2/219, Al Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/100.

9 1 mud adalah ukuran sepenuh dua telapak tangan laki-laki yang sedang, sementara 1 sha sama dengan 4 mud.

10 HR. Al-Bukhari no. 201 dan Muslim no. 735

11 HR. Muslim no. 706 dan mandinya disini dilakukan ketika selesai jima yang akhir.

12 HR. Abu Dawud no. 219, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud

 

mandi janabah