Islam Datang dalam Kondisi Asing
Kita telah mengetahui bahwa agama yang benar adalah Islam, yang telah disempurnakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sekaligus penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai agama penutup, Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkannya melalui nabi dan rasul terakhir, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau diutus di tengah-tengah rusaknya manusia dalam hal agama dan cara beragama mereka.
Itulah alam jahiliah. Mereka menghalalkan, Islam datang mengharamkan. Begitu pula sebaliknya, mereka mengharamkan, Islam datang menghalalkan.
Islam datang kepada mereka sebagai sebuah agama asing yang jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang selama ini mereka anut dan peluk. Islam datang sebagai ancaman kekuatan yang akan meruntuhkan singgasana kebatilan yang langsung dipelopori dan dipimpin oleh Iblis la’natullah alaihi. Karena keasingan itulah, mereka menolak, menentang, dan memusuhinya.
Akhirnya, mereka menghimpun kekuatan, menyusun, dan merancang tipu daya dan muslihat. Berkecamuklah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Ketakutan dan kengerian menyelimuti kehidupan. Para pembela kebenaran pantang mundur demi mencari kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, musuh-musuh kebenaran makin tersadar akan kekalahan dan kegagalan mereka.
Hal ini terbukti dengan turunnya janji-janji Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyempurnakan kebenaran.
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu yang mengabarkan kerugian dan kegagalan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala juga membuktikan kegagalan mereka dengan masuk Islamnya sederetan hamba-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan hal ini di banyak tempat dalam Al-Qur’an. Di antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨ هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya. Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang musyrik membenci.” (ash-Shaf: 8—9)
يُرِيدُونَ أَن يُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُۥ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٣٢ هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٣٣
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (at-Taubah: 32—33)
وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا ٨١ وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحۡمَةٌ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا ٨٢
“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (al-Isra: 81—82)
بَلۡ نَقۡذِفُ بِٱلۡحَقِّ عَلَى ٱلۡبَٰطِلِ فَيَدۡمَغُهُۥ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌۚ وَلَكُمُ ٱلۡوَيۡلُ مِمَّا تَصِفُونَ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang benar atas yang batil, lalu yang benar itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap, dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (al-Anbiya: 18)
Keasingan Islam akan terus berlangsung hingga datangnya keputusan Allah subhanahu wa ta’ala dan diangkatnya agama ini dalam kondisi asing pula.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka berbahagialah bagi orang yang asing.” (HR. Muslim no. 208)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang dikatakan asing,
الَّذِينَ يَصْلُحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“(Mereka adalah) orang-orang yang baik ketika manusia ini rusak.” (Lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 1273)
نَاسٌ صَالِحُونَ قَلِيْلٌ فِي نَاسٍ سُوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“(Mereka adalah) orang-orang saleh dalam jumlah yang sedikit di tengah-tengah manusia jahat yang sangat banyak. Orang yang memaksiati mereka lebih banyak daripada yang menaatinya.” (Lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 1619)
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bentuk keasingan ini,
“Seorang mukmin asing dalam urusan agamanya karena rusaknya agama manusia (saat itu). Dia asing dalam berpegang (dengan As-Sunnah/ajaran Nabi) karena umat ini berpegang dengan kebid’ahan. Dia asing dalam keyakinannya karena rusaknya bentuk-bentuk keyakinan mereka.
Dia juga asing dalam tata cara shalatnya karena jeleknya cara shalat manusia. Dia asing pula dalam jalan yang ditempuhnya karena sesatnya jalan manusia. Dia asing dalam mengelompokkan dirinya karena umat ini menyelisihinya dalam hal ini. Dia asing dalam pergaulannya karena dia bergaul dengan mereka dalam hal yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka.
Kesimpulannya, dia asing dalam hal dunia dan akhiratnya.
Dia tidak menemukan seorang penolong pun dari umatnya. Dia tumbuh sebagai orang alim di tengah-tengah orang-orang jahil. Dia menjadi pengikut As-Sunnah di tengah-tengah pengikut bid’ah. Dia adalah dai kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam di tengah-tengah para penyeru kepada hawa nafsu dan kebid’ahan. Dia juga menjadi penyeru kepada yang makruf di tengah kaum yang (mengubah) makruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi makruf.” (Lihat Madarijus Salikin, 3/199)
Islam adalah As-Sunnah & As-Sunnah adalah Islam
“Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam” merupakan ucapan ulama salaf umat ini. Ucapan ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah (ajaran Nabi), begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, tatkala seseorang menghinakan As-Sunnah berarti dia telah menghinakan Islam, sedangkan yang memuliakannya berarti dia telah memuliakan Islam.
Imam Al-Barbahari rahimahullah mengatakan,
اعْلَمْ أَنَّ الْإِسْلَامَ هُوَ السُّنَّةُ وَالسُّنَّةَ هِيَ الْإِسْلَامُ، وَلَا يَقُومُ أَحَدُهُمَا إِلَّا بِالْآخَرِ، فَمِنَ السُّنَّةِ لُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ رَغِبَ غَيْرَ الْجَمَاعَةِ وَفَارَقَهَا فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامَ مِنْ عُنُقِهِ وَكَانَ ضَالًّا مُضِلًّا
“Ketahuilah bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam. Salah satunya tidak akan bisa tegak melainkan dengan yang lainnya. Termasuk As-Sunnah adalah konsekuen dengan al-Jama’ah. Barang siapa mencari yang selain al-Jama’ah serta memisahkan diri darinya, sungguh dia telah mencabut kalung keislamannya dari lehernya, serta sesat dan menyesatkan.”
As-Sunnah yang kita maksudkan di sini bukan sunnah yang merupakan sinonim (persamaan kata) dari kata mustahab, mandub, yang merupakan lawan dari makruh. Bukan pula yang kita maksudkan di sini dengan kata As-Sunnah adalah pendamping Al-Qur’an seperti ucapan mereka, “Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Akan tetapi, yang kita maksudkan dengan As-Sunnah adalah petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan jalan yang beliau tempuh.
Oleh karena itu, As-Sunnah menurut definisi ini mencakup hal yang wajib, yang sunnah, dan segala bentuk keyakinan, ibadah, muamalah, serta akhlak. Ulama salaf mengatakan,
“Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah beramal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti jalan salafus saleh dan mengikuti atsar.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/ 248)
Dengan demikian, benarlah jika kita mengatakan bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam, dengan makna As-Sunnah di atas.
Mengagungkan As-Sunnah adalah Mengagungkan Islam
Kita telah meyakini bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menjadi landasan dalam beragama. Seseorang yang berakidah bersih akan menjunjung wahyu tersebut setinggi-tingginya. Dia akan meletakkannya pada tempat yang tinggi di dalam hatinya. Sebab, dia mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat derajat seseorang sesuai dengan kadar berpegang teguhnya dia dengan tuntunan tersebut.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat suatu kaum dengan kitab ini dan telah merendahkan suatu kaum dengan kitab ini.” (HR. Muslim no. 1353 dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu)
Mereka mengetahui bahwa mengagungkan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kewajiban setiap muslim sebagaimana dijelaskan dalam banyak dalil.
Di antaranya firman Allah,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Dan apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka ambillah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظًا
“Barang siapa menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa: 80)
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٦٥
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Bentuk pengagungan terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak sekali. Di antaranya adalah mempelajari, mengamalkan segala perintah, menjauhi segala larangan beliau, membela beliau dari segala celaan dan hinaan, serta menampakkan syiar beliau dan menyebarluaskannya. (Masa’il Furu’ fi Masa’il ‘Aqidah, 1/36)
Jika kita mencoba menggali dan membaca pengagungan terhadap As-Sunnah yang dilakukan salaf umat ini, niscaya akan tumbuh sifat kecemburuan pada diri kita sebagaimana yang ada pada diri mereka. Demikianlah setiap generasi ulama Islam. Mereka mengingkari dengan keras segala bentuk penyelisihan terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara contohnya, Ibnu Wadhdhah, ath-Thurthusyi, dan Abu Syamah telah menuliskannya dalam karya-karya besar mereka.
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,
“Jika kamu berada di Syam, sebut-sebutlah manaqib (keutamaan) Ali. Jika kamu berada di Kufah, sebut-sebutlah manaqib Abu Bakr dan Umar.”
Keteladanan Ahli Tauhid dalam Mengagungkan Sunnah Rasulullah
Mereka adalah para mujahid agama. Mereka telah meninggal di atas keistiqamahan dalam membela agama ini. Mereka adalah para ulama, generasi terbaik umat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka menjadikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak dikatakan sempurna iman seseorang hingga aku lebih ia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan manusia semuanya.” (HR. al-Bukhari no. 14 dan Muslim no. 62 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu)
sebagai pijakan mereka dalam melangkah.
Mereka begitu taat dan mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam. Ajaran, ucapan, dan petunjuk beliau shallallahu alaihi wa sallam lebih mereka dahulukan daripada segala sesuatu. Ucapan beliau shallallahu alaihi wa sallam di hadapan mereka menjadi yang paling dikedepankan daripada ucapan manusia mana pun. Mereka membela As-Sunnah dan melindunginya.
Apabila mereka melihat seseorang menentang Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka akan mencela dan memperingatkan orang lain darinya. Mereka akan meninggalkannya, tidak berbicara dengannya, dan terkadang tidak mau tinggal satu atap bersamanya. Mereka menjaga Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari tipu daya orang-orang jahat dan musuh-musuh As-Sunnah. Mereka tampil menegakkan nasihat di jalan-Nya. Mereka adalah generasi sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Setelah mereka meninggal dunia, tidak berarti perjuangan menegakkan As-Sunnah itu berakhir. Setelah mereka, datang generasi tabiin yang berjalan di atas metode mereka dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Inilah sederetan dari mereka.
Abu Bakr ash-Shiddiq
Beliau radhiyallah anhu berkata,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ وَإِنِّي لَأَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ
“Tidaklah saya meninggalkan sesuatu pun yang telah dikerjakan oleh Rasulullah, kecuali saya mengerjakannya juga. Jika saya tidak melakukannya, saya khawatir akan menyimpang.” (al-Ibanah, Ibnu Baththah, 1/246)
Abdullah bin Abbas
Beliau radhiyallahu anhuma berkata,
يُوشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجِارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُولُ لَكُمْ: قَال النَّبِيُّ وَتَقُولُونَ: قاَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ!؟
“Aku khawatir turun hujan batu dari langit terhadap kalian. Aku mengatakan, ‘Rasulullah bersabda demikian’, dan kalian menyangkalnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakr berkata demikian dan Umar berkata demikian?’” (Majmu’ Fatawa, 26/50)
Abdullah bin Umar
Diriwayatkan oleh putranya, Salim, bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid bila mereka meminta izin’.”
Salim berkata, “Tiba-tiba Bilal bin Abdullah berkata, ‘Saya, demi Allah, akan melarang mereka’.”
Salim melanjutkan, “Ibnu Umar lalu menghadap kepada Bilal dan mencercanya dengan cercaan yang sangat keras. Saya belum pernah mendengar beliau mencerca seperti itu sama sekali. Beliau berkata, ‘Saya memberitahu kamu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lantas kamu mengatakan, Saya akan melarang mereka?’” (Riwayat Muslim no. 135)
Ubadah bin ash-Shamit
Diceritakan oleh Abu Makhariq, Ubadah radhiyallahu anhu menyebutkan sebuah riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau melarang menukar dua dirham dengan satu dirham. Lalu seseorang mengatakan, “Saya berpendapat tidak mengapa, selama yadan bi yadin (secara kontan).”
Ubadah serta-merta berkata, “Saya mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda demikian’, dan engkau mengatakan, ‘Saya berpendapat tidak mengapa!?’ Demi Allah, jangan sekali-kali aku bersamamu dalam satu atap.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Darimi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)
Abu Darda
Diceritakan oleh Atha bin Yasar, seseorang menjual satu pecahan emas atau perak dengan sesuatu yang sejenis. Namun, tidak sama timbangannya. Abu Darda radhiyallahu anhu lalu berkata kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang cara seperti ini, kecuali apabila timbangannya sama.”
Orang tersebut menjawab, “Saya berpendapat, hal ini tidak mengapa.”
Abu Darda kemudian berkata lagi, “Siapa yang akan mencarikan alasan untukku bagi Fulan? Aku menyampaikan kepadanya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu dia memberitahuku tentang pendapatnya?! Saya tidak akan menginjak daerah yang kamu berada padanya.” (al-Ibanah, Ibnu Baththah, hlm. 94)
Abu Said al-Khudri
Al-A’raj menceritakan bahwa dia mendengar Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu berkata kepada seseorang, “Apakah engkau mendengarku apabila aku sampaikan (hadits) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Beliau bersabda, ‘Jangan kalian menukar dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham, kecuali harus sama, serta jangan kalian menjualnya dengan tidak kontan,’ lalu engkau berfatwa seperti ini?! Demi Allah, jangan sampai ada yang menaungiku bersamamu kecuali masjid.” (al-Ibanah, Ibnu Baththah hlm. 95)
Muhammad bin Sirin
Qatadah rahimahullah menceritakan bahwa Ibnu Sirin rahimahullah menyampaikan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seseorang. Orang tersebut lalu berkata, “Fulan berkata demikian dan demikian.”
Ibnu Sirin lalu berkata, “Saya menyampaikan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu engkau mengatakan fulan berkata demikian demikian?! Saya tidak akan mengajakmu berbicara selama-lamanya.” (Sunan ad-Darimi, no. 441)
Umar bin Abdul Aziz
Beliau rahimahullah berkata,
لَا رَأْيَ لِأَحَدٍ مَعَ سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُولُ الله
“Tidak ada hukum akal bagi seseorang di hadapan Sunnah yang datang dari Rasulullah.” (al-Ibanah, 1/246)
Abu Qilabah
Beliau rahimahullah mengatakan,
إِذَا حَدَّثْتَ الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَهَاتِ كِتَابَ اللهِ؛ فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ
“Apabila kamu menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada seseorang, lalu dia mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari yang seperti ini. Datangkan kepadaku kitab Allah subhanahu wa ta’ala.’ Ketahuilah bahwa dia adalah orang yang sesat.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/282)
Imam asy-Syafi’i
Beliau rahimahullah mengatakan,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah bersepakat, barang siapa yang sudah jelas baginya Sunnah Rasulullah, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena ucapan seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/282)
Imam Ahmad bin Hanbal
Beliau rahimahullah mengatakan,
مَنْ رَدَّ حَدِيثَ النَّبِيِّ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barang siapa menentang satu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia berada di tepi kehancuran.” (Thabaqat Hanabilah, 2/15; al-Ibanah, 1/ 260)
Imam al-Barbahari
Beliau rahimahullah mengatakan,
وَإِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَطْعَنُ فِي الْآثَارِ أَوْ يُرِيدُ غَيْرَ الْآثَارِ فَاتَّهِمْهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَلَا تَشُكَّ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًى مُبْتَدِعٌ
“Apabila engkau mendengar seseorang mencela hadits, atau menginginkan yang selain hadits, curigailah keislamannya. Janganlah engkau ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan.” (Syarhus Sunnah, hlm. 51)
Abul Qasim al-Ashbahani
Beliau rahimahullah mengatakan,
وَإِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَطْعَنُ فِي الْآثَارِ أَوْ يُرِيدُ غَيْرَ الْآثَارِ فَاتَّهِمْهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَلَا تَشُكَّ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًىقَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ مِنَ السَّلَفِ: إِذَا طَعَنَ الرَّجُلُ عَلَى الْآثَارِ يَنْبَغِي أَنْ يُتَّهَمَ عَلَى الْإِسْلاَمِ
“Ahlus Sunnah dari kalangan salaf mengatakan, ‘Apabila seseorang mencela Sunnah Rasulullah, pantas untuk dicurigai keislamannya.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428)
Dari mana sikap dan ucapan para imam tersebut kalau bukan buah dari ketauhidan yang benar kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
Oleh karena itu, yang akan mengagungkan dan mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang memiliki akidah yang benar dan kokoh. Sebab, konsekuensi dari keyakinan yang benar adalah menjunjung tinggi syiar-syiar Allah subahanhu wa ta’ala, baik lahir maupun batin. Dengan kata lain, orang yang benar akidahnya, lahiriahnya tidak akan menyelisihi batinnya. Apabila hal ini terjadi, perlu diragukan kemurnian akidahnya.
Ucapan mereka menggambarkan bentuk pengagungan yang tinggi terhadap syariat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib meneladani mereka dalam hal ini. Kemuliaan hidup, kemenangan, kebahagiaan dunia dan akhirat, ada dalam kebersamaan dengan mereka.
Wallahu a‘lam.